Ini merupakan halaman dua dari editorial Sebab PSSI dan PT LI Memang Harus Ditantang Pihak Luar
Jika membaca poin-poin yang mendasari tujuan dibuatnya regulasi mengenai lisensi klub di atas, tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa regulasi tidak ditujukan di level domestik. Tidak ada poin yang mengatakan bahwa regulasi itu hanya dikhususkan untuk kesebelasan yang akan bertanding di kompetisi AFC.
Jika kesebelasan-kesebelasan ISL menolak rekomendasi Tim Sembilan atau BOPI karena waktu dianggap mepet untuk memenuhi persyaratan, pertanyaannya: kenapa tidak sejak awal menyiapkan dokumen yang dibutuhkan? Bukankah ISL 2014 sudah berakhir sejak November? Ada jeda 3 bulan lebih antara 7 November 2014 (final ISL 2014) dengan 20 Februari 2015 (kick-off ISL 2015). Kenapa jeda tiga bulan lebih itu tidak dimanfaatkan untuk memenuhi semua persyaratan dan malahan menyalahkan sisa waktu seminggu antara keluarnya rekomendasi Tim Sembilan dengan jadwal kick-off ISL 2015?
Jika 3 bulan dirasa kurang, bukankah ISL pertama kali digelar pada 12 Juli 2008 (laga Sriwijaya vs Persipura)? Ada jeda waktu lebih dari enam tahun tujuh bulan untuk memenuhi persyaratan. Kenapa tak juga dipenuhi? Apakah enam tahun tujuh bulan juga masih kurang sekadar untuk -- dengan merujuk temuan Tim Sembilan dan BOPI--Â melampirkan dokumen legalitas badan hukum dan membuat NPWP?
Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Setidaknya selama enam tahun itu sudah mengorbankan beberapa pemain sepakbola yang tewas di dalam maupun di luar lapangan, banyak suporter yang tewas karena kerusuhan, puluhan hingga ratusan (jika diakumulasi) pemain yang harus ditunggak gajinya, juga permainan-permainan kotor di lapangan hijau seperti yang tampak pada sepakbola gajah beberapa waktu lalu.
Jika benar sinyalemen yang diberikan Tim Sembilan mengenai pajak, ada potensi kerugian negara yang berlangsung selama enam tahun yang dibiarkan oleh pengelola kompetisi. Ambillah hitung-hitungan ini: jika rata-rata kesebelasan ISL musim lalu yang berjumlah 22 itu menghabiskan 15 milyar, maka ada potensi 99 milyar pendapatan negara yang hilang (dengan asumsi para wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta dikenai pajak sebesar 30 persen). Adakah arahan dari AFC/FIFA untuk mengemplang pajak?
Seluruh hal-hal tidak sedap yang disebutkan di dua paragraf di atas itulah yang justru menjadi tujuan kenapa AFC membuat regulasi mengenai lisensi. Jika melihat tujuan AFC, sebagaimana sudah saya lampirkan di atas, menjadi jelas jika tujuan-tujuan itu belum terpenuhi. Dan dengan merujuk logika dari dibuatnya regulasi mengenai lisensi, semua hal buruk itu mesti dibaca sebagai dampak dari tidak dipraktikkannya secara serius regulasi lisensi itu sendiri.
Jika tafsir domestik yang dikemukakan Joko Driyono ini dipraktikkan, ini akan menjadi faux pas, suatu salah langkah, yang membuat seluruh upaya perbaikan kompetisi yang dibuat oleh PSSI dan PT LI selama bertahun-tahun justru kembali mundur ke era sebelum 2008.
Untuk kesalahan yang menahun seperti itu, menjadi menggelikan ancaman kesebelasan-kesebelasan ISL yang diwakili Harbiansyah yang akan membubarkan kesebelasan nasional Indonesia. Bagaimana ceritanya kesebelasan nasional dibubarkan?
Logika kesebelasan-kesebelasan ISL yang kerap membuat acara "pembubaran tim" di akhir kompetisi, kok, dipakai dalam konteks kesebelasan nasional? Untuk diketahui, pernahkah kesebelasan-kesebelasan di Eropa sana, misalnya, membuat acara "pembubaran tim" di akhir kompetisi?
Ancaman pembubaran kesebelasan nasional Indonesia, bagi saya, bukanlah slip of tongue alias keseleo lidah tapi sebentuk freudian slip: ketika ucapan mencerminkan sesuatu yang sudah bertahun-tahun terperam dalam alam bawah sadar. Apakah yang terperam bertahun-tahun dalam alam bawah sadar itu? Ya logika pengelolaan sepakbola ala APBD yang tentunya tak senafas dengan regulasi lisensi AFC itu sendiri.
"Pembubaran tim" lahir dari rahim sepakbola era APBD. Kita tahu, anggaran untuk sebuah kesebelasan turun per tahun, setelah RAPBD disetujui oleh DPRD. Setelah kompetisi selesai, tidak ada anggaran karena anggaran memang harus habis dan untuk musim depan harus mengajukan anggaran lainnya melalui dana hibah yang dimasukkan dalam RAPBD. Maka muncullah kebiasaan "pembubaran tim".
Kami secara berkala melakukan analisis terkait keruwetan pengelolaan kompetisi di Indonesia. Simak beberapa ulasannya:Kepastian Jadwal Liga sebagai Hal Krusial
Apa-nya yang (Sudah) Bagus dari Sepakbola Indonesia, Pak Nyalla?
Akal Sehat dalam âBursa Transferâ ISL
Masalah Finansial jadi Pintu Masuk Pengaturan Skor & Sepakbola Gajah
Korban-Korban Sepakbola Indonesia
Maka menjadi penting untuk memperlakukan rekomendasi Tim Sembilan sebagai "tantangan kreatif" yang diterjemahkan dengan cara terus menerus memperbaiki diri, secara serius, secara benar-benar, dan bukan main-main apalagi terus menerus melakukan pembiaran. Rekomendasi Tim Sembilan harus diperlakukan sebagai suatu dorongan dialektik yang dengan itulah kompetisi sepakbola terus-menerus membaik dan membaik dan bukan berkubang di kubangan yang sama melulu.
Sejak digulirkannya ISL per 2008, langkah-langkah perbaikan kompetisi selalu membutuhkan tekanan dari luar PSSI itu sendiri, entah dari FIFA/AFC, dari pemerintah hingga lawan-lawan rezim PSSI sekarang. Tekanan-tekanan itu, terbukti, membuat PSSI dan PT LI dipaksa dan terpaksa untuk memperbaiki diri sendiri.
Desakan dari AFC dalam bentuk regulasi lisensi membuat PT LI memang tak bisa leluasa lagi memutar kompetisi segampang memutar roda turnamen tarkam. Kesebelasan-kesebelasan pun dipaksa untuk memenuhi persyaratan itu, walau faktanya, lagi-lagi, persyaratan itu tidak dipraktikkan dengan ketat dan serius sehingga muncullan poin-poin rekomendasi BOPI.
Desakkan dari pemerintah, dalam bentuk larangan menggunakan APBD untuk kesebelasan profesional, juga berhasil menghadirkan tantangan kreatif yang membuat manajemen terpaksa memutar otak untuk mencari uang. Dari situlah muncul kesebelasan bertabur sponsor seperti, misalnya, Persib hingga Persipura.
Tanpa "tantangan kreatif" berupa larangan menggunakan dana APBD, entah akan berapa milyar uang rakyat yang akan dijejalkan ke kantong pemain-pemain asing dan entah akan berapa lagi pengurus sepakbola yang akan berurusan dengan KPK.
Desakkan dari lawan-lawan rezim PSSI dan PT LI, taruhlah itu Indonesian Premier League (IPL), memang melahirkan dualisme dengan kerumitan yang memusingkan. Tapi dari "interupsi" yang diberikan oleh IPL itulah PSSI/PT LI/ISL akhirnya (dipaksa) tahu bahwa hak siar kompetisi selama ini, yang diserahkan kepada ANTV selama bertahun-tahun, terhitung kecil (10 milyar per musim).
Dan kini, PSSI/PT LI/ISL meminang buahnya dengan kucuran uang yang tidak kecil dari televisi yang membeli hak siar ISL atau kesebelasan nasional Indonesia. Infus yang memberi nafas panjang pada PSSI sekarang mayoritas datangnya dari hak siar. Tanpa hak siar yang didatangkan melalui negosiasi yang sepadan, entah dari mana PSSI bisa mendapatkan pemasukan sebesar 131,448 milyar selama 2014 lalu.
Desakan dari sistem hukum di Indonesia, misalnya dari Komite Informasi Publik (KIP) yang menyatakan bahwa PSSI adalah badan publik, membuat PSSI melampirkan laporan keuangan tahunan di situs mereka sehingga bisa diakses oleh publik. Orang boleh mengkritik detail laporannya, tapi PSSI setidaknya sudah melampirkan laporan pengelolaan sepakbola di tahun 2014.
Ini perlu dibaca sebagai perkembangan dialektik, ketika desakan eksternal (publik yang mengajukan tuntutan ke KIP) direspons dengan cara mengunggah laporan keuangan. Dan itu perkembangan yang baik dari PSSI. Sebagai langkah awal layak diapresiasi walau itu mula-mula dipicu oleh desakan dari pihak luar-- dan itulah pentingnya orang luar yang menyodorkan tantangan-tantangan kreatif.
Empat ilustrasi di atas, sekali lagi, memperlihatkan bahwa desakan dari luar tubuh PSSI terbukti menjadi sebuah "tantangan kreatif" yang (diakui atau tidak diakui) membuat PSSI, PT LI, ISL dan kesebelasan-kesebelasan di Indonesia terdorong untuk mengubah dirinya hingga seperti sekarang.
Tanpa desakan dari luar, mungkinkah hal-hal tersebut akan muncul dalam sepakbola Indonesia? Saya kira tidak. Boleh jadi malah sepakbola Indonesia hingga hari ini masih akan dipimpin oleh narapidana kasus korupsi yang itu tuh, bukan? Keterbukaan dan transparansi macam apa yang bisa diharapkan jika organisasi dipimpin oleh terpidana korupsi?
Sejarah perkembangan ISL, untuk sebagian, bisa dibaca sebagai kisah mengenai desakan dari pihak eksternal PSSI. Dan sejarah itu, masih akan berjalan, kali ini datang dari Tim Sembilan dan BOPI. Dan itu sebaiknya disikapi sebagai, sekali lagi, "tantangan kreatif".
Peradaban, tak terkecuali peradaban sepakbola, selalu tumbuh dan berkembang dengan menjawab tantangan-tantangan yang muncul. Dalam teori peradabannya Arnold J. Toynbee, seorang filsuf sejarah, peradaban berkembang karena mampu menjawab tantangan-tantangan sulit yang muncul dengan tiba-tiba maupun tidak tiba-tiba. Peradaban melaju bukan karena superioritas genetik seorang pemimpin, tapi kesigapan sebuah masyarakat untuk menjawab tantangan-tantangan yang memaksa mereka untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Peradaban, kata Toynbee, adalah sebuah gerak dan bukan keadaan, merupakan suatu perjalanan dan bukannya pelabuhan (civilization is a movement and not a condition, a voyage and not a harbor).
Gerak dan bergeraklah, dengan menjawab tantangan kreatif, bukan malah menghindari tantangan kreatif dengan cara meminta permakluman dan pengecualian melulu. Sebab kita semua tak mau peradaban sepakbola Indonesia betah bersandar di pelabuhan tanpa prestasi dan nunggak melulu. Sekali lagi: gerak dan bergeraklah, dan bukan sekadar gerak-gerik!
Malulah minta pengertian negara dengan menyurati Presiden padahal sebelumnya ada pengurus PSSI yang bilang sepakbola milik FIFA.
Komentar