Praktik Public Relations dalam Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Praktik Public Relations dalam Sepakbola

Oleh: Stefanus Tulus Hasudungan

“If I was down to my last dollar, I’d spent it on Public Relations," -Bill Gates.

Adakah hubungan antara Public Relations dengan sepakbola? Banyak. Tanpa disadari, hal-hal seperti peluncuran situs resmi berbahasa Indonesia serta berbagai ucapan pada Hari Nasional Indonesia oleh berbagai kesebelasan Eropa, aksi Southampton FC via Twitter dalam ‘kasus’ jersey Saphir Taider, hingga pernyataan Chelsea FC yang menegaskan dukungan penuh untuk Jose Mourinho, merupakan sedikit contoh praktik Public Relations dalam dunia sepakbola.

Dewasa ini, istilah Public Relations (PR) sudah bukan lagi menjadi hal yang asing. Beragam pengertian dan penjelasan tentang PR sudah hilir-mudik indera pendengaran dan penglihatan. Untuk menyamakan persepsi dan mencegah bias tentang Public Relations, izinkan saya berbagi bekal ilmu yang saya dapatkan di Tanah Padjadjaran.

“Public Relations adalah suatu seni untuk menciptakan pengertian publik yang lebih baik, yang dapat memperdalam kepercayaan publik terhadap seseorang, atau suatu organisasi/badan.”

Definisi Howard Bonham di atas memberikan kita dua poin penting untuk memahami Public Relations: seni menciptakan pengertian publik dan memperdalam kepercayaan publik terhadap seseorang/organisasi/badan.

Senada dengan semangat Jurnalistik, hal yang menjadi landasan dasar profesi Public Relations adalah memenuhi hak publik untuk mengetahui informasi yang sebenar-benarnya tentang seseorang/organisasi/badan. Itulah mengapa wartawan media dan Public Relations Officer (PRO) sebuah perusahaan sangat sering berinteraksi, entah lewat telepon genggam, maupun konferensi pers. Tujuannya untuk memenuhi hak publik untuk mengetahui informasi yang sebenar-benarnya tentang perusahaan tersebut.

Dalam sepakbola, ketika sebuah kesebelasan telah mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik, hal yang selanjutnya dilakukan adalah menjaga hubungan yang harmonis dengan publik melalui kegiatan External Public Relations. Saya akan menjelaskan beberapa praktik External Public Relations yang dijalankan oleh kesebelasan-kesebelasan Eropa melalui website & social media.

Sebagai contoh, Juventus yang meluncurkan website resmi berbahasa Indonesia pada 8 September 2009, dan kesebelasan seperti Inter Milan (23 Juli 2011), Real Madrid (6 Februari 2012), Chelsea FC (11 Mei 2011), Barcelona (8 Mei 2013), Liverpool (10 Mei 2013), dan Manchester City (17 July 2013) seakan berlomba-lomba memuaskan penggemar mereka di Indonesia melalui asupan informasi tentang kesebelasan tersebut menggunakan bahasa ibu orang Indonesia. Tak cukup sampai di situ, kesebelasan-kesebelasan seperti Arsenal, AS Roma, Manchester United, dan Tottenham pun melahirkan akun Twitter resmi berbahasa Indonesia.

Banyaknya penggemar yang ada di Indonesia tentu saja menjadi alasan utama lahirnya hal-hal 'berbau' Indonesia dari kesebelasan-kesebelasan Eropa, bahkan penggemar Juventus di Indonesia dikabarkan merupakan penggemar Juventus terbanyak di dunia dengan 26 juta penggemar. Dari sini, PR berperan besar untuk memanjakan dan menjada pasar tersebut.

Dalam kacamata PR, Juventus tidak lekas puas dan membiarkan jutaan penggemar yang sudah dimiliki harus bersusah-payah menerjemahkan informasi dari laman resmi berbahasa Inggris dan Italia, ataupun menunggu akun fanbase Juventus Club Indonesia menerjemahkannya lewat kultwit. Dari situlah lahir situs resmi ataupun akun-akun social media berbahasa Indonesia lainnya.

Kesadaran pentingnya memberikan informasi teraktual klub yang mudah dicerna oleh penggemar di Indonesia menjadi amat vital. Selain karena kebutuhan penggemar akan informasi aktual dan mudah dicerna terpenuhi, perasaan dihargai dan diperhatikan oleh kesebelasan kesayangan tentu menjadi kepuasan batin bagi para fans Juventus di Indonesia.

Terlebih pada momen HUT RI ke 70 lalu, saat Juventus dan enam kesebelasan Eropa lainnya (beserta para pemain) turut mengucapkan selamat hari kemerdekaan bagi Indonesia lewat media sosial. Dampak hubungan harmonis yang terjalin antara kesebelasan-kesebelasan eropa dan penggemar di Indonesia, tak lain dan tak bukan adalah pertumbuhan jumlah fans, yang hampir serupa artinya dengan bertambahnya pendapatan klub, entah melalui penjualan official merchandise, hak siar, dan lain sebagainya.

Setelah mampu memuaskan kebutuhan penggemar akan infromasi klub dan menjaga keharmonisan dengan publik, PRO kesebelasan sepakbola professional juga dituntut memiliki kemampuan crisis management atau manajemen krisis yang mumpuni. Dimulai dari isu maupun kasus yang tergolong ringan hingga yang bisa memecah supporter bahkan kesebelasan itu sendiri.

Kasus  yang tergolong sederhana adalah peminjaman super singkat Saphir Taider dari Inter Milan di awal musim 2014/2015. Seorang fans yang telah mengeluarkan 65 poundsterling (sekitar 1,3 juta rupiah jika mengasumsikan 1 poundsterling = 20.000 rupiah) untuk jersey dengan name set “Taider” mengutarakan kekecewaannya lewat akun Twitter @JBridle2, satu jam setelah berita pembatalan kontrak peminjaman dipublikasikan Southampton.

Menilik dari sudut pandang ekonomi, sebenarnya Southampton sama sekali tidak bersalah dan tidak perlu memberikan kompensasi apapun dalam hal ini. Pembatalan kontrak peminjaman Saphir Taider sah menurut aturan transfer dan merupakan keputusan terbaik bagi kesebelsan dengan tidak mengontrak pemain yang gagal menunjukkan performa sesuai standar.  Lagi pula bukankah pembelian jersey dan name set juga dilakukan sepenuhnya secara sadar oleh sang penggemar sendiri?

PRO harus jeli melihat potensi dari adanya masalah. Tak cukup berpikir secara matematis dan ekonomis, PRO yang merupakan ‘wajah’ dari sebuah kesebelasan harus mampu mengambil keputusan yang membuat banyak orang melihat ‘sisi indah’ klub. Followers akun Twitter @SouthamptonFc berkisar 360ribu pada saat itu, dan hampir setiap jam puluhan bahkan ratusan mention masuk memenuhi notification. Perkara mudah untuk pura-pura tidak melihat mention fans @JBidle2 tersebut, namun seorang PRO yang handal mampu melihat peluang dan mengatasi masalah klub dengan bijaksana.

Pada akhirnya Southampton memberikan refund kepada fans tersebut dengan membawa jersey miliknya ke St. Mary Megastore. Alhasil, Twitter pun heboh, komentar-komentar positif dari pecinta sepakbola diseluruh penjuru dunia pun ditujukan pada klub yang membesarkan nama Matt Le Tissier ini.  Bahkan media yang cukup sensasional di Inggris, Daily Mirror pun turut memberitakan tindakan Southampton. Alih-alih ‘kehilangan’ 65 pounds, Southampton justru mendapatkan keuntungan yang jumlahnya lebih berharga dari segepok uang, yaitu public awareness & public recognition.

Selain dampak positif, praktik PR pun bisa menghasilkan dampak negatif. Contohnya kasus yang cukup berat, yang bahkan berpotensi memecah belah supporter, bisa kita lihat pada kasus Jose Mourinho setelah dihujam berbagai kritik dan kecaman pasca kekalahan 1-3 di kandang sendiri dari Southampton.

Pemberitaan media saat itu sungguh tidak berpihak pada Chelsea. Hampir semua headline berita online memojokkan Chelsea dan The Special One seperti berikut “Jose Mourinho will Quit Chelsea if he lose trust of his players following crisis talks” yang diciptakan harian Express atau “Jose Mourinho says Chelsea can sack him if they want..” yang diwartakan Dailymail.

Bersambung ke halaman berikutnya.

Komentar