Bak petir di siang bolong, Sinisa Mihajlovic tiba-tiba dikabarkan siap meninggalkan AC Milan pada akhir musim ini. Mengejutkan memang. Mengagetkan seperti Joey Jordison yang tiba-tiba mengundurkan diri sebagai pemain drum band metal, Slipknot. Joey seolah tidak menikmati pemaknaan lagu Slipknot berjudul "Till We Die". Sementara Mihajlovic, menghapus potret kedatangannya sambil membetangkan bertulis "We Are AC Milan" saat awal musim ini.
Kabar tersebut memang di luar perkiraan. Tapi informasi itu bisa dibenarkan jika terjadi di awal musim ini. Saat itu Mihajlovic sedikit kesulitan membawa Milan berada di posisi enam besar klasemen sementara, sehingga muncul anggapan bahwa Mihajlovic belum lebih baik daripada Pelatih Milan sebelumnya, Filippo Inzaghi. Tapi Mihajlovic mulai menemukan ritmenya sejak memasuki tahun 2016. Integritas yang disuapkan kepada Riccardo Montolivo dkk., mulai tersalurkan dengan baik, dan perlahan mulai bangkit.
Salah satu prestasi yang mulai tampak adalah menembus final Coppa Italia 2015/2016. Milan sudah 13 tahun tidak merasakan atmosfer final Coppa Italia sejak 2002/2003. Pencapaian ini adalah penghargaan yang dihadiahkan Mihajlovic untuk Milan, sekaligus menjadi fondasi kuat atas harapan-harapan yang diberikan klub kepadanya.
Tapi tunggu dulu, ada yang Anda lewatkan dari keberhasilan Milan bisa sampai di Final Coppa Italia ini. Milan memang menang besar atas Alessandria dengan agregat 6-0! Tapi sekali lagi, Anda tidak akan membaca kemenangan terlalu banyak jika kemenangan atas Alessandria, hanya dipandang sejauh angka saja.
Tanpa mengeesampingkan Alessandria, namun mereka adalah kesebelasan dari Lega Pro, divisi tiga Liga Italia. Sehingga bukan hal yang luar biasa jika Milan bisa mengadaskan mereka dengan mudah. Sebelum bertemu Alessandria, Milan juga bertemu dengan lawan-lawan yang notabene lebih lemah. Mereka mengalahkan kesebelasan promosi Serie-A, Carpi, dan mengalahkan Sampdoria yang masih meraba-raba bersama pelatih barunya, Vincenzo Montella.
Coba bandingkan perjalanan Milan dengan calon lawannya di final, Juventus, yang menyingkirkan kesebelasan-kesebelasan lebih sulit. Juventus berhasil menyingkirkan rival sekotanya, Torino, susah payah mengalahkan Lazio dan hampir ditendang Internazionale Milan di semifinal. Melalui perjalanan menuju final tersebut, Coppa Italia seolah menjadi keberuntungan yang menjadi kesempatan untuk Milan.
Tapi jika melihat perjalanan di Serie-A, klub berjuluk I Rossoneri itu tidak hanya sekadar beruntung. Seperti yang sudah dijelaskan, Milan mulai menemukan integritasnya sejak memasuki tahun 2016. Formasi tradisional 4-4-2 a la Mihajlovic berhasil menciptakan sisi fleksibel dan kreatifnya. Hal ini menjadi sesuatu yang paling penting bagi Mihajlovic sejauh musim ini, selain memunculkan Gianluigi Donnarumma atau memenangi saga transfer Alessio Romagnoli.
Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Peribahasa ini cocok dengan Milan ketika dikalahkan Sassuolo pada 6 Februari lalu. Mihajlovic mengkritik sebagian para anak asuhnya karena kekalahan tersebut. Mario Balotelli tidak luput dari kritik pedas, begitu juga dengan Jeremy Menez yang baru sembuh dari cedera. Isu rencana pengunduran diri Mihajlovic mulai muncul. Keadaan pun semakin panas karena Milan ditahan imbang Chievo tanpa gol. Dua laga berturut-turut tanpa kemenangan ini telah menghapus dua bulan yang manis tanpa terkalahkan.
Kesabaran pelatih asal Serbia ini benar-benar surut saat itu. Selama masa sulit putaran satu, ia memang selalu dikritik Silvio Berlusconi, bahkan para suporter Milan. Skuatnya saat ini selalu dianggap kurang baik oleh mereka. Mihajlovic dinilai bukan orang yang tepat untuk mengembangkan Milan dan mengembalikan kejayaan di Eropa. Kritik lainnya adalah Milan mulai kehilangan kredibilitasnya. Adriano Galliani, Wakil Presiden Milan, pun seolah memberikan kode jika Eusebio Di Francesco, Pelatih Sassuolo, disiapkan untuk menggantikan Mihajlovic.
Padahal Mihajlovic sedang membangun skuat masa depan dan diperkirakan bakal sukses. Sebetulnya, Milan sudah memiliki kedalaman skuat yang mumpuni pada musim ini. Pihak klub pun sudah mengeluarkan uang sampai 85 juta euro untuk mendatangkan pemain semacam Carlos Bacca dan Romagnoli.
Sesuatu yang Sudah Dilakukan Sinisa Mihajlovic untuk AC Milan
Perlu disadari juga bahwa sudah banyak yang dilakukan Mihajlovic untuk Milan. Salah satu buktinya adalah keputusannya mulai memainkan Donnarumma. Tidak ada yang mempercayai keputusannya ketika menggantikan Diego Lopez oleh Donnarumma. Tidak ada juga yang tahu tentang kiper yang saat itu baru berumur 16 tahun tersebut. Berbeda dengan Diego Lopez sebagai mantan kiper Real Madrid. Tapi sekarang Donnarumma bisa menjaga gawang lebih baik daripada seniornya itu. Buktinya, Diego Lopez kebobolan 14 gol dari delapan laga perdananya di Serie-A 2015/2016. Sedangkan Donnarumma hanya kebobolan lima gol dalam delapan laga pertamanya pada musim ini.
Sementara di lini belakang, Ignazio Abate dan Luca Antonelli tampil konsisten sebagai full-back. Alex dan Cristian Zapata berlomba-lomba menjadi yang terbaik sebagai pendamping Romagnoli. Para bek Milan inilah yang mempermudah tugas Donnarumma menjaga gawangnya. Absennya Riccardo Montolivo ketika menghadapi Sassuolo pun menyadarkan para suporter Milan. Sebelumnya, mereka selalu berpikir kontribusinya untuk Milan selalu minim. Ya, walau gaya kepemimpinannya sebagai kapten kurang berkharisma, namun gaya permainannya di lapangan tetap dibutuhkan.
Sementara Juraj "Kuco" Kucka menjadi dinamo baru di lini tengah Milan. Mihajlovic juga telah membantu kesempurnaan Giacomo Bonaventura. Keisuke Honda pun selalu tampil kerja keras di sayap kanan pada formasi 4-4-2. Setelah ia tidak cocok menjadi trequartista pada formasi 4-3-1-2.
Bacca pun memberikan kinerja brilian dalam serangan Milan sejauh ini. Mihajlovic juga terus mendorong M'Baye Niang untuk menjadi pemain besar. Bahkan untuk Menez sekalipun yang sempat mendapat kritik. Tapi ia sempat menunjukan kebangkitannya ketika mencetak dua gol ke gawang Alessandria.
Hal-hal yang dilakukan Mihajlovic itu sebetulnya sudah menjanjikan. Walau Galliani menganggap Di Francesco lebih baik dalam membangun Sassuolo. Perlu disadari juga bahwa Mihajlovic kembali jatuh ke dalam situasi sulit. Tapi Milan sedang berada di dalam kemerosotan yang positif, seperti yang dikatakan Giovanni Trapattoni. "Milan jatuh ke dalam situasi sulit. Mereka berjuang akhir-akhir ini untuk mendapatkan gol kemenangan dan karena itu kehilangan antusiasmenya. Saya pikir (Sinisa) Mihajlovic memiliki kemampuan untuk membawa mereka ke Liga Eropa," ujar mantan Pelatih Republik Irlandia ini, seperti dikutip dari Football-Italia.
Andai saja integritas Mihajlovic terwujud sejak awal musim, sebetulnya skuat saat ini cukup berkompeten untuk tampil di Liga Champion musim depan. Tapi waktu mengatakan Milan masih belum cukup untuk itu. Kendati demikian, ini adalah sinyal yang baik untuk Milan. Sebab, bukankah mereka memang sedang kembali membangun proyek jangka panjang? Jika pihak klub ingin meraih segalanya dengan instan pada musim ini, mengapa tidak mendatangkan pelatih yang menjamin stabilitas liga domestik dan Eropa? Tidak perlu ada Mihajlovic atau Di Francesco yang sedang merajut stabilitas di liga domestik saat ini.
Saat ini mereka butuh mengetahui bagaimana caranya agar menjadi "AC Milan". Saat ini mereka hanya menunggu saingan-saingannya terpeleset sambil membangun pondasi untuk masa depan. Pasalnya, Milan sudah memecat empat pelatih dalam tiga musim terakhir. Tapi orang-orang seperti sulit untuk terkesan kepada Mihajlovic. Mereka justru berpendapat jika Mihajlovic tidak pantas diberikan lebih banyak waktu.
Seharusnya, perjalanan Milan musim ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Ini adalah waktu yang sedang diproses menjadi sukacita para Milanisti, untuk berkiprah di Eropa seperti yang diinginkan. Maka sudah seharusnya mereka berpendapat jika Mihajlovic pantas diberikan lebih banyak waktu. Sebab, Milan bukanlah sebuah mie instan.
Foto oleh: Dex Glenniza.
ed:Â fva
Komentar