Kehidupan Adriano Leite Ribeiro saat ini tak lagi bergelimang harta dan kemewahan. Kecanduannya terhadap alkohol dan kehidupan malam membuat hidupnya kini teramat memprihatinkan.
Sebenarnya pada Januari 2016 lalu ia masih sempat bermain untuk klub asal Amerika Serikat, Miami United. Nahas, kariernya di Miami hanya berlangsung empat bulan. Pada Mei 2016 lalu, Miami United memutus kontrak Adriano. Sejak saat itu, ia kesulitan mencari klub baru. Adriano pun memilih pulang ke Brasil.
Saat ini Adriano tinggal di favela, pemukiman padat penduduk di Rio de Janeiro. Di tempat tinggalnya sekarang, kehidupan Adriano semakin ngawur. Kegemarannya terhadap alkohol dan kehidupan malam semakin menjadi.
Bahkan, menurut rumor yang berembus, sosok kelahiran 17 Februari 1982 ini tercatat sebagai anggota Comando Vermelho (CV) – salah satu kelompok kriminal di sana. Rumor tersebut menyeruak setelah tersebar foto dirinya mengangkat senjata api jenis AK47 bersama seseorang yang dicurigai anggota geng CV.
Favela bukanlah kawasan pemukiman yang ramah di Brasil, meski salah satu di antaranya memiliki lapangan sepakbola yang canggih karena bisa menghasilkan listrik dari pijakan kaki para pemain di atasnya. Selain terkenal kumuh, wilayah tersebut pun memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi.
Pada akhir 2017 lalu, Adriano sempat menyatakan keinginannya kembali merumput di lapangan hijau. Flamengo menyambut baik keinginan mantan pemainnya itu kembali bermain. Flamengo pun bersedia membukakan pintu kembali bagi Adriano. Namun Adriano menolak tawaran tersebut.
“Di Piala Dunia 2018, dia akan berusia 36 dan dia masih lebih baik dari orang lain. Slain itu, Flamengo membutuhkan idola. Tapi dia tidak menerima tawaran kami untuk kembali bermain," kata Presiden Flamengo, Eduardo Bandeira de Mello, kepada FOX Sports.
***
Entah apa alasan Adriano menolak tawaran Flamengo. Padahal, kalau ia menerima pinangan tersebut, setidaknya itu bisa menjadi jalan untuk merubah kehidupannya saat ini. Lebih dari pada itu, penolakan terhadap tawaran Flamengo seolah menegaskan bahwa Adriano telah menyia-nyiakan bakatnya sebagai pesepakbola bertalenta emas.
Adriano memang pesepakbola bertalenta emas. Kariernya melesat sejak usia remaja. Pada usia 17 tahun, nama Adriano sudah tercantum dalam skuat utama Flamengo. Dua tahun kemudian, FC Internazionale Milan datang menyodorkan kontrak senilai 13 juta euro. Tanpa berpikir dua kali, Adriano menerima tawaran tersebut.
Awal karier Adriano di Internazionale Milan tak berlangsung mulus. Kala itu usianya masih 19 tahun. Ia masih perlu berkembang sebelum mendapat tempat utama. Ia sempat dipinjamkan ke Fiorentina di paruh kedua musim 2001/02, namun tak menunjukkan perkembangan signifikan hingga Inter menjualnya ke Parma.
Di Parma, mulailah Adriano menunjukkan potensinya sebagai pesepakbola hebat. Selama dua musim berkostum Parma (2002 sampai 2004) Adriano tampil dalam 33 pertandingan di semua ajang dengan torehan 23 gol. Melihat perkembangan pesat Adriano di Parma, Inter memutuskan memulangkan Adriano ke Giuseppe Meazza dengan mahar 23,4 juta euro.
Kembali ke Inter, Adriano diikat kontrak selama empat setengah musim. Keputusan Inter memulangkan Adriano tepat, sebab sang pemain semakin menunjukkan sinarnya sebagai pemain bintang. Bahkan ia disebut-sebut sebagai suksesor Ronaldo Luis Nazario de Lima. Dari tahun 2004 hingga 2009, Adriano tampil dalam 115 pertandingan di semua ajang dan mencetak 47 gol untuk Inter.
Adriano turut membantu Inter meraih kejayaan, khususnya di pentas domestik. Ia berperan besar membawa Nerazzurri meraih scudetto empat musim beruntun (2006-2009), dua trofi Coppa Italia (2004/05 dan 2005/06) serta tiga gelar Supercoppa Italia (2005, 2006, 2008).
Bersama Inter, Adriano merasakan masa keemasan sebagai pesepakbola yang menuai kesuksesan di pentas Eropa. Kehidupan bergelimang harta dan kemewahan begitu dinikmatinya.
Namun, Kehidupannya yang riang menjadi awal malapetaka yang justru mematikan kariernya sebagai pesepakbola. Ia sering keluar masuk klub malam untuk berpesta. Pada 2006, ia sempat dua kali tertangkap berpesta di klub malam. Tak hanya itu, Adriano pun mulai kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang.
Baca juga: Para Pemain yang Kelebihan Berat Badan di Sepakbola
Kegemarannya menenggak alkohol dan keluar malam untuk berpesta malam membuat performanya di lapangan menurun. Penurunan performa yang ditunjukkan Adriano membuat Inter berang. Pada pertengahan musim 2008/09, Inter sempat meminjamkan Adriano ke Sao Paulo. Tujuannya agar sang pemain bisa menemukan kembali permainan terbaiknya. Tapi itu terbukti tak berhasil; performa Adriano malah semakin menukik.
Pada akhir musim 2008/09, Adriano pun dilepas ke Flamengo. Selama semusim membela Flamengo, performanya lambat laun kembali meningkat. Pada 2010 ia kembali ke Italia – bergabung bersama AS Roma. Sayang keputusannya pindah ke AS Roma justru semakin menenggelamkan kariernya. Adriano seolah menjadi pembelian sia-sia Roma. Kontribusinya terbilang minim. Alih-alih mencetak banyak gol, Adriano lebih sering berkutat dengan cedera.
Hanya satu musim Adriano membela Roma. Pada 2011, ia kembali Brasil untuk memperkuat Corintians. Dari 2011 hingga 2016 perjalanan karier Adriano terus merosot. Ia tak pernah lagi mendapat tawaran dari klub besar Eropa. Kariernya terus menukik hingga berakhir di Amerika Serikat bersama Miami United.
***
Penurunan performa Adriano tak dimungkiri karena kecanduannya terhadap alkohol dan kegemarannya pada dunia malam. Bukan tanpa alasan hingga akhirnya Adriano terjerumus dalam lembah hitam yang mematikan kariernya. Kecanduan Adriano pada alkohol dan dunia malam tak lepas dari depresi yang dialami setelah ayahnya meninggal dunia pada 2004 silam.
Javier Zanetti menjadi saksi dari perubahan gaya hidup Adriano setelah ditinggal sang ayah. Zanetti bercerita, pada awal musim 2004 sebuah telepon berdering dan Adriano mengangkat telepon tersebut. Seketika raut wajah Adriano diliputi kemurungan. Air matanya mulai menetes, membasahi kedua pipinya. Sesaat kemudian, ia melempar gagang telepon sembari berteriak: “Tidak mungkin!"
Zanetti yang kebetulan tengah berada dekat dengan Adriano pun menyadari sesuatu yang buruk menimpa keluarga rekan satu timnya itu di Brasil. Bersama Presiden Klub, Massimo Moratti, Zanetti sebisa mungkin menenangkan Adriano yang tengah diliputi kesedihan mendalam, karena kematian sosok yang sangat berarti dalam kehidupannya.
“Saya masih merinding jika mengingat peristiwa itu. Tapi Adriano terus bermain, mencetak gol dan mendedikasikan tujuannya kepada ayahnya. Namun, setelah panggilan itu, dia tidak pernah sama lagi. Sejak saat itu, dia bukan lagi sosok yang sama. Kekalahan terbesar saya adalah gagal mengeluarkannya dari jurang depresi. Saya merasa tak berdaya,” ujar Zanetti, dilansir dari Goal.
Kematian sang ayah membuat Adriano tersentak. Dia tidak siap menerima kenyataan pahit itu. Biar bagaimana pun, sosok sang ayah amat berarti dalam kehidupannya. Berkat sang ayah, motivasinya menjadi pesepakbola tumbuh subur.
"Hanya aku yang tahu seberapa parah aku menderita," ujar Adriano sebagaimana dikutip dari Goal. "Kematian ayahku meninggalkan lubang yang sangat besar. Aku merasa sendirian dan aku menyendiri ketika ia meninggal. Aku sedih dan depresi di Italia, dan saat itulah aku mulai minum.
"Aku hanya bahagia ketika aku minum-minum. Aku minum semua yang ada di hadapanku: anggur, wiski, vodka, bir... aku tak tahu bagaimana menyembunyikannya. Aku biasa tiba di tempat latihan pada pagi hari dalam keadaan mabuk."
Jika hanya Adriano yang tahu seberapa parah ia menderita, maka hanya ia pula yang tahu kapan ia bisa bangkit dari jurang depresi yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini.
Komentar