Ketika Rasisme Ditularkan Sejak Kecil

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ketika Rasisme Ditularkan Sejak Kecil

Rasisme adalah penyakit kronis yang sulit disembuhkan, tapi masih ada obatnya. Penyakit ini akan bertambah kronis saat diidap sejak usia dini. Apa motif seseorang mengejek, merendahkan, atau melecehkan seseorang yang memiliki warna kulit atau ras yang berbeda? Iseng?

Di sepakbola, rasisme telah mendapatkan perhatian serius dari induk federasi sepakbola dunia, FIFA, beserta konfederasi benua dan sejumlah federasi negara. Siapa yang tak ingin menjadikan sepakbola sebagai olahraga yang tak memandang suku dan kebangsaan. Sepakbola adalah permainan penuh warna di mana siapapun dapat bergabung di dalamnya.

Liga Italia bersama Liga Rusia mendapat sorotan tajam terkait perilaku suporter. Federasi sepakbola Italia, FIGC, bahkan telah menghukum sejumlah tim yang suporternya kedapatan berperilaku rasis.

Namun, kabar mengejutkan terjadi di liga junior Italia antara Prato dan Maliseti. Usai pertandingan, FIGC memberlakukan larangan bertanding bagi seorang anak berusia 11 tahun dari tim Prato. Menurut laporan pertandingan, anak tersebut berulangkali berteriak penghinaan rasis pada wasit dari bench.

Dari laporan wasit, anak tersebut telah diberi kartu merah, dan FIGC melarang anak tersebut bertanding hingga 22 Januari tahun depan. Insiden ini sekaligus menjadi peringatan dini bagi keberlangsungan sepakbola di Italia.

Bekas pemain AC Milan, Kevin Prince Boateng mengaku salah satu alasannya meninggalkan San Siro adalah karena perilaku suporter Italia yang tak pernah lelah meneriaki dirinya dengan penghinaan rasial. Puncak kemarahannya terjadi saat Milan dalam pertandingan persahabatan menghadapi tim divisi tiga, Pro Patria.

Setelah Boateng, pemain AC Milan lainnya, Kevin Constant memutuskan meninggalkan lapangan karena hinaan oleh suporter di stadion dalam pertandingan Trofeo TIM menghadapi Sassuolo, tahun lalu.

Pekan kemarin, giliran Sulley Muntari yang diteriaki hinaan rasis oleh penggemar Hellas Verona. Ini pula yang membuat tribun utara Stadio Marc’Antonio Bentegodi, ditutup untuk satu pertandingan.

Apa sebenarnya yang membuat orang-orang itu bersuka hati mengejek orang lain yang berbeda? Apa mungkin sedari kecil ia dididik atau terpapar lingkungan yang homogen sehingga tidak bisa menerima perbedaan?

Contoh dari kompetisi junior di Italia mungkin dapat menjadi bukti utama, betapa mereka sudah terlalu banyak bicara, tanpa etika. Penulis soal holiganisme di Italia, Raul Caruso dan Marcos Di Domizio menyebut jumlah kehadiran penonton Serie A di stadion dibandingkan 1980-an, turun hingga 40 persen.

Di Domizio sendiri mengungkapkan sejumlah faktor yang berkontribusi atas penurunan jumlah penonton ini. Bentuk stadion lama dengan trek lari membuat jarak dari tribun ke lapangan semakin jauh; cakupan siaran televisi yang lebih memudahkan menyaksikan di rumah; hilangnya kredibilitas pengelola liga karena skandal pengaturan skor dan perjudian. Domizio lalu menambahkan, alasan lainnya adalah adanya ketakutan akan terjadinya kekacauan akibat hooliganisme.

Sementara itu, kolumnis Guardian, Paolo Bandini menyebut salah satu alasan kenapa penonton enggan ke stadion, salah satunya dikarenakan sejumlah ultras rasis yang membuat kehidupan seolah tak beradab.

Nyanyian rasis ini akan menjadi kebiasaan jika penonton ikut nyanyi bersama sedari kecil. Ucapan dan makian bernada merendahkan seolah menjadi hal lumrah ditemukan. Pantas saja, menonton pertandingan langsung ke stadion di Italia kini perlahan dihilangkan dari daftar liburan keluarga.

Komentar