Pahlawan Swedia yang Rendah Hati, Ngocol, dan Kadang Khilaf

Cerita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Pahlawan Swedia yang Rendah Hati, Ngocol, dan Kadang Khilaf

Swedia baru saja memenangkan gelar juara Kejuaraan Eropa (Euro) U21 di Eden Arena, Praha, ibukota Republik Ceko. Mereka mengalahkan Portugal pada pertandingan final yang harus berakhir dengan adu tendangan penalti (skor penalti 4-3) setelah kedua kesebelasan negara bermain imbang tanpa gol selama 120 menit.

Penjaga gawang Swedia, Patrik Carlgren, menjadi pahlawan dengan berhasil menyelamatkan dua tendangan penalti pada Rabu dini hari tadi (01/07/2015).

Cerita mengenai kesuksesan Swedia ini bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja bagi negara Skandinavia tersebut. Meskipun Swedia sudah dianggap sebagai salah satu kekuatan kuat dalam sepakbola dunia, tapi sebenarnya tidak ada prestasi yang bisa mereka banggakan.

Menjuarai Euro U21 bisa dibilang merupakan kesuksesan terbesar bagi Swedia dalam bidang olahraga, bukan hanya sepakbola.

Sebelumnya, sepanjang sejarah, mereka hanya tercatat dua kali mencapai “kesuksesan” dalam olahraga dengan menjuarai Olimpiade Musim Dingin 1948 di Swis dan menjadi runner-up pada Piala Dunia 1958 di negara mereka sendiri.

Sedikitnya prestasi dalam olahraga yang bisa dibanggakan oleh Swedia sampai-sampai membuat banyak orang menunjuk tahun 1981 sebagai tahun yang bersejarah bagi Swedia. Kenapa? Karena pada tahun 1981 adalah tahun kelahiran Zlatan Ibrahimovi?, yang sudah dianggap sebagai “hal terbesar bagi Swedia.”

Perhelatan Euro U21 kali ini agak sedikit berbeda dan juga banyak yang awalnya berpendapat bahwa turnamen ini akan menjadi turnamen yang kurang menggigit.

Bukan, ini bukan karena Zlatan tidak ikut serta, mengingat usianya sudah 33 tahun; Tapi karena dari 8 negara pesertanya, tidak ada nama negara besar seperti Spanyol, Belgia, Belanda, atau Perancis, yang justru disingkirkan oleh Swedia di babak play-off dengan mengejutkan.

Bahkan sangara U21 seperti Italia, tuan rumah Ceko, pemenang Piala Dunia U20 Serbia, serta Inggris yang mendapatkan ekspektasi tinggi, gagal melaju dari babak penyisihan grup. Dicukurnya Jerman 5-0 oleh Portugal di semi-final pun menjadi hal yang sangat mengejutkan. Euro U21 tahun ini sudah menjadi turmamen penuh kejutan.

Jika harus menyebut orang yang paling berjasa mengantar Swedia mencetak sejarah, kita bisa menyebut beberapa nama mulai dari pelatih HÃ¥kan Ericson, kiper Carlgren, kapten Oscar Hiljemark, bek sayap kiri Ludwig Augustinsson, sampai gelandang Simon Tibbling.

Namun, ada satu nama pemain Swedia yang paling panas sepanjang turnamen. Ia adalah sosok penyerang yang produktif yang tentunya bukan berinisial ZI. Ia adalah John Guidetti.

Kisah Guidetti dan seorang anak berusia delapan tahun

Namanya tidak seperti kebanyakan orang Swedia. Ia adalah keturunan dari kakek seorang warga negara Italia, dan nenek dari pihak ayahnya adalah setengah-Swedia dan setengah-Brasil.

Guidetti tinggal di Kenya pada dua kesempatan selama ayahnya, Mike, bekerja dengan proyek sekolah Swedia di Nairobi, ibukota Kenya. Kemampuan Guidetti dalam bermain sepakbola bersama anak-anak yang lebih tua dari daerah kumuh miskin Kibera dan Mathare, Nairobi, dinilai sebagai langkah penting dalam pembangunan karakter dan skill-nya di dalam dan di luar lapangan.

Sebelum berlanjut, untuk mengawali kisah Guidetti, kami selalu teringat akan cerita yang satu ini. Pada sebuah malam di awal musim panas di Stockholm, ibukota Swedia, ada seorang anak delapan tahun yang mengembara pulang dari rumah temannya.

Ketika ia melewati sebuah taman yang memiliki lapangan sepakbola, ia melihat sesosok pria di kejauhan. Kemudian ia berjalan mendekat dan menyadari siapa orang itu. Tanpa malu ia bertanya apakah pria tersebut tidak keberatan untuk sedikit bermain bola bersamanya.

“Maaf, saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah untuk menonton pertandingan final Liga Champions,” kata Guidetti yang memang sudah terkenal di Swedia. “Tapi jika kamu masih terjaga setelah pertandingan, kita bisa bermain setelahnya.”

Kedua orang ini berpisah untuk menonton Ivan Rakitic, Luis Suárez, dan Neymar mencetak gol sebagaimana FC Barcelona mengalahkan Juventus FC. Anak itu menganggap kata-kata Guidetti sebagai janji. Sebenarnya dia begitu lelah sampai-sampai ia harus berdiri selama paruh kedua pertandingan final Liga Champions agar ia tetap terjaga, sementara orang tuanya khawatir jika Guidetti akan ingkar janji.

Pertandingan final berakhir pada pukul 23:30 waktu setempat, langit memang sedang tidak terlalu gelap mengingat itu adalah awal musim panas di Swedia. Anak itu segera bergegas keluar dari rumah dan menuju ke lapangan sepak bola, di mana Guidetti sudah menunggu.

Sementara pemain Barcelona dan suporternya sedang berpesta dimana-mana, salah satu striker Swedia malah bermain sepakbola ringan bersama seorang anak berusia delapan tahun yang baru saja ia temui.

Ketika Guidetti ditanya tentang malam itu, ia hanya berkata: “Saya hanya berkorban sedikit, tapi bisa memberikan [kebahagiaan kepada anak tersebut] begitu banyak.”

Tidak sombong, hanya “ngocol”, dan kadang khilaf

Kisah seperti di atas tadi membuat kita sadar mengapa banyak orang di Swedia mencintai Guidetti. Di Euro U21, ia sudah menjadi jimat bagi sangaranya maupun para suporternya. Ia menjadi top skorer bagi sangaranya (meskipun hanya) dengan dua gol yang ia lesatkan, jumlah gol yang sama seperti yang Tibbling cetak sepanjang turnamen.

Kuat, cepat, dan mematikan di udara, penyerang berusia 23 tahun ini sangat vital bagi permainan 4-4-2 pelatih Ericson dengan bermain disiplin dari belakang sebelum kemudian melakukan serangan balik cepat yang mematikan terutama ketika ia sedang memegang bola.

Dua golnya melawan Italia dan Denmark sangat krusial, tapi keserba-bisaan permainan Guidetti lah yang membuat kita semua terkesima. Ditambah juga, salah satu yang membedakan Guidetti dengan pemain lainnya adalah efeknya bagi para penonton.

Jika bola keluar lapangan dan sorak-sorai sedang menyepi, ada satu orang yang dapat membuat para penonton kembali bersorak. Dengan sebuah lambaian tangan, teriakan, atau gaya melompat saja, ia sudah mampu memancing penonton untuk kembali berkoar.

Pun dahulu ketika ia dipinjamkan ke Feyenoord dari Manchester City pada musim 2011/12. Ia menjadi mesin gol yang selalu bermain dengan penuh gairah, meskipun terkadang emosional.

Misalnya saja saat Guidetti mencetak golnya yang ke-18 pada musim itu melalui sebuah tendangan penalti melawan RKC Waalwijk di pertandingan Eredivisie Belanda pekan ke-16 (perhatikan rasio golnya). Ia meluapkan kegembiraan dengan melepaskan baju seragamnya sambil berteriak, tanpa menyadari bahwa sebelumnya ia sudah mendapatkan kartu kuning.

Alhasil, ia menerima kartu kuning ke dua dan diusir dari pertandingan tersebut. RKC kemudian berhasil mencetak gol penyama kedudukan tiga menit menjelang laga usai melawan 10 pemain Feyenoord.



Guidetti meminta maaf setelah pertandingan itu kepada suporter, rekan setimnya, dan juga pelatihnya pada saat itu, Ronald Koeman, dengan menyebut tindakannya sebagai “salah satu momen terburuk dalam hidup saya.”

Akibat dari kartu merah tersebut, Guidetti harus absen pada pertandingan penting menghadapi PSV Eindhoven di pekan selanjutnya.

Pada akhirnya ia, yang saat itu masih berusia 19 tahun, memang mampu mencetak 20 gol dalam 23 pertandingan untuk Feyenoord.

Cerita lain mengenai gairahnya yang menggebu-gebu juga hadir saat ia diwawancarai setelah Swedia berhasil memenangkan pertandingan semi-final Euro U21 melawan Denmark. Saat itu, Swedia berhasil melaju ke final setelah mengalahkan Denmark 4-1.

Kepada presenter TV4, Patrick Ekwall, Guidetti berkata: “Ketika Anda kalah 4-1, itu agak memalukan.” Adrenalin mulai mengalir dalam dirinya pada saat itu. “Kami yang terbaik di Nordics! [Skandinavia]” Matanya membesar dan terlihat sedikit liar. “Kami akan bermain di final! Kami adalah Swedia! Yang lain pulang saja!”

Kemudian ketika ditanya apa rahasia di balik kemenangan malam itu. Ia malah menjawab: “Kami unggul. Benar-benar unggul. [Denmark] adalah tim terburuk yang kami hadapi di turnamen ini.”

Kemudian Alexander Miloševi? datang lewat ke tempat wawancara tersebut, dengan entengnya ia merangkul Miloševi? sambil bernyanyi-nyanyi.

Ini mungkin bukan merupakan wawancara yang bagus. Tapi wawancara tersebut menjelaskan bahwa Guidetti bukan pesepakbola biasa. Kita sedang membicarakan pemain sepakbola yang terlihat menikmati gairah bermain sepakbola untuk negaranya lebih dari saat ia bermain untuk kesebelasannya.



Pemain gratis yang paling dicari

Gairah yang ia tunjukkan selama ia berseagam Swedia tampak akan menjadi masalah waktu saja baginya untuk menembus tim utama di Manchester City.

Tapi pernyataan terakhir pada dua paragraf di atas memang menunjukkan bahwa karirnya di City tidak pernah berjalan sesuai rencana. Setelah pulang dari Euro U21 di Ceko, baik suporter Feyenoord, Stoke City, maupun Celtic (tiga kesebelasan yang sempat meminjam jasanya) akan menyambutnya dengan suka cita.

John Guidetti akan meninggalkan Manchester City tepat pada hari ketika ia mendapat medali juara Euro U21. Selama delapan tahun di Manchester, ia hanya pernah bermain satu pertandingan saja untuk tim utama (melawan West Bromwich Albion di Piala Liga Inggris pada tahun 2010).

Dinilai belum terlalu banyak diberi kesempatan oleh City, kontraknya yang habis pada akhir musim 2014/15 tidak diperpanjang oleh manajemen. Ia menjadi pemain bebas transfer mulai hari ini.

Sesaat sebelum pertandingan final melawan Portugal, banyak yang bertanya tentang statusnya di bursa transfer musim panas ini sebagai pemain muda gratis yang paling banyak dicari tandatangannya.

Namun ia dengan santai (dan gak nyambung) menjawab, “Saya pikir ini adalah kesempatan besar untuk bermain untuk sangara Swedia U21, karena kami tidak pernah mencapai final sebelumnya dan saya berpikir bahwa banyak dari kami yang tidak akan pernah memiliki kesempatan lain untuk bermain di pertandingan final di kejuaraan Eropa dalam karir kami. Kami jelas berharap [juara], tapi itu akan sulit. Jadi saya pikir kami akan mensyukuri saat ini dan bermain sebaik-baiknya sambil merasa bangga bahwa kami bisa mewakili negara kami.”

Swedia adalah kuda hitam tetapi mereka mampu menjadi negara yang tambil lebih meyakinkan daripada Jerman, Italia, Inggris, dan negara-negara lainnya. Sungguh mengejutkan.

Mengingat akhir-akhir ini sepakbola (dan bahkan bukan hanya sepakbola, tapi satu negara) Swedia sudah identik dengan Zlatan Ibrahimovi? yang “sombong”, ditambah sebelumnya ada IKEA dan grup musik ABBA, sepertinya sekarang Swedia akan punya pahlawan baru.

Sumber cerita: The Guardian, Bleacher Report, Wikipedia

Komentar