Kehebatan dalam Kesederhanaan Xavi

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kehebatan dalam Kesederhanaan Xavi

Berkat 27 gelar juara bersama Barcelona dan kesebelasan negara Spanyol, Xavi berdiri sendirian di puncak daftar peraih gelar juara terbanyak sepanjang sejarah sepakbola Spanyol. Ia masih mungkin menambah koleksi gelar juaranya jika mampu memenangi pertandingan melawan Juventus di final Champions League akhir pekan nanti. Tapi itu tidak penting. Karena menilai Xavi dari jumlah gelarnya sama artinya dengan mengecilkan arti kehebatan sang maestro.

Hristo Stoichkov, eks pemain Barcelona dan legenda Bulgaria, sampai membagi masa berdasarkan Xavi. “Akan ada pembagian zaman bernama Sebelum Xavi dan Setelah Xavi,” katanya. Xavi adalah penanda sebuah zaman, dan banyak orang menyetujui hal tersebut.

Xavi belum akan pensiun; ia hanya meninggalkan Barcelona untuk berkarir di Qatar. Namun kepergiannya disesali oleh banyak pihak yang merasa tidak akan mampu lagi menyaksikan kehebatan pria bernama lengkap Xavier Hernández Creus tersebut. Apa yang Xavi lakukan sehingga orang-orang merasa demikian, menariknya, adalah apa yang seringkali diabaikan oleh banyak orang.

Xavi menjadi legenda hidup karena ia menguasai dasar permainan sepakbola: umpan-mengumpan. Sesuatu yang oleh para penonton sepakbola diabaikan kehadirannya karena jumlahnya banyak dan selalu ada di setiap pertandingan; tidak seperti gol yang tidak selalu hadir di setiap kesempatan. Sesuatu yang oleh para pelatih terus ditekankan arti pentingnya dalam latihan namun oleh para pemula di sepakbola selalu seringkali diabaikan karena tidak sekeren mencetak gol atau sehebat mengalahkan lawan dalam adu cepat.

Kehebatan Xavi adalah umpan-mengumpan yang, dengan kata lain, berarti kesederhanaan. Dan sederhana adalah cara tersulit untuk melakukan sesuatu dalam hal apa pun, termasuk bermain sepakbola. Bermain sederhana itu sulit dan Xavi menguasaninya dengan sempurna.

Umpan panjang, umpan pendek, umpan terobosan, umpan tepat ke kaki, umpan mengarah ke depan, umpan mengarah ke belakang, umpan mengarah ke samping, Xavi menguasai semuanya dengan baik. Ditambah lagi, ia tahu waktu yang tepat untuk menahan bola dalam dan melepas bola dari penguasaannya. Selain itu ia tahu cara menempatkan diri. Setelah mengumpan, ia tidak diam di tempat dan mengagumi hasil karyanya. Xavi berlari mencari posisi yang baik untuk menerima bola (untuk kemudian melepasnya lagi); memastikan bahwa permainan kesebelasannya terus mengalir.

“Ia adalah ahli mengalirkan bola dengan satu atau dua sentuhan namun ketika ia harus menahannya, ia juga bisa. Urusan mendikte kecepatan permainan, mempelajari pertandingan, ia ahlinya. Walau lawan bertahan di kedalaman dan bermain menunggu, ia pasti menemukan solusi dengan sabar. Dalam 10 menit, ia memahami lawan dengan sempurna,” ujar Vicente del Bosque, eks pelatih kepala yang membawa Tim Nasional Spanyol menjadi juara Piala Dunia untuk kali pertama.

Anda mungkin berpikir bahwa setiap pemain yang bekerja keras menyempurnakan keahlian umpan-mengumpan dan menempatkan diri bisa melebihi kehebatan Xavi. Bisa saja, memang. Tidak ada yang tidak mungkin. Namun sebelum melebihi Xavi, pemain tersebut juga harus mampu melampaui kemampuan Xavi membuat para pemain lain menjadi lebih hebat.

Keahlian yang ia miliki tidak hanya membuat Xavi hebat sendiri. Ia membuat rekan-rekannya lebih baik. Dalam kerja kolektif, tentunya pekerjaan kita akan lebih mudah jika rekan satu tim melakukan pekerjaan yang baik; tidak membuat anggota tim lainnya harus bekerja esktra. Dan Xavi membuat pekerjaan para pemain lain lebih mudah dengan umpan-umpan tepat. Seolah, para pemain lain tidak perlu mengontrol bola. Umpan Xavi akan berhenti tepat di mana ia (dan pemain yang diberi umpan) menginginkannya.

Selain itu Xavi juga memastikan para pemain lain tidak kesulitan menemukan dirinya. Ia tidak berada di antara pemegang bola dan pemain lawan sehingga pemegang bola harus melepas umpan melengkung atau melambung agar bola sampai kepada Xavi. Ia juga tidak berada di tempat yang cukup dekat dengan pemain lawan sehingga pemegang bola berpikir dua kali untuk mengumpan kepada Xavi (dengan kekhawatiran pemain lawan dapat memotong bola dalam perjalanan menuju Xavi, si cebol yang lambat). “Kelas dan permainan sepakbolamu membuat kami hebat,” puji David Villa kepada Xavi.

Bersama Xavi semuanya tampak mudah. jalan menuju ke sana jelas tidak sama mudahnya. Xavi menjadi seperti sekarang ini karena ia bekerja keras dan terus bekerja keras. Pep Guardiola, pelatih kepala FC Bayern München yang pernah menangani Xavi semasa masih melatih Barcelona, memberi kesaksian: “Latihan dimulai pada pukul 11 dan pukul 10.40 ia sudah berada di lapangan menendang-nendang bola.” Adalah kerja keras yang membuat Xavi pantas mendapatkan semua yang ia miliki saat ini.

Puluhan tahun mengasah satu kemampuan tertentu jelas membosankan dan melelahkan. Namun Xavi bertahan karena ia mencintai sepakbola. Joaquim Hernández, ayah Xavi, adalah salah satu orang pertama yang menyadari hal ini. “Ia telah hidup dengan hasrat sepakbola yang besar sejak ia masih kecil. Ia adalah profesor sepakbola yang sebenarnya. Ia menonton pertandingan, membaca tulisan-tulisan mengenai sepakbola, dan mengikuti banyak kesebelasan. Ia hidup untuk sepakbola,” ujarnya.

Cinta yang sudah ada sejak dahulu kala tetap bertahan hingga kini sehingga Joaquim tidak menjadi satu-satunya orang yang mengetahui cinta Xavi terhadap sepakbola. “Tidak ada satu hari pun yang berlalu tanpa melihat Xavi menikmati permainan. Di pertandingan persahabatan pun ia begitu. Ketika ia cedera, ia akan bermain, atau akan melakukan segalanya untuk kembali bermain secepat mungkin. Ia adalah pemain paling amatir yang saya kenal, dan di saat bersamaan pemain paling profesional juga. Begitu besar cintanya kepada sepakbola,” ujar Pep Guardiola.

Cinta kepada sepakbola dan kerja kerasnya membuat Xavi menjadi salah satu yang terhebat. Dan dengan kehebatannya ia membantu para pemain lain berprestasi. Xavi adalah supir bus menuju keberhasilan, dan ia dengan senang hati membawa semua temannya dalam bus yang ia kendarai.

Trofi Piala Dunia yang diangkat tinggi Iker Casillas di antara dua trofi Piala Eropa bukan tidak mungkin mustahil diraih tanpa Xavi. Begitu pula dengan 24 trofi lainnya yang diangkat tinggi oleh banyak kapten dan dibangga-banggakan oleh banyak pemain berbeda.

Sebagai pemain dengan jumlah gelar kolektif terbanyak sepanjang sejarah sepakbola Spanyol, karir Xavi tampak sempurna. Namun seperti semua hal di dunia, tidak begitu adanya. Semua gelar itu, semua cintanya kepada sepakbola, tidak membuat Xavi dihargai sebagai individu lewat Ballon d’Or.

Sejak Fabio Cannavaro memenangi penghargaan ini pada 2007, Ballon d’Or selalu jatuh kepada pemain yang memiliki kemampuan menggiring bola di atas rata-rata. Dunia sepertinya suka melihat Kaka, Cristiano Ronaldo, dan Lionel Messi membuat banyak pria menanggung malu di hadapan keluarga dan orang-orang yang tidak mengenal mereka. Kehebatan dalam kesederhanaan Xavi seperti tidak berarti.

Tidak masalah. “To be great” kata Ralph Waldo Emerson, “ is to be misunderstood.” Lagipula, apa yang lebih membahagiakan dari mampu membuat orang lain berbahagia?

Komentar