Baca halaman sebelumnya
Herrawan bercerita, ada memang hasrat untuk bertanya kepada Soeratin. Tapi ia tak berani. Jangankan bertanya soal pribadi, menyapa bagaimana kabar dan sedikit bercakap soal kehidupan sehari-hari pun segan dilakukan Herrawan. Lelaki tua itu selalu terlihat sebagai seorang mistikus pendiam, tak banyak ucap, bicara semau dan seperlunya dia.
Setiap senja mulai membayang di sebelah barat, Hermawan dan rekan-rekannya baru pulang kembali ke rumah. Sebagai seorang tentara yang takut pada atasan, mereka langsung tentu masuk kamar. "Saya cuma tentara kroco-kroco, tentu seganlah berbincang-bincang dengan dia," katanya.
Dari bilik dinding, prajurit-prajurit itu tanpa sengaja menguping apa yang seharusnya tak mereka dengar. Sesekali terdengar obrolan rumah tangga, sesekali juga pertengkaran suami istri.
Denting Piano terkadang terdengar di malam hari, yang memainkannya tak lain dari istri Soeratin itu sendiri. Terkadang mereka berduet, Soeratin menggesek biola dan sang istri mengiringinya dengan permainan Piano.
Siapa sangka sang istri yang dibawa turut ke medan laga itu seorang Belanda, bukan Sri Woelan yang adik Dr Sutomo, yang pernah dinikahinya dulu di masa pendudukan Belanda.
"Seorang Belanda?" tanya saya.
"Ya seorang Belanda," jawab Herrawan dengan mantap.
"Bukan Sri Woelan yang orang Jogja itu? Istri lain Soeratin?"
"Wah Saya ndak tahu itu, yang jelas nyonya Belanda itu adalah istirinya," kata Herrawan.
"Namanya siapa, Pak?"
"Saya ndak tahu, saya lupa, tapi kami selalu panggil dia nyonya saja."
Kendati umurnya sudah tergolong cukup tua sekitar 40an, ia tetap cantik dan anggun. Herrawan mengenang, kulitnya putih, hidungnya mancung dan mulai ada sedikit keriput di wajahnya. Seperti seorang noni dan nyonya Belanda, pakaian sehari-harinya tak lepas dari gaun sederahana yang menjuntai ke bawah. Sesekali juga terlihat memakai kebaya layaknya orang sunda. Warna putih tampaknya adalah warna favorit sang nyonya, tercermin dari warna pakaian yang selalu melekat di tubuhnya.
Dapat dipastikan Soeratin mengungsi ke Nagreg pasca kejadian Bandung Lautan Api di awal tahun 1946.
Ada hal yang menarik. Saat kaum Republikein melawan pendudukan Belanda, Soeratin malah menampung seorang Belanda. Di masa itu di Bandung, bebasnya internir Belanda dan Indo-Belanda yang sempat ditahan dalam kamp interniran bikinan Jepang (kamp ada di Cimahi, ada juga di Cikudapateuh, kawasan dekat rel kereta api, tak jauh dari Pasar Kosambi sekarang).
"Mereka itu antek-antek NICA. Mereka berharap dapat memulihkan hak-hak istimewanya lagi sebagai penjajah ketika Jepang menyerah. Dendam mereka kepada Jepang ditumpahkan kepada kita! Ya kita sikatlah," kata Herrawan.
Saya tak tahu apakah sang nyonya sempat menderita di kamp-kamp tawanan Jepang, atau mungkin Soeratin menyembunyikannya? Saya juga tak tahu, Soeratin dan sang nyonya menikah tahun berapa, apakah saat Soeratin datang ke Bandung tahun 1937, sebelum kedatangan Jepang atau sesudah Indonesia merdeka?
Pastinya, saat hidup di antara para pejuang republikein, sang nyonya tidak menunjukan gelagat aneh-aneh seperti mata-mata. Dia mencintai Indonesia seperti mencintai Soeratin suaminya. Kepada para pejuang dia ramah melempar senyum dan sapa. Pandai berbahasa Indonesia dan terlihat lumayan gemar memakai kebaya. Herrawan mengenang, kombinasi faktor-faktor itulah yang membuat para pejuang saat itu malu untuk membencinya.
Dalam buku Biografi "Soeratin", Eddi Elison menyebut nama Sang Nyonya adalah Johana. Sejatinya, sampai sekarang saya tak menemui data otentik mengenai sang nyonya ini. Saya berjanji akan mencoba mencarinya lagi.
*Bagian pertama dari 3 tulisan. Ditulis berdasarkan riset pustaka dan wawancara dengan sejumlah narasumber yang dilakukan Aqwam F. Hanifan.
Bagian lainnya
Mengenang Soeratin Bagian I: Soeratin dan Sepenggal Episode Masa Revolusi
Mengenang Soeratin Bagian II: Nyonya Soeratin dan Jejak-Jejak di Teka Teki Silang
Mengenang Soeratin Bagian III: Kepiluan di Pengujung Usia
Foto dan grafis oleh: Ivan Hadyan
Komentar