Tim nasional Indonesia kalah dari Thailand. Indonesia kembali harus puas berstatus sebagai runner-up. Lima kali di final Piala AFF, lima kali juga Indonesia gagal juara. Dan setiap kegagalan di ujung perjuangan, rasanya akan terasa lebih menyakitkan.
Di saat seperti ini, pengandaian-pengandaian pun mulai muncul ke permukaan. Seandainya Bayu Gatra yang main, seandainya Ferdinan tidak melakukan salto dan memberikan bola pada Boaz, seandainya Andik bisa bermain, seandainya Irfan Bachdim tidak cedera, seandainya final hanya dilakukan satu leg, dan masih banyak lagi seandainya yang bisa terlontar.
Tapi dari sekian banyak seandainya yang muncul, ada satu hal yang saya rasa paling amat disesali; seandainya Indonesia bisa tampil dengan kekuatan penuh. Ya, di Piala AFF 2016 ini, pelatih Indonesia, Alfred Riedl, memiliki skuat terbatas karena adanya aturan dua pemain per klub.
Sekarang bayangkan, bagaimana bisa Indonesia tampil maksimal dengan komposisi pemain yang tidak maksimal? Jangan heran Riedl begitu kelimpungan ketika Irfan Bahcdim cedera menjelang Piala AFF 2016 digelar untuk mencari pengganti. Padahal, Indonesia rasanya memiliki banyak penyerang berkualitas yang layak membela timnas.
Keterbatasan ini terjadi karena liga (tidak resmi) Indonesia bernama Indonesia Soccer Championship (ISC) terus berjalan meski timnas Indonesia berlaga di Piala AFF 2016. Alasannya agar ISC tetap berjalan sesuai agenda sehingga tidak mengganggu persiapan Liga Super Indonesia 2017 yang direncanakan akan kembali digelar Maret 2017. Tapi, haruskah mengorbankan timnas?
Sebagai gambaran bagaimana kekuatan timnas Indonesia bisa lebih seandainya tak ada aturan di atas, silakan baca: 11 Pemain yang (Harusnya) Bisa Menyempurnakan Timnas Indonesia
ISC, dengan PT Gelora Trisula Semesta (GTS) sebagai pengelola liga, tampak tutup mata dengan kebutuhan timnas. Tak hanya dari pembatasan pemain, tapi juga dari segi penyelenggaraan pertandingan. Bahkan setiap kali timnas berlaga, pertandingan ISC pun berlangsung berbarengan.
Jika melihat akun Twitter resmi ISC (@TorabikaSC2016), tak ada satupun cuitan untuk timnas. Bahkan saat final leg kedua Piala AFF 2016 berlangsung, saat para pemain timnas Indonesia berjuang dengan segenap kemampuan untuk menorehkan sejarah, akun tersebut tetap antusias melaporkan jalannya pertandingan ISC antara Bali United melawan Persija Jakarta yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi swasta. Miris.
Penyelenggaraan ISC pun selalu mengundang kontroversi dari satu pekan ke pekan lainnya. Permasalahan-permasalahan pun terjadi, namun tidak ada tindakan tegas dari pengelola liga selain sanksi administratif yang merugikan klub itu sendiri.
Selain itu, pekan terakhir ISC pun tidak dilaksanakan berbarengan. Padahal, ada dua kesebelasan yang memiliki peluang sebagai juara, Persipura Jayapura dan Arema Cronus. Tapi yang terjadi, Persipura yang hanya membutuhkan hasil seri main lebih dini, 15.30 WIT atau 13.30 WIB. Sementara Arema yang menghadapi Persib di laga terakhirnya baru bermain pukul 18.30 WIB.
Bagi kompetisi profesional, laga terakhir liga, entah itu menentukan atau tidak, biasanya selalu diselenggarakan berbarengan. Tapi hal itu tampaknya tak berlaku bagi PT GTS yang benar-benar terikat dengan jadwal pertandingan siaran langsung televisi.
Padahal ISC memasuki babak-babak seru menjelang kompetisi berakhir. Sebelumnya, ada tiga kesebelasan yang berpeluang juara. Apa yang terjadi pada Arema dan Persipura di pekan terakhir ISC bisa menyuguhkan sensasi seperti Liga Primer Inggris 2011-2012 ketika Sergio Aguero mencetak gol di menit akhir dan membuat Manchester City keluar sebagai juara, membatalkan pesta yang sudah disiapkan Manchester United. Namun ISC mengorbankan hal tersebut demi rating televisi semata (?).
Jadwal ISC kerap berubah-ubah. Persib Bandung misalnya, harus menjalani laga susulan menghadapi Pusamania Borneo FC karena tak memiliki kandang untuk bertanding. Saat itu kandang Persib, Gelora Bandung Lautan Api, sedang dipakai PON 2016. Stadion Si Jalak Harupat sedang direnovasi. Belum lagi perubahan-perubahan hari bertanding ketika timnas bertanding.
Laga Persib bisa dijadwal ulang, tapi laga “final” ISC tak bisa diganggu gugat. Persipura tetap bermain lebih dulu, yang membuat laga Arema-Persib menjadi kehilangan greget-nya.
ISC sendiri sudah mulai ditinggalkan sebagian masyarakat Indonesia jauh sebelum ini. Bahkan mungkin bagi pendukung kesebelasan yang tak lagi memiliki kans untuk juara, hasil pertandingan kesebelasan yang didukungnya itu pun tak lagi penting. Yang penting mendukung timnas Indonesia, walau akhirnya gagal juara.
Bukan berarti kompetisi-kompetisi sebelumnya tidak mempunyai persoalan, namun ISC adalah salah satu yang paling ruwet, penuh tambal sulam, juga berjalan acak-acakan. Dibandingkan kompetisi-kompetisi sebelumnya, bahkan bisa dikatakan: ISC adalah kompetisi yang paling menghamba kepada televisi. Seperti sapi perah.
Sulit diterima akal sehat pertandingan berlangsung hingga menjelang tengah malam -- dan ini terjadi lebih dari sekali. Kelaziman tentang pengarusutamaan tim nasional diremehkan. Akun twitter liga tak punya tata krama menghargai timnas yang bertanding dengan terus menerus bicara pertandingan liga yang sedang berlangsung. Asas menjaga fairness, yang sudah menjadi prinsip umum, dalam menggelar laga terakhir sebuah kompetisi pun diberaki.
Tidak ada penjelasan yang bisa dinalar terkait hal-hal di atas. Seakan publik sepenuhnya tolol sehingga tak tahu mana yang masuk akal dan mana yang omong kosong.
Dan ini semua terjadi di sebuah kompetisi yang dikelola oleh orang yang (dimitoskan) paling pintar dalam soal kompetisi, yang wakilnya adalah pemegang kredensial dari FIFA Master.
Komentar