Adrenalin Zona Degradasi

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Adrenalin Zona Degradasi

Dibandingkan dengan Tottenham Hotspur, pendukung Arsenal punya tantangan setiap tahunnya: lolos ke Liga Champions dan berada di atas Spurs. Juara atau tidak, itu hanya bonus. Kata banyak orang, mempertahankan jauh lebih sulit daripada meraih; dan mempertahankan selalu lolos ke Liga Champions tiap musimnya adalah prestasi yang juga membanggakan.

Tantangan seperti itu tidak akan dimiliki oleh pendukung Everton yang secara stabil berada di papan tengah. Masuk zona Eropa syukur, tidak ya tidak masalah. Habitatnya di situ, kok.

Apa yang dirasakan pendukung Everton tersebut, ternyata juga dirasakan pendukung Newcastle United. Emmet Gill dalam tulisannya “Give Me a Football Club not a Private Money Making Company” menginginkan agar Newcastle berada di zona degradasi. Ada apa gerangan?

Dalam beberapa musim ke belakang, Newcastle memang tidak lebih dari kesebelasan yang menjunjung tinggi keuntungan ketimbang sejarah dan nilai moral. Ini terjadi setelah Mike Ashley mulai masuk ke Newcastle pada 2007. Ia membeli 41% saham gabungan Douglas dan John Hall. Pada Juni 2007, Ashley sudah menguasai sekitar 95% saham Newcastle.

Anehnya, Ashley seperti tak memiliki kecintaan terhadap Newcastle. Sudah dua kali ia mengumumkan akan menjual The Magpies. Pertama, saat ia kesal karena penggemar memprotes kebijakannya memecat Kevin Keegan pada2008. Kedua, tanpa alasan yang jelas, ia menjual Newcastle senilai 100 juta pounds pada 2009.

Di tangan Ashley Newcastle sebenarnya peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka mendirikan Newcastle United Foundation pada 2008. Tujuan utamanya adalah mendorong pembelajaran dan mempromosikan hidup sehat di kalangan anak-anak yang kurang beruntung, serta mempromosikan kesetaraan dan keseragaman.

Namun, Ashley pula yang mengubah nama stadion “St. James Park” karena tingginya nilai kontrak. Pada Oktober 2009, St. James Park berganti menjadi “sportsdirect.com @ St. James Park” hingga November 2011. Setelah itu, kembali berganti menjadi “Sports Direct Arena”. Faktanya, Sports Direct tidak memberikan sepeser pun uang. Ashley mengaku kalau penamaan tersebut hanya untuk memancing sponsor lain yang mau membayar 8-10 juta pounds untuk penamaan stadion. Suporter pun marah.

Selain itu, setelah lepas dari Northern Rock sebagai sponsor kostum, Newcastle seperti kelimpungan. Mereka menjalin kontrak tanpa memedulikan sponsor macam apa di sana. Pada 2011/2012 Newcastle menjalin kesepakatan dengan perusahaan keuangan, Virgin Money. Lalu, sejak musim 2013/2014, Newcastle melakukan kesepakatan yang tidak populer: kerjasama dengan rentenir, Wonga.

“Aku tidak takut dengan degradasi,” tulis Gill seperti dimuat di The Mag, “Ini benar-benar tidak membuatku takut dengan cara yang seharusnya, karena dalam pertarungan di zona degradasi kita punya sesuatu untuk dipedulikan.”

Gill berpendapat, saat berada di zona degradasi, mereka seperti punya kekuatan lebih untuk melawan. Di sini, ambisi Ashley yang sebenarnya akan terlihat jelas: mendapatkan pemasukan besar dari pendapatan hak siar televisi.

“Satu (atau lebih) musim di Divisi Championship akan seperti mendukung kesebelasan sepakbola yang sebenarnya lagi, ketimbang mendukung mesin swasta pembuat uang,” tulis Gill.

Gill sudah lelah dan mengaku kehilangan gairah untuk mendukung Newcastle yang lebih mementingkan neraca keuangan ketimbang prestasi. Contohnya saat kesebelasan sudah hampir masuk zona Eropa, tapi Ashley malah menjual pemain. Saat mau degradasi, Ashley membeli pemain baru untuk menjaga The Magpies tetap di Premier League. “Gairah macam apa itu?” tanya Gill.

Barangkali inilah yang dirasakan oleh kesebelasan papan tengah lain seperti Swansea dan Stoke City. Mereka berjuang habis-habisan dalam pertandingan, membiarkan kerongkongan mereka kering karena berteriak sepanjang pertandingan. Namun, apa yang mereka dapatkan? Mereka hanya bertempur untuk peringkat ke-10 di klasemen yang tidak berarti apa-apa.

Gill menyampaikan hal ini dengan menarik: “Kami tidak pernah berada di tempat teratas, kami juga tidak terdegradasi. Kami hanya (ingin) ada (di Premier League).”

Menurutnya, pemikiran kalau “yang penting tidak degradasi” adalah hal yang salah. Ia mencontohkan Wigan yang menjadi juara Piala FA pada musim 2012/2013 dan saat yang bersamaan terdegradasi ke Divisi Championship.

“Seorang penggemar Wigan yang aku kenal, dengan bangga menyatakan jika Anda ingin barter dengannya, dia tidak akan menukar juara Piala FA dengan bertahan di Premier League,” kata Gill. Degradasi bisa diatasi dengan kembali promosi, tapi tidak ada yang menduga siapa yang akan menjuarai Piala FA.

Apa yang dituliskan Gill benar adanya. Tidak ada yang diimpikan kesebelasan papan tengah selain pemasukan dari hak siar televisi. Mungkinkah penggemar Everton berandai-andai bisa seperti tetangganya Liverpool yang sempat merajai Inggris dan Eropa? Atau mungkin cita-cita itu hanya sampai di mimpi saja.

Sudah ada di Premier League saja sudah syukur. Da aku mah apa atuh?

Mental Sebagai Faktor Menentukan

Soal Uang Apa Perbedaan Wenger, Pardew dan Mourinho?

Pardew dan Moyes, Saat Zona Nyaman Tak Lagi Menenangkan

Abu-abu Pardew


Sumber gambar: news.com

Komentar