Gegap gempita dunia sepakbola yang semakin gemilau membuat orang lain menjadi silau. Banyak orang berlomba-lomba untuk bisa menjadi seorang pemain profesional. Namun andaikan kesempatan itu tak kunjung datang, maka target selanjutnya adalah menjadi seorang manajer atau pelatih sepakbola di klub profesional. Bagi beberapa orang hal itu teramat sulit, terlebih jika anda tak pernah mencicip sebagai pesepakbola profesional yang saban hari bergelut di lapang hijau.
Sulit bukan berarti tak bisa.Toh diluar sana, banyak juga pelatih-pelatih jenius yang tak mengawali karirinya sebagai pemain sepakbola. Mourinho mungkin salah satu contohnya. Namun jauh sebelum Mourinho melakukan itu, publik dunia lebih mengenal Arrigo Sacchi sebagai sosok pelatih berotak cerdas yang tak pernah mencicip karir sebagai pemain.
Pelatih berkepala pelontos ini memang  sempat berusaha untuk mengambil jenjang karir pesepakbola. Namun, gagal karena untuk lulus dari akademi Baracca Lugo yang notabene merupakan klub local amatir ditempat kelahirannya saja tidak mampu. Sehingga atas dasar itulah dia terjun ke dunia managerial padahal saat itu umurnya masih 20-an.
Perjalanan karir Sacchi sendiri tidak lah selalu berjalan mulus. Bahkan, sebelum kesempatan untuk berada pada kursi managerial datang, Sacchi sempat menjadi seorang penjual sepatu. Hingga pada akhirnya tim yang sama ketika dia gagal bermain untuk menjadi seorang pemain professional yaitu Baracca Lugo mengajukan tawaran untuk duduk di kursi kepelatihan. Kala itu, Sacchi sendiri baru berusia 26 tahun.
Hingga kemudian Sacchi terus berpindah-pindah klub dengan menukangi Bellaria sebelum bergabung dengan Cesena yang dimana dia turut ambil bagian dalam staff kepelatihan youth team Cesena. Lalu setelah turut menjadi bagian dari tim kepelatihan pemain muda AC Cesena, Sacchi menjadi manajer di klub Rimini dan pada saat itu Rimini nyaris dibawa olehnya meriah titel juara Serie C1.
Karirnya melesat ketika dia menjadi youth team manager Fiorentina. Atas prestasinya dengan tim yang dijuluki La Viola tersebut AC Parma yang kala itu sedang berkompetisi di Serie C1 menawarkan kontrak untuk menukangi posisi manager di klub tersebut. Tawaran tersebut dia ambil dan prestasi pun langsung dia torehkan dengan langsung membawa Parma promosi di musim pertamanya dan kembali lagi membawa promosi klub yang bermarkas di Ennio Tardini tersebut pada musim keduanya.
Namun, hal yang paling mengejutkan adalah tatkala Sacchi berhasil mengalahkan AC Milan pada laga putaran grup Coppa Italia dengan skor 1-0 dan ketika bertemu dengan Milan kembali pada fase knock-out Sacchi berhasil unggul dengan aggregate 1-0 yang dengan kondisi tersebut membuat Milan tersingkir di Coppa Italia. Tak ayal dengan pencapaian tersebut cukup untuk membuat Milan tertarik untuk memboyongnya hingga Silvio Berlusconi pun akhirnya mengajukan tawaran yang langsung diterima oleh Sacchi.
Kepercayaan yang diberikan oleh Berlusconi pun dibayar dengan baik oleh Sacchi. Strategi âanti-Italiaâ yang diperkenalkan oleh Sacchi berhasil membawa Milan meraih satu gelar Serie A, satu gelar Super Coppa Italia, 2 gelar Piala Champions, 2 gelar Piala Super Eropa dan 2 gela Piala Inter-Kontinental.
Sebagaimana kita ketahui bahwa umumnya manager asal Italia kerap memiliki filosofi bermain bertahan. Namun, apa yang diterapkan oleh Sacchi sangatlah berbeda. Sacchi bermain dengan filosofi menyerang dengan pergerakan pemain tanpa bola yang dinamis. Dapat dikatakan bahwa bagaimana awal mula gaya bermain sepakbola modern ini berasal dari pengembangan taktik yang diterapkan oleh Sacchi.
Beberapa mantan anak didiknya kini pun menjadi seorang pelatih ternama. Fabio Capello, Carlo Ancelotti, Marco van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard dan Roberto Donadoni adalah merupakan sebagian dari mereka yang gaya kepelatihannya tidak dapat dikesampingkan atas pengaruh yang diperoleh dari Sacchi ini.
Atas keandalannya pada managerial pula pada tahun 1991 Sacchi memutuskan untuk bergabung dalam tim nasional Italia dengan menjadi manager. Italia berhasil dibawanya menjadi finalis World Cup 1994 yang diadakan di Amerika. Gli Azzuri harus pulang dengan kepala tertunduk karena kalah oleh Brazil di babak adu penalti.
Kendati begitu Sacchi tetaplah Sacchi dia tetap dihargai di Italia sana. Dia adalah sosok jenius yang bisa membawa timnya lolos ke Final Piala Dunia sementara dia sendiri belum pernah mencicip aroma final saat dia menjadi pemain sekalipun. Kehidupan Sacchi adalah penyemangat bagi kita semua, toh untuk menjadi pelatih hebat tak mesti jadi pemain hebat.
Komentar