Kisah Tunawisma yang Menjadi Pemilik Caps Terbanyak Timnas Inggris

Cerita

by Redaksi 38

Redaksi 38

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kisah Tunawisma yang Menjadi Pemilik Caps Terbanyak Timnas Inggris

Ia tak seterkenal Steven Gerrard atau David Beckham. Namun justru sosoknya amat penting sebab dialah pemegang rekor caps terbanyak bagi timnas Inggris, baik sepakbola laki-laki maupun perempuan. Tak ada pembaca yang menyadarinya, bukan?

Namanya Fara Williams, pesepakbola 31 tahun yang berposisi sebagai gelandang tengah, ini berasal dari pemukiman perkebunan Battersea, salah satu daerah di London. Sebagai salah satu pemain paling berpengalaman di skuat Inggris dan Liverpool saat ini, ia sudah banyak mengenyam asam garam Piala Dunia Perempuan selama tiga kali edisi berturut-turut dan cukup kenyang untuk berkompetisi di level klub.

Fara mengenyam 143 kali caps bersama tim nasional - lebih banyak dari siapapun di jagat sepakbola Inggris. Bahkan, pemegang rekor di sepakbola pria, sang legenda Peter Shilton, hanya membela timnas Inggris sebanyak 125 kali. Dalam soal mencetak gol, ia berada di urutan kedua dalam urusan mencetak gol bagi Lionesses -julukan tim nasional Inggris perempuan-  dengan torehan 38 gol.

Namun, segala pengalaman dan rekornya yang mentereng bagi Lionesses masih kalah dengan pengalaman hidupnya yang -bisa dibilang- sangat menyakitkan.

Ia pernah hidup menjadi seorang tunawisma atau menjadi gelandangan -dalam bahasa gaulnya- selama enam tahun saat ia remaja. Mungkin sejenak kita berpikir menjadi gelandangan di Inggris tak separah gelandangan yang ada di Indonesia. Namun menjadi gelandangan tetaplah gelandangan, apalagi ia adalah seorang perempuan.

***

Fara kecil hidup bersama ibunya dan ketiga saudaranya. Sebagai anak yang tertua, ia sangat dekat dengan ibunya dan kerapkali membantunya karena memang ibunya berjuang membesarkan anak-anaknya dengan status single-parent. Tentu, bukan tanpa alasan jika ibunya hidup demikian. Ibunya memiliki masalah dengan ayah tiri beserta ayah kandung Fara. Kecekcokan rumah tangga benar-benar berdampak kepada kehidupan Fara semasa kecil.

Ketika pertengkaran rumah tangga itu semakin hebat, ia akhirnya diasuh oleh sang kakek dan nenek. Ia dibawa menjauh dari konflik orang dewasa yang senantiasa meruwetkan siapapun yang mengetahuinya. Setelah konflik mereda, ia dibawa kembali ke rumah oleh ibunya bersama sang bibi yang ikut tinggal sementara di rumahnya di Battersea.

Simak juga cerita-cerita pesepakbola dengan Ibunya:

Ibu-Ibu yang Mengambil Alih Bench
Kisah Muslim Kosovo yang Jadi Pesepakbola dan Akhirnya Menjadi Ibu
Kisah Kiper Cadangan dan Medali Piala Afrika untuk Ibunda
Ibu dan Anak ke Stadion, Ayah Cuci Piring di Rumah
Sebab Tak Mungkin Suporter Teriak “All Mothers Are Bastards”


Namun, siapa sangka bibinya yang akan mengubah hidupnya. Ia terlibat pertengkaran hebat dengan bibinya sendiri, bahkan bibinya sempat mengusirnya dari rumah. Fara sakit hati. Fara yang saat itu baru menginjak 17 tahun dan sedang labil-labilnya ternyata benar-benar meninggalkan rumah. Ia berpikir dengan meninggalkan rumah, ia akan baik-baik saja di luar sana. Ternyata ia salah besar, ia akan menghadapi masa-masa tersuram dalam hidupnya.

Menurutnya, pada saat ia melangkah di jalanan saat pertama kali ia menjadi gelandangan saat itu, ia takut dan merasa asing ketika melewati orang lain yang juga gelandangan. Dalam benaknya, ia berpikiran bahwa semua gelandangan tersebut adalah gila dan mempunyai mental yang baja. Ia sadar bahwa dirinya sendiri sedang memulai fase kehidupan seperti mereka, kehidupan para orang gelandangan yang hidupnya tak menentu.

Sebagai seorang perempuan dan hidup di jalanan, ia mempunyai cara sendiri untuk melindungi dirinya. Ia mencontoh para gelandangan yang sering kali berteriak-teriak layaknya orang gila ketika mereka di tempat publik. Jika ada yang ingin menyakiti dirinya (Fara, red) maka ia akan berteriak-teriak dan para masyarakat akan menyangkanya adalah orang gila. Maka publik pun dengan sendirinya menjauhinya.

Kisahnya menjadi gelandangan selama enam tahun membuatnya semakin tegar. Ia pernah tinggal di asrama murah dan pindah ke tempat lainnya tanpa menentu. Saat tinggal di asrama, ia tak pernah tersenyum, seringkali menangis, menjadi seorang pendiam dan tak ingin berelasi dengan orang sekitarnya.

Ia mengungkapkan dalam wawancaranya bersama The Guardian, bahwa hal-hal yang mengganggunya saat menjadi seorang tunawisma adalah semua orang sering menghakiminya tanpa sebab. Itu sangat menyakitkan baginya, sahut Fara.

_56866114_williamsandsmith
Fara bersama rekan timnasnya, Kelly yang pertama kali tahu bahwa Fara adalah seorang tunawisma (sumber: bbc.com/getty images)

Setalah bertahun-tahun menjalani kesuraman, Fara mencoba tutup mulut atas status tunawisma yang ia jalani kepada rekan setimnya. Awalnya hanya Hope Powell (pelatihnya di timnas Inggris U19) yang mengetahuinya. Kemudian Kelly Smith (rekan di timnas) dan Maureen Marley (pelatihnya di Everton) yang banyak membantunya saat-saat mengalami kesulitan.

Marley jugalah yang memberikannya pekerjaan sebagai pelatih komunitas sepakbola milik FA Homeless di Lancashire untuk kategori anak tunawisma dari umur 5 s/d 11 tahun. Dengan begitu, ia mencoba membantu kehidupan para anak tunawisma agar mempunyai masa depan yang lebih baik seperti apa yang telah ia lewati sebelumnya.

Bersamaan dengan hal tersebut, hidupnya benar-benar berubah dengan drastis menjadi lebih baik. Ia yang sempat terpisah dengan Ibunya kini kembali berkomunikasi bahkan tak jarang ibunya menelepon atau mengirimkan pesan singkat berisikan semangat untuk anak perempuannya tersebut.

Maka tak salah jika ia berujar bahwa sepakbola telah menyelamatkan hidupnya dan ia beruntung memiliki sepakbola, karena tak semua penyandang tunawisma diberkati karir sepakbola seperti dirinya.

***

Kini, Fara menjalani kesempatannya untuk membela Lionesses di Piala Dunia Perempuan Kanada tahun ini.  Inggris yang akan berjuang menghadapi Norwegia di babak 16 besar pekan ini sedang mencoba membuat langkah besar di Piala Dunia Perempuan. Dua edisi Piala Dunia Perempuan sebelumnya, 2007 dan 2011, Inggris hanya mampu mencapai perempat final.

Hanya usaha dirinya sendiri, rekan setimnya serta doa sang ibu-lah yang mungkin bisa membawa Lionesses mengaum lebih keras di ajang ini. Mungkin....

Tulisan lainnya tentang kisah-kisah Piala Dunia Perempuan:

Jangan Remehkan Perempuan-perempuan Asia
Mimpi-mimpi Perempuan Thailand di Piala Dunia
Persoalan Marta, Permasalahan Messi
Yang Menarik dan Ditunggu dari Piala Dunia Perempuan 2015
Menggugat FIFA Sejumlah Pesepakbola Perempuan Diancam
Kisruh Penggunaan Rumput Buatan pada Piala Dunia Perempuan 2015





Sumber tulisan: Guardian & Daily Mail

Sumber gambar: uefa.com

Komentar