Mengenang Soeratin Bagian II: Nyonya Soeratin dan Jejak-Jejak di Teka Teki Silang

Cerita

by redaksi

Mengenang Soeratin Bagian II: Nyonya Soeratin dan Jejak-Jejak di Teka Teki Silang

Istri kedua Soeratin adalah perempuan Belanda itu sudah bisa dipastikan. Tapi benarkah nama perempuan itu Johana? Saya mencoba memeriksa.

Pada masa di sekitar revolusi, nama itu tak terlalu asing ditelinga kaum republiken. Sesosok wanita Belanda berdarah Yahudi yang begitu disegani dan dicintai banyak pejuang. Nama lengkapnya, Johanna Petronella Mossel. Sindhunata dalam buku `Segelas Beras untuk Berdua` bercerita sedikit hikayat Johanna.

Dia istri kedua Ernest Douwes Dekker, salah satu anggota tiga serangkai pendiri Indische Partij yang terkenal itu. Indische Partij memang dideklarasikan di Bandung, walau dalam perkembangannya kemudian gagal mendapatkan pengesahakan sebagai organisasi resmi yang diakui karena ditolak pemerintah kolonial. Di Bandung, Johanna mengurusi Ksatrian Instituut, sekolah untuk kaum bumiputera, Tionghoa dan Indo-Eropa. Sikapnya yang terlihat pro pada semangat nasionalisme membelot Johanna dibenci oleh orang-orang Belanda.

Pasca kemerdekaan, setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Belanda kembali ke Indonesia, mencoba mengembalikan tatanan kolonial seperti sebelum Jepang masuk. Alih-alih menyambut kedatangan bangsanya sendiri dengan suka cita, Johanna malah menyambut kedatangan Belanda dengan dengan perlawanan gerilya. Aktivitasnya di Bandung Utara bersama para tentara dan laskar-laskar membuat Johanna dikenal di seantero Jawa Barat, khususnya di kalangan pejuang.

Nama Johanna sebagai istri Soeratin muncul dari pengakuan eks anak buah Soeratin saat bertugas di Nagreg, yaitu Soeparwoto yang tertuang dalam buku karya Eddi Elison. Tapi saya menemukan hal lain.

Nama Johana yang diucapkannya besar kemungkinan adalah Johanna Petronella Mossel, dan bukan bukan sosok perempuan Belanda yang menjadi pasangan hidup Soeratin selama bermarkas di Nagreg. Lantas siapa nama Nyonya Soeratin ini?

Jejak Sang Nyonya Terekam dalam Kuis TTS

Sang Nyonya Belanda pendamping Soeratin ternyata gemar bermain TTS (teka-teki silang) di berbagai macam koran. Kemenangannya tercantum dalam banyak koran. Saya menemukan kliping menarik dalam koran berbahasa Belanda De Nieuwsgier edisi 9 september 1950.

"Mevrouw (nyonya) Soeratin, Djalan Lombok 33 A". Data alamat tersebut amat cocok dengan pengakuan narasumber yang bertutur Soeratin memang tinggal di alamat itu.



Selang setahun kemudian dalam koran De Preangerbode edisi 21 April 1951 saya menemukan hal lain yaitu pengumuman pemenang TTS yang nama dan alamatnya adalah: "Nyonya HB Simon, Djalan Lombok 35."



Saya ragu apa betul ini Nyonya Soeratin? Bukankah nama dan alamatnya berbeda?

Keraguan itu terbukti salah. Di Bandung, Tahun 1951, terjadi perubahan nomor-nomor rumah. Di antaranya nomor 33 A berganti menjadi 35. Hal itu dibuktikan lewat sebuah kliping yang saya temukan selanjutnya di koran De Nieuwsgier tahun 1956. [Lihat di bawah ini]



Saya ragu apa betul ini Nyonya Soeratin? Bukankah nama dan alamatnya berbeda?

Keraguan itu terbukti salah. Di Bandung, Tahun 1951, terjadi perubahan nomor-nomor rumah. Di antaranya nomor 33 A berganti menjadi 35. Hal itu dibuktikan lewat sebuah kliping yang saya temukan selanjutnya di koran De Nieuwsgier tahun 1956. [Lihat di bawah ini]

Dalam kliping di atas terlihat bahwa Soeratin dan istrinya tinggal dalam sebuah garasi di Djalan Lombok nomor 35. Yang jadi pertanyaan: Lantas siapa Nyonya Simon seperti yang tercantum pada kliping sebelumnya? Saya pikir orang itu tak lain dari sang Nyonya sendiri. Simak gambar di bawah ini:



Terkuak sudah, nama panjang dari Simon adalah Simon Leijting. Lantas siapakah Simon Leijting? Nama itu jelas untuk gender pria, bukan nama asli si Nyonya. Mungkinkah Simon Leijting itu mantan suaminya dulu? Atau mungkin keluarganya? Atau mungkin juga hanya rekaan dia semata.

Kemiskinan Soeratin yang Tergambar dari Kliping Koran

Yang jelas saya yakin pelaku pengirim kuis-kuis koran tersebut adalah sang nyonya itu sendiri. Sebabnya, sulit untuk memberikan alasan seorang Belanda lain yang melakukan itu. Rumah mereka tinggal adalah rumah milik tentara Indonesia, tentu sulit untuk menampung seorang Belanda lain. Diterimanya sang nyonya tentu karena nama besar Soeratin selama mengabdi kepada TNI.

Sebenarnya ada banyak kliping serupa yang mengumumkan kemenangan sang nyonya. Sebuah fakta dia sering memakai nama samaran atau berganti-ganti nama tetapi dengan tetap menggunakan alamat yang sama: Jalan Lombok 35. Tiga nama yang selalu dia pakai: Mevr Soeratin, Mevr Simon Leijting dan Mevr AE Timmersmans.

Ini trik kecil untuk mengelabui redaksi koran. Lalu buat apa semua itu dilakukan?

Dari kliping-kliping itu saya mendapatkan kesimpulan bahwa hidup Soeratin di masa itu memang sedang terengap-engap. Sang Istri membantu dengan mencoba mengundi nasib lewat hadiah receh dari koran yang diharapkan dapat menambal sulam kehidupan sehari-hari mereka.

Dan, Bingo! Analisa itu mendekati benar. Satu orang sama dengan memakai dua nama berbeda tercantum dalam kliping di bawah ini.



Dari kliping di atas kita bisa bayangkan Soeratin dan istrinya di masa tua. Waktu mereka mungkin dihabiskan duduk bersama mengisi kuis-kuis di koran, kemudian mengirimkannya dengan berbagai nama alias, demi mengejar harapan bisa mendapatkan hadiah TTS.

Mungkin itu gambaran hidup sehari-hari Soeratin dan pasangan hidup Belanda-nya di masa tua. Menghabiskan waktu dengan TTS, mengharapkan hadiah dari TTS, sembari berbagi kehangatan masa tua, di sebuah garasi rumah. Ya, tinggal di garasi sebuah rumah.

Cinta Terlarang Sjahrir, Soetomo dan Soeratin

Bagi para tokoh pergerakan, terkadang menjalin cinta hingga berujung pernikahan dengan etnis Belanda adalah hal yang tidak mudah.

Hubungan Soeratin dan nona misterius itu mengingatkan saya pada kisah cinta Sjahrir dan Maria Duchateu. Bak novel Shakespeare, perbedaan menjadi tembok kokoh penghalang kehidupan cinta mereka.

Disebutkan Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir: Politic and Exile in Indonesia, empat hari setelah Sjahrir dan Duchateu melangsungkan pernikahan di Medan, harian lokal berbahasa Belanda De Sumatra Post langsung membuat artikel provokatif bernada ledekan dengan judul "The Lady in Sarong and Kebaya: Under Police Surveillance". Isinya penuh dengan sindiran dan ejekan kepada Duchateu yang dianggap terlalu bodoh dengan mau menikah dengan Sjahrir, salah satu tokoh penting pergerakan nasional.

Tekanan tak hanya dari datang dari kaum penjajah. Bangsa pribumi pun ikut-ikut menentang perkawinan itu. Terlebih Sjahrir adalah tokoh panutan. "Lha kenapa dia malah menikah dengan bangsa yang menindasnya!" mungkin begitu keluh mereka.

Ketika Sjahrir dan Duchateu berkeliling Medan menyampaikan gagasan kepada kaum pribumi, sering mereka berdua mendapat cela, cerca atau bahkan ditinggal begitu saja tak digubris sama sekali.

Romansa Sjahrir mirip-mirip persis seperti apa yang terjadi pada kakak ipar Soeratin yaitu Dr Soetomo. Pendiri Boedi Utomo itu adalah kakak dari istri pertama Soeratin yakni Sri Woelan yang ditinggalkan Soeratin di Yogyakarta.

Sama seperti Soeratin, Soetomo pun menjalin cinta dengan seorang Belanda. Hatinya direnggut perawat bernama Everdina Broering. Lantas apa tak ada hambatan? Suara-suara minor tetap nyaring didengar. Aral melintang datang secara bertubi-tubi dari pihak Belanda maupun rekan-rekan Soetomo sesama tokoh pergerakan. Tetapi sampai ajal menjemput, Soetomo tetap tak goyah menunjukan cintanya pada sang gadis Belanda.



Kata orang, cinta memang buta. Karena itu pula Sjahrir, Soetomo dan Soeratin pernah dibutakan olehnya.

Kepergian Soeratin ke Bandung, menghilangnya dari dunia sepakbola dan kehidupan yang tragis di masa tua, terindikasi akibat hubungan dengan istri Belanda-nya. Mungkinkah orang-orang menjauhinya akibat pilihannya untuk berbagi kehidupan dengan perempuan Belanda?

Nasib Soeratin berbeda dengan Sjahrir dan Soetomo. Kisah cinta mereka akhirnya menjadi romantika yang lumrah di mata publik. Biar bagaimanapun, Sjahrir dan Soetomo adalah dua nama penting dalam sejarah Indonesia.

Lain hal dengan Soeratin. Keluarga dan PSSI seolah menutup-nutupinya. Kisah cinta dan hubungan sampai tua antara Soeratin dengan perempuan Belanda ini dilupakan, disimpan jauh-jauh, seolah aib yang mesti disembunyikan dan dijauhkan dari pengetahuan umum.

Sebuah pertanyaan besar, lantas ke manakah kerabat dan keluarga saat Soeratin menghabiskan masa-masa tuanya di Bandung? Mungkinkah ada kerenggangan pribadinya dengan keluarga di Yogyakarta sana? Hubungan Soeratin dengan Sri Woelan pun masih jadi pertanyaan. Dicerai atau ditinggalkan begitu saja?

Apapun alasan dan situasinya, Sri Woelan tampaknya tak pernah bisa melupakan Soeratin. Sri Woelan, adik dari pahlawan nasional Dr. Soetomo ini, masih menjaga cintanya pada Soeratin. Dia memilih untuk tetap setia dan tak pernah menikah lagi hingga ajal menjemput.

Kisah percintaan Soeratin dengan perempuan Belanda memunculkan ketakutan yang berlebihan dari PSSI dan pihak keluarga. Kisah ini boleh jadi dianggap bisa menghalangi penilaian pada sosok Soeratin yang kini sedang diajukan menjadi pahlawan nasional.

Tapi, apapun yang terjadi, toh Soeratin akan selalu jadi pahlawan. Setidaknya, pahlawan bagi mereka yang mencintai sepakbola Indonesia, juga pahlawan bagi para pengurus PSSI -- entah mereka mengerti nilai-nilai yang dipraktekkan Soeratin atau tidak.



*Bagian kedua dari 3 tulisan. Ditulis berdasarkan riset pustaka dan wawancara dengan sejumlah narasumber yang dilakukan Aqwam F. Hanifan.



Bagian lainnya

Mengenang Soeratin Bagian I: Soeratin dan Sepenggal Episode Masa Revolusi


Mengenang Soeratin Bagian II: Nyonya Soeratin dan Jejak-Jejak di Teka Teki Silang


Mengenang Soeratin Bagian III: Kepiluan di Pengujung Usia


Feature image dan design grafis oleh: Ivan Hadyan

Komentar