Kisruh yang terjadi dalam sepakbola Indonesia belakangan ini semakin mencapai puncaknya. Kekhawatiran-kekhawatiran pun muncul akan dampak yang terjadi untuk persepakbolaan Indonesia. Dimulai dari kelanjutan Qatar National Bank (QNB) League yang tak jelas, hingga bayang-bayang hukuman FIFA.
Belum lama ini, 18 peserta QNB League 2015 diundang Menpora untuk membahas tentang kelanjutan liga. Namun pertemuan tersebut tak menghasilkan titik temu bagi antar pihak karena para perwakilan klub kompak menolak melanjutkan liga jika tanpa melibatkan PSSI meski tetap dikelola PT Liga.
Hal seperti ini sebenarnya pernah terjadi juga di Italia, tapi dengan permasalahan yang berbeda. Di Italia justru sebaliknya, pihak federasi sepakbola Italia yang resmi diakui FIFA, rela mengalah pada perwakilan kesebelasan besar Italia yang membentuk liga baru pada pertemuan untuk mencari jalan keluar.
Semua ini bermula jelang awal musim 1921-1922. Federazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC), federasi sepakbola Italia, hendak menggelar kompetisi teratas Liga Italia dengan sistem baru, yakni dengan diikuti oleh 72 kesebelasan yang terbagi menurut provinsi masing-masing, sebelumnya hanya 48.
Hal ini mendapat penolakan dari kesebelasan-kesebelasan besar Italia saat itu seperti Genoa, AC Milan, Inter Milan, Juventus, Bologna, Pro Vercelli, Lazio, Salerintana, Torino, dan lain-lain. Menurut mereka, liga dengan jumlah peserta sebanyak itu terlalu banyak. Sistem yang digunakan pun kurang kompetitif, apalagi kesebelasan-kesebelasan kecil yang tak memiliki jumlah pendukung banyak ikut disertakan.
FIGC tak menggubris keinginan kesebelasan-kesebelasan besar tersebut. Inilah yang melahirkan pembangkangan dari kesebelasan-kesebelasan besar di atas. Kemudian terciptalah liga baru yang digagas oleh kesebelasan-kesebelasan besar tersebut di bawah federasi baru bernama Confederazione Calcistica Italiana (CCI). Maka pada musim 1921-1922 dua liga berjalan secara bersamaan di Italia.
Baca juga artikel lain tentang reformasi sepakbola di Australia, Vietnam, Jepang, Brunei Darussalam, dan Jerman.
Dua liga ini pun menghadirkan dua juara Italia. US Novese keluar sebagai juara liga bentukan FIGC, sementara Pro Vercelli merupakan peraih kampiun dari liga baru bentukan CCI. Inilah yang membuat presiden FIGC merasa tidak nyaman jika situasi seperti ini terus dibiarkan.
Presiden FIGC saat itu, Luigi Bozino, merasa kondisi sepakbola Italia dengan dua liga seperti ini tak akan baik bagi masa depan sepakbola Italia. Namun ia tak memiliki ide untuk menyelesaikan masalah yang ada. Karenanya, ia terus berkonsultasi dengan editor senior harian Gazzetta dello Sport, Emilio Colombo, agar bisa menemukan solusi terbaik bagi kedua liga.
Di saat bersamaan, CCI pun mulai gelisah dengan situasi saat itu. Pasalnya, CCI bukanlah federasi sepakbola resmi yang diakui FIFA, karena FIFA hanya mengakui FIGC. Masalah legalitas dan keberlangsungan liganya pun dipertanyakan karena tak diakui pemerintah.
Dari sanalah Colombo muncul sebagai penengah. Colombo mengajak perwakilan kesebelasan-kesebelasan CCI untuk duduk bersama dan mencari jalan keluar dari permasalahan dualisme liga. Bagaimanapun, liga bentukan CCI membuat FIGC kehilangan banyak kesebelasan karena lebih memilih bergabung dengan liga bentukan CCI yang diikuti oleh 56 kesebelasan.
Setelah mendengar dan mempertimbangkan pendapat dari kedua belah pihak, Colombo akhirnya mengumumkan tujuh poin sebagai jalan keluar dari dualisme liga Italia saat itu. Solusi ini sendiri kemudian disebut dengan âCompromesso Colomboâ.
Dari tujuh poin tersebut, di antaranya berbunyi pengelolaan liga untuk musim 1922-1923 akan dikelola oleh orang-orang yang menyelenggarakan liga bentukan CCI. Meskipun begitu, liga tetap berjalan di bawah naungan FIGC.
Pro Vercelli yang menjadi juara liga bentukan CCI pun tetap diakui oleh FIGC, merupakan bagian dari keputusan Colombo. Karenanya, musim 1921-1922 Italia tetap memiliki dua juara, US Novese dan Pro Vercelli.
Sejak saat itu, CCI dan FIGC bekerja sama untuk membentuk liga yang lebih kompetitif. Pada musim yang baru, liga dibagi ke dalam dua wilayah, Southern League dan Northern League. Namun pada pada musim 1929-1930, FIGC memutuskan untuk menggabungkan Northern League dan Southern League ke dalam satu liga dengan sistem kompetisi penuh. Sejak saat itulah Serie A Italia lahir.
***
Di Italia, dualisme federasi dan dualisame liga menjadi awal berkembangnya sepakbola Italia. Karena dualisme  inilah yang melahirkan Serie A. Dan tak lama setelah Serie A terbentuk, tepatnya lima tahun setelah Serie A terbentuk, Italia kemudian meraih gelar juara Piala Dunia pertamanya, bahkan meraih trofi keduanya empat tahun berselang.
Di Indonesia, dualisme federasi dan dualisme liga baru menghasilkan Liga Super Indonesia. Namun masalah-masalah kronis seperti tunggakan gaji pemain hingga pengaturan skor masih terjadi di Indonesia, di mana ini tentunya cukup berpengaruh pada prestasi timnas Indonesia.
Pertemuan terakhir Menpora dengan perwakilan klub belum menghasilkan jalan keluar. Akhirnya, kelanjutan liga menjadi tak jelas di mana ini tentunya akan berpengaruh juga pada persiapan timnas Indonesia yang akan berlaga pada babak kualifikasi Piala Dunia 2018 dan Piala Asia 2019. Itupun jika Indonesia masih aman dari ban FIFA yang sampai saat ini masih jadi pertanyaan akan dijatuhkan atau tidak.
Yang jelas, harus ada yang mengalah pada persoalan Indonesia di sini. Dan yang mengalah harus memikirkan tentang kemajuan sepakbola Indonesia itu sendiri. Seperti yang dilakukan FIGC yang mengalah pada kesebelasan-kesebelasan besar sehingga menghasilkan liga yang lebih baik di Italia.
foto: figc.it
Komentar