Pada musim pertamanya bersama Juventus, Massimiliano Allegri sukses menjawab kritikan dengan menghadirkan dua trofi domestik dan satu final Liga Champions bagi Si Nyonya Tua. Pencapaian ini bahkan dianggap lebih baik dari apa yang ditorehkan Antonio Conte, pelatih yang sukses menembalikan Juventus sebagai penguasa Serie A selama tiga musim.
Tapi pada musim 2015/2016, Allegri tampaknya harus siap kembali mendapatkan lebih banyak kritik. Musim baru mendatang memang benar-benar akan memberi tantangan tersendiri bagi pelatih eks AC Milan ini. Khususnya setelah ditinggalkan sejumlah pemain andalan.
Menghadapi musim yang baru, Juve tak akan lagi diperkuat oleh Carlos Tevez, Andrea Pirlo, dan Arturo Vidal. Tevez telah memilih pulang ke Boca Juniors, Pirlo memutuskan untuk hijrah ke Amerika Serikat, sementara Vidal selangkah lagi menuju Bayern Munich.
Tak bisa dimungkiri jika ketiganya merupakan pilar penting Juve selama empat musim terakhir bagi Vidal dan Pirlo serta dua musim bagi Tevez. Jika tak cedera atau terkena akumulasi kartu, ketiganya, selalu menghuni susunan pemain Juve dalam menjalani setiap pertandingan.
Allegri sadar betul kehilangan ketiganya tak bisa dihadapi dengan biasa saja. Sejumlah pemain anyar didatangkan untuk menjaga atau meningkatkan kualitas Juve pasca kehilangan ketiga pilar tersebut. Juve pun terus dikaitkan dengan gelandang serang-gelandang serang top, di mana salah satunya adalah Julian Draxler.
Allegri tampaknya berencana mencari sistem permainan baru bagi Juventus pada musim depan. Melihat gelagat transfer yang dilakukan Juventus, tampaknya Juve akan mencoba formasi 4-3-3 atau 4-2-3-1 jika pemain berkualitas pada pos gelandang serang berhasil didatangkan. Di sinilah letak permasalahannya.
Menemukan sistem permainan baru setelah kehilangan pemain bintang bukanlah salah satu keahlian Allegri. Sejak bersinar bersama Cagliari, sebenarnya yang dilakukan Allegri hanya menyempurnakan apa yang telah dibentuk pelatih sebelumnya.
Meneruskan Skema Ballardini Saat di Cagliari
Saat menangani Cagliari, Allegri melanjutkan apa yang telah dibentuk Davide Ballardini. Ballardini adalah yang mengubah sistem permainan Cagliari dari formasi 4-4-2 flat a la Nedo Sonetti yang pada awal musim 2007 menangani kesebelasan yang bermarkas di Sant Elia ini. Ballardini masuk pada putaran kedua kompetisi dan digantikan Allegri pada awal musim 2008-2009.
Ballardini adalah pelatih yang berhasil memaksimalkan kemampuan Andrea Cossu yang pada awal musim dibeli dari Hellas Verona. Saat ditangani Sonetti, Cossu yang berposisi sebagai gelandang serang, tak cocok dengan skema 4-4-2 sejajar. Barulah ketika Ballardini masuk, Cagliari menggunakan pola 4-3-1-2 dan Cossu mulai mendapatkan banyak kesempatan bermain sebagai gelandang di belakang dua penyerang.
Saat Ballardini digantikan Allegri, Allegri tak merevolusi total strategi Cagliari meski kala itu hanya finish di urutan ke-14. Allegri tetap menggunakan formasi 4-3-1-2. Bahkan posisi ke-9 Â di Serie A yang diraih Cagliari saat itu, terbaik dalam 10 tahun terakhir, masih menggunakan pemain yang tak jauh berbeda dengan skuat utama Ballardini. Para pemain baru yang didatangkan Allegri pada awal kedatangannya, hanya Federico Marchetti (kiper) yang bermain sebagai skuat inti.
Pemain seperti Davide Astori dan Andrea Lazzari baru merebut tempat utama pada musim kedua. Tapi yang terjadi, pada musim kedua Allegri hanya mampu mengantarkan Cagliari finish di urutan ke-14 Serie A.
Menyempurnakan Leonardo dan Kegagalan Bersama Milan
Tak jauh berbeda dilakukan Allegri bersama AC Milan. Saat bergabung pada awal musim 2009-2010 (ralat 2010-2011), pelatih yang kini berusia 47 tahun ini pun hanya meneruskan apa yang telah dibentuk Leonardo, pelatih Milan yang ia gantikan.
Bisa dibilang, Allegri mendapatkan pemain dengan kualitas lebih baik dari Leonardo. 4-3-1-2 Leonardo, menempatkan Alexandre Pato dan Marco Borrielo (dengan cadangan Klas Jan Huntelaar) sebagai tandem di lini depan dengan dukungan dari Ronaldinho sebagai attacking midfielder dan Andrea Pirlo sebagai regista. Kedua gelandang ini ditemani oleh gelandang macam Gennaro Gattuso, Massimo Ambrosini, Clarence Seedorf, Mathieu Flamini atau David Beckham.
Kualitas 4-3-1-2 ini kemudian ditingkatkan oleh Allegri pada musim berikutnya dengan mendatangkan Robinho, Zlatan Ibrahimovic, dan Kevin Prince Boateng. Meski ditinggalkan Ronaldinho pada bursa transfer musim dingin, Milan berhasil menyeimbangkan lini tengah dengan mendatangkan Mark van Bommel dan Antonio Cassano.
Van Bommel adalah pemain yang membuat tersingkirnya Andrea Pirlo (Pirlo hanya bermain sekali di Serie A setelah kedatangan Van Bommel, itupun sebagai pengganti). Sementara hengkangnya Ronaldinho membuat Boateng mendapatkan tempat untuk unjuk gigi, dan Cassano (bersama Pato) menjadikan lini serang Milan lebih variatif saat Ibrahimovic tampil under perform. Milan pun berhasil menjuarai Serie A.
Musim berikutnya Pirlo hengkang karena tak masuk dalam rencana Allegri. Inilah yang membuat Milan, sedikit banyak, kehilang magis di lini tengah. Meskipun begitu, masih banyak pemain skuat juara Milan musim sebelumnya yang bertahan sehingga membuat Milan sanggup menjadi runner-up Serie A, dengan menyaingi Juventus hingga akhir musim.
Barulah ketika Thiago Silva dan Ibrahimovic, serta para pemain senior seperti Alessandro Nesta, Gattuso, Seedorf, dan Van Bommel dilepas, Allegri tak bisa lagi mengandalkan strategi yang sama. Allegri pun mulai mengubah formasi dasar Milan atas hengkangnya pemain-pemain pilarnya dalam dua musim bersama Milan.
Pada awal musim 2012-2013, Allegri gagal memaksimalkan formasi 4-3-1-2 dengan skuat yang ada di mana pada tiga pertandingan pertama langsung menelan dua kekalahan. Stephane El Sharaawy yang menjadi andalan Allegri saat pemain-pemain andalannya pergi, tak sesuai dengan skema dua penyerang. Allegri pun lantas mengubah formasi dasarnya menjadi 4-2-3-1 dengan El Sharaawy sebagai pemain sayap kiri sejak pekan ke-4.
Skema tersebut masih dianggap kurang konsisten bagi permainan Milan, di mana menelan lima kekalahan berikutnya pada putaran pertama. Sadar tak bisa selamanya mengandalkan El Sharaawy, Milan pun kemudian mendatangkan Mario Balotelli pada bursa transfer musim dingin. Hadirnya Balotelli pun membuat Allegri mengubah formasi dasarnya menjadi 4-3-3 dan cukup mengangkat performa Milan yang finish di urutan ke-3.
Skema kembali berubah setelah El Sharaawy cedera panjang. Allegri menggunakan kesempatan untuk mengubah kembali strateginya dengan kedatangan Valter Birsa dan Ricardo Kaka pada awal musim 2013/2014. Bersama Robinho, ketiga pemain ini secara bergantian mengisi dua pos gelandang serang dalam formasi 4-3-2-1.
Namun perubahan strategi ini gagal, bahkan jauh lebih buruk di mana Milan berkutat di papan bawah. Inilah yang kemudian menyebabkan Allegri didepak pada pertengahan musim dan digantikan Seedorf. Beruntung Seedorf bisa mengangkat performa Milan ke peringkat delapan pada akhir musim.
***
Melihat kiprah Allegri sejak bersama Cagliari, dan khususnya ketika menangani Milan, Allegri bisa dibilang sebagai pelatih yang mampu menyempurnakan strategi yang digunakan pelatih sebelumnya. Sementara soal urusan bereksperimen taktik setelah kehilangan pemain bintang, kegagalan di Milan menjadi contoh bagaimana Allegri kesulitan membangun kembali sebuah kesebelasan tanpa pemain andalannya di musim sebelumnya.
Allegri mungkin telah berhasil menerapkan strategi baru bagi Juve, saat menggunakan formasi 4-3-1-2, pada musim perdananya. Tapi tanpa pemain bintang andalannya, sanggupkah Allegri kembali memberikan hasil positif bagi Juventus?
Ya, Allegri kini menghadapi dejavu, situasi yang sama seperti saat ia melatih AC Milan. Hengkangnya Pirlo, Tevez, dan Vidal tentu saja akan membuat Allegri mencari formasi baru dan terbaik yang bisa diterapkan pada skuat Juventus yang ada saat ini. Dan jika ia kembali gagal menjadi juara pada musim depan dan Juve tampil mengecewakan beberapa musim ke depan, maka dapat disimpulkan jika Allegri memang pelatih yang hanya bisa meneruskan atau menyempurnakan strategi pelatih sebelumnya.
foto: gettyimages
Komentar