Kenapa Pemain Menendang Penalti dengan Panenka?

Sains

by Dex Glenniza 86659

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Kenapa Pemain Menendang Penalti dengan Panenka?

Apakah hal terkeren yang bisa dilakukan seorang pemain sepakbola dalam situasi sebagai penendang penalti? Jawaban yang umum adalah Panenka. Sebuah tendangan cungkilan (chip) yang disepak ke arah tengah gawang, di saat penjaga gawang tertipu untuk melompat ke kanan atau ke kiri; itu yang disebut dengan tendangan Panenka.

“Aku yakin seribu persen bahwa aku akan mengambil [tendangan] penalti dengan cara itu (cungkilan) dan bahwa aku akan mencetak gol,” kata Antonín Panenka, sang pencetus tendangan Panenka, dikutip dari These Football Times.

Sekarang, coba aplikasikan kutipan di atas untuk setiap situasi penalti saat ini. Maka, kita akan menemukan bahwa tingkat keyakinan sang penendang tidak akan mencapai angka 1000% lagi.

Yang jelas, Antonín Panenka yang merupakan pemain asal Cekoslovakia itu, tidak sedang berbohong. Saat itu tendangan Panenka-nya memang sudah ia lakukan berkali-kali di sesi latihan dan juga di beberapa pertandingan lokal Ceskoslovakia (ia bilang ia sudah mencobanya sekitar sembilan kali sebelumnya).

Namun, tendangan Panenka-nya yang terkenal pada 20 Juni 1976 di sebuah pertandingan final Piala Eropa melawan Jerman Barat, adalah tendangan Panenka pertama yang terpublikasikan kepada dunia. Tendangan tersebut membuat namanya abadi di sepakbola.

“Jauh sebelum ada istilah untuk itu, ia mencatatkan Panenka yang sempurna,” kaya Ben Lyttleton dalam buku Twelve Yards. Bola meluncur mulus ke tengah gawang, di mana penjaga gawang Jerman Barat, Sepp Maier, memutuskan melompat ke arah kiri.

“Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang familier dengan gaya tendangan penalti tersebut. Tidak ada yang mengharapkannya. Itu yang membuat kemungkinan suksesnya sangat tinggi,” tulis Lyttleton. Ya, seperti yang Panenka bilang, ia sudah yakin seribu persen!

Pencetak gol penalti dengan cungkilan cantik mungkin ada banyak, mulai dari Andrea Pirlo, Zinedine Zidane, Francesco Totti, Sebastián Abreu, sampai Aaron Ramsey di stadion yang sama saat tendangan di final Piala Eropa 1976 tersebut.

Akan tetapi, sekeren apapun penendang penalti cungkilan, sekasar apapun cungkilan tersebut berhasil mempermalukan penjaga gawang... semuanya tidak akan ada jika tidak ada sang pelopor: Antonín Panenka.

Filosofi Kierkegaard pada sepakan penalti

Menentukan arah, kekuatan, dan teknik menendang penalti adalah kebebasan dari si penendang itu sendiri. Kenapa ada pemain yang menendang ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, atau Panenka, apa yang menginspirasi pilihan mereka? Menurut seorang filsuf asal Denmark, Søren Kierkegaard, itu semua berhubungan dengan kebebasan.

Sebuah karya Kierkegaard yang terkenal, ‘Konsep tentang Kecemasan’ (The Concept of Anxiety) mengatakan bahwa tepat atau tidaknya sebuah keputusan akan ditentukan oleh hasilnya. Apakah hasil tersebut sesuai dengan keinginan si pembuat keputusan atau tidak.

Bagi penendang penalti, dengan cara apapun ia menendangnya, ia akan dianggap telah membuat keputusan yang tepat jika penaltinya masuk. Sebaliknya, jika penaltinya tidak masuk, maka keputusannya adalah tidak tepat, sekalipun ia menendangnya ke sudut pojok atas dengan kecepatan 100 km/jam.

Namun melihat tepat atau tidaknya sebuah keputusan dari hubungannya antara hasil dan keinginan tidaklah menjelaskan kenapa seseorang telah membuat keputusan tersebut jika ia disodori banyak pilihan (menendang ke kanan, ke kiri, Panenka, dan sebagainya).

Menurut Kierkegaard, tidak semua keputusan memiliki bobot yang sama. Misalnya, situasi penalti saat kesebelasan penendang sedang unggul empat gol tidak akan sama dengan situasi penalti saat menjadi penendang penentu di babak adu penalti sebuah pertandingan final Piala Eropa, seperti yang Antonín Panenka hadapi pada 20 Juni 1976 di Stadion Red Star, Belgrade, Yugoslavia (Serbia saat ini).


Baca juga: Momen Pelopor Panenka Bukanlah yang Pertama


Melalui pemikiran Kierkegaard ini, yang sebenarnya sudah wafat jauh sebelum olahraga sepakbola ditemukan, saya akan mengira-ngira, kenapa seorang pemain hampir selalu tertarik melakukan Panenka saat situasi penalti.

Narasi yang kita tahu, mungkin, sang penendang yang berhasil melakukan Panenka akan menahbiskan diri mereka sebagai orang yang hebat. Panenka yang berhasil adalah Panenka yang berhasil mempermalukan penjaga gawang. Selalu menarik untuk berhasil mencetak gol sambil mempermalukan penjaga gawang.

Kenapa ingin menendang dengan cara Panenka?

Seperti halnya tulisan panjang-lebar soal Panenka ini, kamu mungkin ada yang bertanya kenapa saya ingin menulisnya (selain karena disuruh redaksi), seperti halnya saya penasaran kenapa Pirlo, Zidane, atau Panenka ingin menendang penalti dengan cara Panenka.

Kalau pertanyaannya seperti di atas, jawabannya sederhana: karena hari ini, 20 Juni, diperingati sebagai hari “lahirnya” tendangan Panenka. Jadi, keinginan saya untuk menulis hal ini adalah relevan.

Relevansi ini selalu penting. Bagi seseorang yang sedang kelaparan (entah karena puasa Ramadan atau tidak), keinginan mereka untuk mencari makan akan lebih tinggi daripada keinginan mereka untuk, misalnya, bersosial, seks, dan lain sebagainya.

Masalahnya, seorang Pirlo atau Zidane mungkin memiliki preferensi “keinginan” menendang penalti dengan cara Panenka. Tapi jika mereka selalu mengikuti keinginan mereka tersebut setiap saat, maka penjaga gawang pun akan mudah menyelamatkannya.

Ini lah yang menjadi alasan jika “keinginan” bukan motivasi utama menendang Panenka. Pirlo mungkin ingin mempermalukan atau mengerjai penjaga gawang, tapi itu tidak berarti Pirlo selalu ingin Panenka.

Bagi seorang penendang penalti, hanya ada beberapa cara untuk mencetak gol. Bagi seorang penjaga gawang, ada beberapa cara juga untuk menggagalkan penalti, seperti diam di tengah gawang (untuk menyelamatkan diri dari tendangan Panenka). Pertanyaannya: mana pilihan yang terbaik?

Panenka: Mempermalukan atau dipermalukan

Keputusan Antonín Panenka untuk menendang dengan cara mencungkil bola di pertandingan final Piala Eropa 1976 adalah cerminan dari kebebasan. Sepakan penalti yang dicungkil ke arah tengah gawang belum pernah terpublikasikan sebelumnya sehingga tidak ada preseden historis yang menentukan tingkat kesuksesannya.

Panenka berkata bahwa ia membuat keputusannya itu dengan dasar pemikiran jika penjaga gawang biasanya akan bergerak melompat ke kanan atau ke kiri.

Tapi sejujurnya ia pun tidak bisa memastikan (bukan meyakini) 1000% juga jika penjaga gawang tidak akan tinggal diam di tengah gawang, yang akan membuat tembakannya akan berhasil diatasi dengan mudah, yang mungkin akan membuatnya diledek seumur hidup, dan membuat kita tidak akan mengenal istilah “Panenka” kecuali dengan definisi sebagai “percobaan menendang penalti terkonyol yang gagal”.

“Aku memilih untuk menendang penalti [dengan teknik Panenka] karena aku melihat dan menyadari jika itu adalah cara paling mudah dan resep paling sederhana untuk mencetak gol,” kata Panenka yang saat ini berusia 68 tahun.

Melalui kutipan itu, ia membeberkan alasan memilih yang tidak berdasarkan pada keinginan. Karena jika hanya ingin mempermalukan penjaga gawang, siap-siap saja penendangnya yang balik dipermalukan jika Panenka-nya gagal.

Bahkan Pirlo dan Panenka sendiri pun pernah gagal...

***

Dalam The Concept of Anxiety, Kierkegaard menjelaskan jika kecemasan bisa hadir dari kekhawatiran seseorang yang membuat pilihan keputusan yang tidak tepat. Dalam menendang penalti, penendang bisa mendasari pilihan keputusan mereka dari berbagai aspek, mereka bebas untuk memilih ingin menendang ke arah mana, dengan seberapa kuat, dan dengan cara apapun.

Tidak ada “pilihan aman” untuk menendang penalti, begitu juga dengan teknik Panenka. Namun tetap saja, cara termudah untuk menendang penalti adalah dengan tidak menendangnya.

Sehingga saya harus mengulangi kutipan Antonín Panenka di awal tulisan ini: “Aku yakin seribu persen bahwa aku akan mengambil [tendangan] penalti dengan cara itu (cungkilan) dan bahwa aku akan mencetak gol.”

Karena ia adalah yang pertama, wajar jika ia yakin seribu persen! Panenka, namanya akan abadi di sepakbola karena keyakinannya itu...


Baca juga terjemahan wawancara Antonín Panenka yang terbagi ke dalam bagian pertama (“Berkah dan Kutukan”) dan bagian kedua (“Sepakbola Era Komunis”) di Pandit Football Indonesia.

Sumber kutipan: These Football Times

Sumber pemikiran: Soccer and Philosophy

Sumber jurnal lainnya:

  • Dicks M, Davids K, Button C, (2010) Individual differences in the visual control of intercepting a penalty kick in association football, Human Movement Science, Volume 29, Issue 3, June 2010, Pages 401-411
  • Grushko A, Haidamashko I, Ibragimov R, Kornienko D, Korobeynikova E, Leonov S, Veraksa A, (2016) Does the Motivation, Anxiety and Imagery Skills Contributes to Football (Soccer) Experience? Social and Behavioral Sciences, Volume 233, 17 October 2016, Pages 181-185
  • Misirlisoy E, Haggard P, (2014) Asymmetric Predictability and Cognitive Competition in Football Penalty Shootouts, Current Biology, Volume 24, Issue 16, 18 August 2014, Pages 1918-1922

Komentar