Manchester United menderita kekalahan beruntun di 3 laga terakhir. Sebuah pencapaian buruk di awal musim oleh kesebelasan yang manajernya amat yakin bakal menjadi juara Liga Primer Inggris.
“Target objektif kami hanya satu: menjadi juara,” kata Mourinho pada Agustus lalu. “Jika di akhir musim kami finis di posisi dua, tiga atau bahkan empat, hal itu lebih karena ada tim yang lebih baik ketimbang kami,” tambahnya.
Ucapan dari manajer asal Portugal tersebut terlihat masuk akal awalnya. Karena Man United berhasil menyapu bersih 4 laga awal dengan poin sempurna. Tiga kemenangan diraih dari ajang Liga Primer dan 1 lainnya ketika mengalahkan Leicester City di Community Shield.
Man United tampil meyakinkan, dengan bermain menyerang dan menguasai pertandingan. Susunan pemain utama tak banyak berubah, menandakan bahwa kerangka tim memang sudah terbentuk. Di akhir tenggat bursa transfer mereka juga tak membeli pemain.
"Saya memiliki 23 pemain dalam skuat dan, pada prinsipnya, tak ada seorang pun yang akan pergi dan tidak akan ada yang datang," kata Mourinho beberapa hari sebelum jendela transfer ditutup.
Namun catatan positif tersebut tercoreng ketika menjalani laga Derby Manchester, melawan tim racikan Pep Guardiola, Man United kalah 1-2 di kandang. Setelahnya mereka langsung babak belur, tumbang di Europa League melawan tuan rumah Feyenoord Rotterdam, lalu kalah lagi ketika bertemu tuan rumah Watford.
Rentetan kekalahan tersebut menandakan satu hal, kemampuan Mourinho meramu taktik mulai dipertanyakan. Indikasinya jelas, sebelum melawan City mereka sempat hampir gagal meraih kemenangan saat melawan Hull City.
Beruntung bintang muda United, Marcus Rashford, ketika itu bisa mencetak gol di detik-detik akhir pertandingan. Padahal lawannya sedang dalam kondisi pincang, hanya punya 14 pemain dalam kondisi fit serta masih ditangani pelatih sementara.
Kesebelasan yang unggul di segala hal teknis dan baru bisa mencetak gol pada menit akhir bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Boleh saja bilang bahwa itu pertanda punya mental kuat seperti era Sir Alex (Fergie Time) dahulu. Namun gagal mencetak gol melawan tim lemah selama 90 menit adalah indikasi ada yang salah dengan taktik bermainnya.
Taktik Mourinho semakin terlihat inferior begitu berhadapan dengan Man City yang ditangani Pep Guardiola. Sepanjang pertandingan kendali permainan dikuasai penuh oleh The Citizens yang bertindak sebagai tamu.
Pada saat itu Ia sepertinya ingin merencanakan kejutan dengan memasang dua pemain sayap. Jesse Lingaard dan Henrikh Mkhitaryan dijadikan starter menggantikan Juan Manuel Mata dan Anthony Martial yang di laga-laga sebelumnya menjadi pemain inti. Hal ini dimaksudkan untuk mengeksploitasi sisi sayap Man City yang punya kecenderungan bergerak ke tengah jika menyerang.
Tapi ternyata Guardiola punya rencana lain, sisi sayap tetap dibiarkan siaga di sisi lapangan. Ia dengan cerdik mengubah atau mungkin menggunakan taktik cadangannya begitu tahu susunan pemain Man United tadi yang memang wajib dikeluarkan satu jam sebelum pertandingan.
Akibatnya dua sayap Setan Merah justru terlihat bak ayam kehilangan induknya. Keduanya kemudian langsung ditarik keluar begitu babak pertama usai. Argumen soal kurang fitnya Mkhitaryan jelas tidak bisa dijadikan pembelaan untuk Mourinho.
Pertama karena yang diganti adalah kedua sayapnya, bukan cuma Mkhitaryan. Lalu kedua, jika benar tidak fit maka memaksanya untuk main jelas lebih tidak masuk akal lagi di laga sepenting Derby Manchester. Di sisa babak berikutnya, Man United tetap tidak mampu mengejar ketertinggalan dan harus menerima kekalahan.
Mourinho kemudian langsung merombak skuatnya saat tanding pada tengah pekan di ajang Liga Europa. Hanya ada De Gea, Eric Bertrand Balily, dan Paul Pogba yang kembali dipercaya mengisi starter. Kemungkinan alasannya adalah mencoba formula baru, mengistirahatkan pemain yang kurang fit, atau konsentrasi ke fokus utama di Liga Primer.
Tetapi sekali lagi, alasan-alasan tersebut langsung tak berdasar ketika hasil di liga ternyata buruk juga. Man United dihajar dengan skor yang cukup telak, 3-1 oleh Watford.
Walter Mazzari terbukti lebih jago ketimbang Mourinho dalam menerapkan taktik di laga tersebut. Pertahanan dari Watford lebih kokoh secara struktur dan jago dalam memanfaatkan momentum untuk mencetak gol. Sementara serangan Man United terlihat monoton dan mudah ditebak arah bolanya saat menyerang.
Para pemain bergerak terlalu statis menjelang sepertiga akhir lapangan, sehingga dengan mudah dipotong oleh pertahanan Watford. Pola serangannya masih sama hanya itu-itu saja sejak laga sebelumnya. Hanya mengandalkan Pogba sebagai gelandang box to box untuk melakukan transisi serangan cepat.
Sementara jika Pogba tidak dalam posisi bebas menerima bola, pemain lain terlalu lambat beraksi sehingga berkecenderungan mengumpan secara vertikal. Akibatnya adalah lawan bisa punya waktu untuk membentuk tembok kokoh di lini belakang.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Komentar