Mengapa Pesepakbola Kini Senang Bersandiwara?

Cerita

by redaksi

Mengapa Pesepakbola Kini Senang Bersandiwara?

Tabrakan antar pemain saat memperebutkan bola sering terjadi dalam satu pertandingan. Tidak jarang ada pihak yang mengalami cedera dalam tabrakan tersebut. Atau bahkan, keduanya malah terjatuh dan meregang kesakitan.

Sebuah artikel yang diterbitkan Wall Street Journal, melaporkan, dari 32 pertandingan Piala Dunia, selama 132 menit digunakan bagi pemain untuk “berguling-guling”. Dari 302 pemain yang terlihat kesakitan, faktanya hanya sembilan pemain yang benar-benar cedera.

Banyak yang menganggap ciri khas sepakbola yang modern adalah peragaan permainan cepat. Namun, itu sebatas opini. Dengan pemain yang secara teknis memiliki skill yang lebih baik, permainan malah jauh lebih lambat.

Sepakbola Eropa pada medio 1930-an, dan 1940-an, bermain dalam tempo yang mencengangkan. Dibandingkan dengan saat ini, permainan pada saat itu tidak lebih dari kejar-kejaran dan kacau. Para pemain secara konstan bertabrakan satu sama lain, tanpa mengeluh, ataupun menuduh yang mancam-macam.

Tiga Piala Dunia sebelum Perang Dunia ke-2,  dimenangi oleh Uruguay dan dua kali oleh Italia. Jika diamati, kedua tim sebenarnya bermain begitu keras bahkan menjurus brutal. Di lapangan, pemain yang mengalami cedera terus bertanding. Tidak ada waktu untuk “berguling-guling”.

Bagi para pemain di era tersebut, menyembunyikan rasa sakit tidak hanya terlihat lebih gagah, tapi juga sebagai kebutuhan taktis. Pemain tidak ingin lawan mereka mengetahui bahwa ia rentan cedera. Karena hal terburuk selanjutnya adalah ia akan mendapatkan intimidasi langsung di lapangan.

Segalanya berubah saat FIFA sebagai induk organisasi memutuskan untuk mengangkat imej permainan sepakbola itu sendiri. Mereka tidak ingin sepakbola identik dengan kekerasan. Sulit untuk menentukan titik pijakan kapan sebenarnya FIFA mulai meningkatkan kesadaran untuk menghadapi cedera yang dialami para pemain.

Hasil dari kesadaran ini adalah adanya instruksi kepada wasit agar menjaga pertandingan tidak berlangsung keras menjurus kasar. Sehingga, tidak ada lagi istilah 50-50  dalam perebutan bola. Jika ada kontak terlalu keras, maka wasit akan menghentikan pertandingan dan memberikan pelanggaran.

Contoh paling nyatanya adalah dua kartu kuning yang diterima Aaron Ramsey dalam pertandingan Arsenal menghadapi Besiktas, Rabu (20/8) dini hari tadi. Kartu kuning kedua yang diterima Ramsey dianggap terlalu berlebihan karena tak sampai dua detik ia menarik kaos lawan.

Penguasaan atas bola biasanya mudah sekali berpindah tangan. Ini biasanya disebabkan oleh umpan yang salah maupun kontrol bola yang tidak sempurna. Pertarungan satu lawan satu di lapangan menjadi pemandangan yang jarang ditemukan.

Inilah inti permasalahannya. Kini, apa yang terjadi di atas lapangan tidak lagi sekadar penguasaan bola. Maka, bola yang berhasil direbut oleh lawan adalah kesalahan terburuk bagi seorang pemain. Karena hal ini jarang, maka lebih memalukan jika itu terjadi.

Dalam situasi ini, pemain mencoba untuk lebih rasional. Caranya? Tentu saja dengan berteriak kesakitan dan berguling-guling di atas rumput. Para pemain mencoba untuk memaksa wasit memberi keputusan. Padahal, di era 40-an keputusan wasit untuk hal semacam ini tidaklah diperlukan.

Bekas wasit Piala Dunia, Pierluigi Collina, telah menginstruksikan kepada wasit UEFA untuk menekan pelanggaran sekecil apapun. Ini yang mengakibatkan wasit tidak memiliki toleransi untuk permainan keras. Ketika pemain berguling-guling, biasanya wasit memberikan tendangan bebas tidak perduli seberapa besar kontak yang dihasilkan.

Kadang-kadang, wasit memang tidak memberikan tendangan bebas. Namun, di titik tertentu, pemain yang “cedera” lah yang memutuskannya. Saat tergeletak di lapangan, wasit biasanya meminta tim lawan membuang bola, atau ia sendiri yang menghentikan pertandingan untuk memberi waktu bagi pemain yang cedera tersebut.

Jika pemain memutuskan untuk berhenti berpura-pura, maka ia akan dicurigai hanya berpura-pura. Oleh karena itu, sandiwara pun berjalan terus hingga sempurna. Hal unik terjadi tak berlangsung lama, tim medis yang masuk ke lapangan hanya berada sesaat untuk memberinya minum. Lalu, pemain yang cedera tersebut langsung berdiri dan kembali bergabung dalam pertandingan.

Sulit untuk menyalahkan wasit karena besarnya tekanan yang ada di pundaknya. Wasit menjadi bimbang apakah akan meniup peluit atau tidak, karena pemain yang ada di hadapannya mengerang kesakitan, seperti betulan. Namun, hal ini berhasil meningkatkan keberhasilan pemain yang ingin meminta pelanggaran.

Jika ini dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan yang buruk. Sepakbola malah mendapatkan citra sebagai olahraga orang-orang cengeng. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah induk sepakbola memberikan aturan pasca pertandingan bagi pelanggaran macam ini. Sehingga, pemain yang berpura-pura tidak akan lepas dari jeratan sanksi.

Menurut Anda, seperti apa citra sepakbola saat ini. Tapi sebelum menjawab, ada baiknya Anda menyaksikan cuplikan video di bawah ini terlebih dahulu.

[youtube]

[/youtube]

Sumber gambar: theconversation.com

[fva]

Komentar