Yudhistira Haryo Nurresi Putro*
Terkadang rencana tak sejalan dengan harapan. Dalam kehidupan hal tersebut mudah saja terealisasi; bisa jadi karena fenomena alam, ditipu orang, atau memang suratan takdirlah yang memilih jalan untuk kehidupan Anda.
Penulis, mungkin juga sebagian besar dari Anda, mendapatkan sesuatu yang awalnya tak diharapkan, tapi malah berakhir dengan kesuksesan. Salah satu contohnya adalah keinginan penulis untuk diterima di Universitas Indonesia (UI), apapun jurusannya. Penulis berpikir kalau UI adalah segalanya; mereka yang terbaik! Penulis pun mengikuti sejumlah tes masuk UI, tapi takdir berkata lain.
Saat mengikuti tes di Politeknik Negeri Jakarta, penulis tak begitu antusias. Namun, penulis justru lolos dan mengenyam pendidikan selama tiga tahun dan pendidikan lanjutan selama satu tahun di tempat yang bukan tujuan utama.
Sukseskah? Kesuksesan memang relatif, tapi apa yang penulis dapatkan selama empat tahun di tempat lain, barangkali tak akan penulis dapatkan jika memaksa masuk UI, di bidang yang bukan penulis sukai dan pahami.
Di sepakbola tidak jarang kita melihat kasus yang sama. Sejumlah pesepakbola bermain di tempat ataupun kesebelasan yang pada awalnya bukan tujuan utama.
Jacksen F.Tiago (Eks Pelatih Persipura Jayapura) yang sekarang menjadi pelatih Penang FA (Malaysia) mengaku bermain di Indonesia karena ditipu oleh agennya. Dalam wawancara seperti yang dikutip Viva pada 29 Maret 2014, Jacksen mengaku diiming-imingi bermain di Liga Malaysia. Namun, saat berada di dalam pesawat menuju Asia Tenggara, Jacksen baru diberi tahu kalau ia akan bermain di Indonesia.
Lantas apa yang terjadi? Jacksen menjadi salah satu pemain asing yang sukses di Indonesia. Kesuksesan tersebut bahkan merembet ke dunia kepelatihan di mana ia berulang kali menjuarai Liga Indonesia.
Jacksen mulanya bermain untuk Petrokimia Putra pada 1994. Puncak karirnya sebagai pemain didapat saat membawa Persebaya juara Liga Indonesia musim 1996/1997. Karirnya sebagai pelatih mulai 2002 hingga 2014 pun istimewa. Terakhir kali ia membawa Persipura lolos ke semifinal AFC Cup dan mencapai final Liga Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada Robert Lewandowski yang gagal mendarat di Blackburn Rovers pada 2010. Alasannya, ia harus menunda penerbangan akibat meletusnya gunung Eyjafjallajokull di Islandia.
Manajer Rovers kala itu, Sam Allardyce, amat menginginkan Lewandowski ke dalam skuat. Ia bahkan menjulukinya sebagai âRushieâ, Ian Rush versi Polandia. Seandainya Lewandowski tetap bermain untuk Rovers, agaknya ia harus menunda waktu untuk tampil di Liga Champions dan merasakan menjadi juara liga domestik. Bisa dibilang kalau âalam-lahâ yang menghalangi Lewandowski untuk berkarir di Inggris.
Kisah Carlos Bacca menjadi contoh lain. Salah satunya pada tulisan di Pandit Football yang berjudul âKisah Perjalanan Pahlawan Sevilla, Carlos Baccaâ. Bacca cuma pesepakbola jalanan hingga usianya 20. Pada usia tersebut ia mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarga dengan menjadi kernet bus. Saat itu, tak pernah terpikir baginya untuk berkarir menjadi pesepakbola. Yang ia pikirkan saat itu adalah untuk terus mencari uang, untuk menyambung hidupnya dan keluarganya.
Namun, berselang sewindu setelah melakukan peruntungan dengan trial bersama Atletico Junior pada 2006, dirinya sukses ketika ikut andil membawa Sevilla juara Europa League pada 2014 dan berhasil mempertahankan gelar tersebut pada 2015, hingga kini menjadi pemain AC Milan.
Itulah kehidupan, seringkali langkah yang pada awalnya bukan sebagai tujuan utama, justru âdibelokkanâ oleh takdir yang berakhir dengan kebaikan dan kesuksesan seseorang. Tergantung  bagaimana setiap individu menyikapi hal tersebut.
Foto: thegiftofsoccer.org
*Penulis merupakan mahasiswa Admininstrasi Bisnis Terapan Lanjutan di Politeknik Negeri Jakarta berakun twitter @yudhishnp
Komentar