Mancini Kecil, Perjamuan Kudus, dan Pencurian Umur

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Mancini Kecil, Perjamuan Kudus, dan Pencurian Umur

Roberto Mancini adalah seorang pemenang. Keuangan kesebelasan yang membatasi pergerakannya di bursa transfer (dan membuatnya kehilangan pemain-pemain utama) tidak cukup kuat untuk menjauhkan Mancini dari keberhasilan mejuarai Coppa Italia bersama Fiorentina dan Lazio, dua kesebelasan pertamanya sebagai pelatih kepala. Pindah ke FC Internazionale Milan yang lebih kaya, Mancini menjuarai Serie A tiga musim berturut-turut (jangan lupakan juga dua musim berturut-turut Coppa Italia dan Supercoppa Italiana). Di Inggris, Mancini membawa Manchester City menjuarai Liga Primer Inggris untuk kali pertama dalam sejarah kesebelasan mereka.

Sejak masih sangat muda, Mancini sudah menjadi seorang pemenang. Ia tidak pernah mau kalah. Kadang ini membuatnya bertindak yang tidak-tidak, seperti memukul sepupunya karena kalah dalam permainan tenis meja pada usia 9 tahun. “Ia mengalahkan saya,” ujar Mancini berkisah kepada Daniel Taylor dari The Guardian. “Jadi saya lemparkan saja bat saya kepadanya dan saya pukul kepalanya.”

Andai kemauan menang yang besar ini tidak dibarengi dengan kecerdasan yang ia miliki, Mancini mungkin akan memiliki catatan kekerasan yang lebih panjang dari prestasi. Untung ia jenius.

Sebagaimana dikisahkan oleh Manchester Evening News, Mancini pernah menyebut dirinya sendiri jenius ketika diminta mendeskripsikan diri dalam satu kata oleh sebuah stasiun televisi Italia. Terkesan congkak, namun tidak sepenuhnya salah. Mancini memang lebih baik dari kebanyakan orang. Terutama sebayanya.

Amedeo Biavati, sayap kanan Italia saat menjadi juara Piala Dunia 1938, pernah melihat Mancini yang saat itu berusia 14 tahun bermain untuk kesebelasan muda Bologna. Saking terkesannya, Biavati mencari ayah dari pemuda yang kecerdasan pergerakannya membuatnya terkesan. Kebetulan Aldo Mancini, ayah Roberto, ada di tempat saat itu. “Putra Anda memiliki keunggulan dari rekan-rekannya. Ia bagus. Sangat bagus,”  ujar Biavati kepada Aldo saat itu.

Yang baru Biavati ketahui sudah lama Aldo sadari. Kepada Luca Caioli, penulis buku 'Roberto Mancini: A Footballing Life: The Full Story', Aldo mengaku bahwa saking bagusnya Roberto, ia sampai merasa perlu melakukan pencurian umur. Aurora Pulcini, kesebelasan lokal dari tempat Mancini berasal, tidak menerima anak berusia di bawah enam tahun. Aldo berbohong mengenai usia anaknya yang saat itu baru berusia lima setengah tahun.

“Itu benar, namun tidak masalah,” ujar Aldo kepada Caioli. “Ketika ia masih di taman kanak-kanak, ia sudah mulai menendang barang-barang yang bergeletakan, dan ia menghabiskan waktu berjam-jam di halaman gereja. Mendaftarkannya ke Aurora hanya cara agar ia menyalurkan bakatnya dan bersenang-senang.”

Bakat Mancini tidak hanya tersalurkan namun juga terasah. Saking hebatnya Mancini bermain sepakbola, ia sampai mendapat izin khusus untuk meninggalkan Perjamuan Kudus pertamanya, langsung dari pendeta yang memimpin Perjamuan Kudus tersebut.

“Semuanya berjalan lancar, namun separuh jalan, kami tidak melihat Roberto,” ujar Aldo berkisah. “Di mana pun ia tidak ada. Saya tahu ia telah mengendap-endap ke pertandingan sepakbola dan saya sangat marah. Jadi di akhir kebaktian, saya menghampiri pendeta dan meminta maaf karena putra saya pergi. Namun pendeta berkata kepada saya jangan khawatir. Ia (pendeta) telah mengizinkan Roberto bermain karena kesebelasannya sedang tertinggal!”

Aurora Caioli, katanya, pada akhirnya mengakhiri pertandingan dengan kemenangan.

Komentar