Awal 2000-an adalah waktu Bonek mulai identik dengan nama pendukung Persebaya. Penggunaan nama Bonek itu sendiri tidak lepas dari pembicaraan masyarakat dan media-media di Surabaya seperti Jawa Pos yang berperan penting memperkenalkannya. Silsilah nama Bonek tidak lepas dari catatan kenekatan-kenekatan pendukung Persebaya ketika melakukan tret tet tet setiap pertandingan tandang.
Hal itulah yang menjadi buah bibir di masyarakat, dan Jawa Pos ikut pula meramaikan nama tersebut di setiap pemberitaan tentang pendukung Persebaya. Di sisi lain, Bondho Nekat (Bonek) terkadang terlalu nekat sampai terkadang berbuah catatan kriminal, seperti perkelahian, perusakan, pelecehan, sampai berbagai bentuk penjarahan.
"Sudah ada anarkisnya sejak dulu [bagi] Bonek. Jawa Pos bahkan harus sampai ganti kaca-kaca kereta api yang pecah yang dilempari di Semarang karena anak-anak mengawali lemparan juga. Dulu abis sampai 50 juta, Belum juga yang ngabisin warung-warung di stadion dulu. Itu kan sebenarnya tidak kita kehendaki," ujar Slamet Oerip Prihadi, mantan Jurnalis dan Redaktur Jawa Pos era 80-an, ketika ditemui di rumahnya di kawasan Tropo Indah di Waru, Kabupaten Sidoarjo.
Tindakan-tindakan itu pun melahirkan stigma negatif di mata masyarakat Indonesia karena aksi-aksi kriminalnya tidak kalah deras diberitakan media nasional. Ditambah lagi dengan pemberitaan-pemberitaan tentang beberapa kecelakaan lalu lintas ketika Bonek melakukan tret tet tet dengan kenekatannya yang sampai harus naik di atap maupun pembatas gerbong kereta, atau sambung menyambung truk atau mobil bak terbuka antar kota.
Soal bentrokan antara suporter, Bejo yang merupakan Bonek generasi tua tidak menutup aksi-aksi tersebut dalam beberapa pertandingan tandang Persebaya. Menurutnya, justru hal tersebutlah yang menarik ketika melakukan tret tet tet dengan cara estafet maupun tidak pada waktu itu. Bahkan menurutnya bahwa tret tet tet dengan estafet merupakan kenikmatan dan pengalaman batin yang tidak bisa didapatkan di belahan dunia lain. "Estafet yang paling menarik dapat minum dan makan gratis. Kalo yang sangat eksotik itu, ya, tawurannya. Waktu ke Semarang (PSIS) tahun 1995," ujar Bejo sambil tertawa ketika ditemui di salah satu warung kopi kawasan Waru, Kabupaten Sidoarjo.
Bentrokan antara suporter dan aksi-aksi kerusuhan lainnya memang selalu menjadi warna tersendiri bagi mereka yang terlibat. Di sisi lain, tragedi-tragedi itu menjadi bumbu atau lahan basah media untuk menjadi bahan konsumsi publik. Namun, Bonek merasa bahwa porsi media yang memberitakan aksi-aksi Bonek sejauh ini selalu berbeda-beda, bahkan cenderung menyudutkan. Hal itulah yang membuat Bonek acapkali berkonflik dengan media massa. Terakhir, Bonek sempat memprotes salah satu stasiun televisi nasional karena dianggap terlalu menyudutkan dan menempatkan mereka di situasi negatif sehingga memperpanjang kebencian di masyarakat.
Sekitar 500 lebih massa Bonek mendatangi biro kantor televisi nasional itu di Surabaya agar memberikan klarifikasi dan permintaan maaf. Bonek merasa tidak adil karena hanya aksi-aksi buruknya saja yang dipublikasikan televisi nasional itu. Padahal banyak hal positif yang dilakukan mereka yaitu penggalangan dana untuk korban bencana alam maupun Bonek yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan penyerangan dari oknum suporter lain.
"Kami hanya ingin menyampaikan kepada berbagai media massa, jika Bonek itu salah, keliru, merugikan masyarakat, silahkan beritakan saja sesuai fakta yang ada. Tapi jika ada kegiatan positif, tolong diberitakan seobjektif mungkin karena itu membantu untuk perubahan Bonek itu sendiri. Artinya, Kami membutuhkan support dari media massa karena memang sejarah Bonek dibentuk media massa. Bonek itu lahir karena media massa mendorong eksistensi Bonek di Indonesia di tahun 1988," kata Andie Peci selaku juru bicara Bonek ketika ditemui di Warung Kopi Pitulikur, kawasan Ngagel, Wonokromo, Surabaya.
Di sisi lain, Zulham Firmansyah selaku Bonek era 2000-an tidak peduli bagaimana cara media memandang Bonek lewat aksi-aksi kriminalnya. "Kalau aku pribadi terserah mereka (media yang menjelekkan Bonek). Emang Bonek seperti ini. Kita melakukan hal baik, ya tanpa kita nge-share mungkin Allah yang tahu, lillahi ta`ala. Kalau hal jeleknya mereka nge-share mungkin buat mereka mencari rating atau keuntungan. Kalau saya pribadi, kalau hal-hal positif dilakukan Bonek, gak akan saya share. Buat pribadi aja," ujarnya ketika ditemui di kawasan Gubeng Surabaya.
Bahkan Bonek juga melancarkan berbagai kritik kepada Jawa Pos yang memiliki 70% saham Persebaya. Padahal Bonek sendiri merasa gembira karena sudah ada yang mengelola Persebaya setelah Arek Bonek 1927 membubarkan diri karena tugas perjuangan Bela Persebaya selesai. Sisanya, mereka menyerahkan Persebaya dikelola PT Jawa Pos Sportainment. Tentu saja harapan Bonek kepada PT Jawa Pos Sportainment adalah membuat Persebaya lebih baik berdasarkan pengalamannya dalam pengelolaan perusahaan. PT Jawa Pos Sportainment juga sudah melakukan komunikasi dengan Bonek sebelum membeli saham Persebaya. Komunikasi dijalin dengan mengundang beberapa Bonek yang bisa hadir pada waktu itu.
Namun sejauh ini, apa yang dilakukan induk besar mereka yaitu Jawa Pos, masih banyak catatan kekurangannya soal pencitraan Bonek itu sendiri. Padahal Jawa Pos sendiri berharap bahwa citra Bonek sebagai suporter yang bertindak kriminal dan buruk itu bisa dihilangkan. Salah satunya koran Jawa Pos yang setiap Hari Selasa selalu membahas tentang Bonek yang mapan dan dianggap baik oleh pembaca saja. Strategi pemberitaan seperti itu dianggap bisa bermata dua oleh Andie. Ia beralasan begitu karena Bonek memiliki banyak level di tingkat komunitas yang memiliki masalah dalam soal dukungan kepada Persebaya. Artinya, Andie menyarankan agar PT Jawa Pos Sportainment mendekatkan komunikasi kepada Bonek yang sering membuat keonaran dan aktivitasnya mengganggu masyarakat dengan diajak bicara dan dikampanyekan.
"Kalau buruk, tidak apa-apa, dikampanyekan saja. Artinya selalu ada sesuatu yang tidak nyambung antara kampanye dengan pemberitaan-pemberitaan Bonek itu sendiri yang bermasalah. Jawa Pos selalu menampilkan sesuatu yang mapan, selalu menampilkan Bonek yang berprofesi sebagai dokter, profesi-profesi yang kira-kira dianggap publik lebih layak itu sering ditampilkan. Sering ditampilkan bonek yang kreatif," tegas Andie.
Pemberitaan-pemberitaan soal kemapanan itu dianggap tidak membumi dengan Bonek itu sendiri. Menurut Andie, persoalan Bonek itu sebetulnya tidak perlu orang lain yang memperbaikinya, baik itu manajemen, aparat, atau bahkan PSSI sekalipun. Baginya yang bisa memperbaiki Bonek adalah Bonek itu sendiri. Strateginya seperti apa? Yaitu mendekatkan kelompok-kelompok yang memiliki masalah. Contohnya saja Bonek mengalami perubahan yang luar biasa karena bisa berdamai dengan kelompok yang pernah bersitegang.
Memang banyak yang tidak mengira bagaimana mungkin Bonek bisa berdamai dengan Pasopati yang merupakan pendukung Persis Solo. Itu adalah contoh yang sederhana karena konflik di masa lalu dengan Pasopati cukup besar, mengingat Bonek selalu kena pukul dan lempar ketika melewati Kota Solo. Hubungan baik dengan Pasopati sendiri menunjukan bahwa Bonek bisa berdamai dengan konflik masa lalu. Hebatnya, Bonek tidak melibatkan aparat keamanan, kepolisian, media-media besar, dan para elite sepakbola nasional, untuk kampanye perdamaian tersebut.
Situasi yang sama juga dilakukan Bonek kepada para pendukung Persija Jakarta dan Persela Lamongan, "Tanpa melibatkan siapapun (perdamaian). Artinya tanpa melibatkan kampanye perdamaian dari pemerintah atau aparat keamanan. Ya, banyak perubahan yang sebenarnya dilakukan oleh Bonek dengan cara Bonek itu sendiri dan kami yakin itu akan bisa dilakukan oleh Bonek," kata Andie.
Bersambung ke halaman selanjutnya
Komentar