Rooney Belum Habis, Kesabaran Kita yang Sudah Habis

Analisis

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Rooney Belum Habis, Kesabaran Kita yang Sudah Habis

Setelah Inggris bermain di jeda internasional dan sebelum sepak mula Liverpool melawan Manchester United pada Selasa (18/10/2016) pukul 02:00 WIB, adalah saat-saat paling krusial. Jika dipersempit, paling krusial untuk siapa?

Baik Liverpool maupun United sama-sama baru kedatangan beberapa pemain mereka yang bermain pada jeda internasional yang baru saja berakhir ini. Tentunya kedua manajer, Juergen Klopp di Liverpool dan Jose Mourinho di Manchester, sama-sama akan mempersiapkan skuat mereka dengan sebaik-baiknya.

Saat-saat ini adalah saat paling krusial bukan untuk pemain, manajer, maupun staf kesebelasan; melainkan untuk media.

Jika kita melihat berita satu-dua-tiga hari ke belakang, satu hal yang ramai diperbincangkan adalah salah satu pemain yang menjadi persinggungan kedua kesebelasan pada satu negara Inggris tersebut, yaitu kapten United yang merupakan scouser (orang asal Kota Liverpool), Wayne Rooney.

Efek lebay media

Okelah jika banyak pemberitaan soal Rooney yang sudah mulai kehilangan penampilan terbaiknya, soal gelar kaptennya yang (khusus pada pertandingan melawan Slovenia kemarin) dioper kepada Jordan Henderson, soal kariernya yang sudah selesai di tim nasional Inggris maupun kesebelasan “Setan Merah”, dan banyak lagi yang bisa kita gali dari media.

Media memang senang memberitakan, apalagi media Inggris. Bukan bermaksud mengecap media Inggris lebay (meskipun saya pribadi berpendapat demikian). Tapi permasalahan Rooney ini memang seolah dibuat berlebihan.

Gareth Southgate, caretaker timnas Inggris, memang menyatakan ia akan mencadangkan Rooney. Kenapa Southgate berbicara demikian? Karena ia menjawab dengan jujur. Kenapa ia menjawab? Ya, karena ia ditanya oleh media.

Keesokan harinya kita bisa melihat bagaimana pemberitaan demi pemberitaan mulai ramai, banyak headline bersliweran di linimasa. “Rooney axed from England,” “The end of Rooney in England and United,” dan berbagai macam judul berita lainnya. Kita yang membaca jadi bertanya, “kenapa Rooney?”

Saya pribadi berani menjamin, sebenarnya yang terjadi sangat sederhana. Sejujurnya penampilan Rooney memang sedang menurun. Di usianya yang sudah 30 tahun, kariernya pasti mengalami transformasi.

Tapi, kritik demi kritik yang tertuju kepada Rooney, sampai “boo” yang terdengar dari pendukung Inggris sendiri, adalah hal-hal yang berlebihan. Kritik sudah kepalang basah menjadi rasa benci. Bisa dibilang sekarang, sebagian besar orang, bahkan pendukung Inggris dan United, sudah membenci kapten mereka tersebut.

Tidak percaya kalau kritik kepada Rooney sudah berubah menjadi rasa benci? Tidak percaya kalau itu semua sudah kepayang berlebihan? Simak kutipan di bawah ini.

Coleen Rooney, istri Wayne Rooney, sampai protes dengan menulis di Twitter-nya: “Senang dengan banyak orang yang memiliki opini mereka masing-masing. Hidup itu singkat, berilah orang break. Beberapa bisa melupakan dan memiliki perasaan juga. Bukan tentang uang jadi kalian bisa menghentikan sarkasme ini... itu secara konstan ada di berita.”

Ia juga berujar dengan menambahkan jika ia dan anak-anaknya menjadi bahan kebencian para pengkritik. “Yang paling penting adalah perasaan. Kami bukan plastik, dia [Rooney] bukan plastik.”

Ketika sudah sampai kepada orang-orang di sekitar Rooney dan mulai mengganggu kehidupan mereka, seharusnya kita semua sudah tahu kalau kritik berlebihan memang sudah berubah menjadi kebencian.

Menilai status Wayne Rooney dan batas kritik yang menjadi benci

Agar tidak terlalu keluar dari konteks, pertama-tama, kita harus melihat Rooney sebagai seorang pemain, tepatnya pemain yang berpengaruh. John Terry, sebagai mantan rekan senegaranya, sampai membela Rooney melalui akun Instagram-nya.

“Wayne Rooney, pencetak gol terbanyak Inggris sepanjang sejarah kita. Sebentar lagi akan menjadi pemain yang paling banyak bermain untuk negara kita... Ia adalah LEGENDA di Everton, Man Utd, Inggris, dan sepakbola dunia... Kita harus memberikan lebih banyak hormat lagi kepada pemain dan pria ini,” begitu potongan beberapa kalimat yang ia tulis.

Tidak serta-merta kritik dan rasa benci, pembelaan juga banyak beredar dari rekan, pelatih, keluarga, dan bahkan lawan Rooney. Kita bisa banyak menemukan pujian atau pembelaan tersebut, meskipun memang kritik dan ungkapan kebencianlah yang tetap lebih banyak bisa kita temukan.

Saat ini Rooney sudah mencatatkan 118 caps di timnas Inggris (12/10/2016), hanya ketinggalan 7 pertandingan saja untuk menyamai rekor cap terbanyak timnas Inggris yang dipegang oleh Peter Shilton. Ia juga sudah mencetak 53 gol yang merupakan gol terbanyak bagi timnas Inggris.

Melihat dua catatan di atas, ditambah gelarnya sebagai kapten timnas, memang sudah seharusnya bagi para suporter (dan bahkan haters sekalipun) untuk tetap mendukung atau setidaknya tidak menyuarakan kebencian kepada Rooney. Sedangkan untuk kritik, asal tidak berlebihan (terutama bagi media yang menyebarkannya), itu masih tetap diperlukan.

Rooney bukan satu-satunya kapten yang tidak bermain

Permasalahan selanjutnya yang dibahas oleh media adalah mengenai gelar kapten Rooney. Rooney yang menjabat sebagai kapten seolah melakukan dosa besar karena tidak bermain sebagai pemain utama.

Padahal jika kita mau melihat kasus lainnya, kita bisa menyaksikan beberapa kapten tim memang tidak selalu bermain rutin. Kita bisa mengambil contoh di Piala Eropa 2016, Republik Irlandia menunjuk Robbie Keane sebagai kapten resmi mereka. Namun, tidak satu pertandinganpun, dari empat pertandingan yang dimainkan oleh Irlandia, Keane bermain sebagai starter.

Keane memang bermain sebagai pemain pengganti di dua pertandingan awal di mana John O’Shea memakai ban kapten sejak awal pertandingan. Pada dua pertandingan itu, Irlandia ditahan imbang 1-1 oleh Swedia, dan kemudian dikalahkan 3-0 oleh Belgia.

Sementara di dua pertandingan berikutnya, Keane sama sekali tidak terlibat di pertandingan. Ban kapten juga melingkar di lengan Seamus Coleman, bukan Keane maupun O’Shea.

Kemudian, apakah kita melihat kritik yang sama dengan Rooney untuk Keane? Ternyata tidak. Justru sebaliknya, Keane baru saja mendapat penghormatan di pertandingan jeda internasional September saat menghadapi Oman.

Inggris dengan dan tanpa Rooney (Grafis oleh Ivan Hadyan)

Lagipula jika melihat statistik Inggris dengan dan tanpa Rooney, The Three Lions sama-sama bisa meraih kemenangan dengan rekor kemenangan yang cukup besar, yaitu 59% jika Rooney bermain; dan 67% jika Rooney tidak bermain.

Berlanjut ke halaman selanjutnya mengenai penilaian statistik Wayne Rooney dan beberapa pilihan yang serba salah untuknya...

Komentar