Saat Lisensi Pelatih FA Pro Nyaris Tak Ada Gunanya

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Saat Lisensi Pelatih FA Pro Nyaris Tak Ada Gunanya

Paul Asworth adalah satu dari sedikit pelatih asal Inggris yang merantau. Dididik berdasarkan kurikulum kepelatihan yang disusun Federasi Inggris, FA, Paul bisa cepat beradaptasi dengan kultur sepakbola Latvia, Rusia, dan Nigeria.

Di Latvia, ia menangani tiga kesebelasan, dan selama delapan musim berkarir di sana, selama enam musim ia membawa kesebelasan yang ditangannya selalu berada pada peringkat tiga besar. Ia juga menjuarai sekali piala liga.

Paul adalah kakak dari Direktur Teknik FA, Dan Ashworth. Keduanya memiliki tipikal yang mirip: analitis, kritis, dan mau belajar. Baik Paul maupun Dan, sama-sama bercita menjadi pesepakbola. Keduanya sempat bermain untuk Norwich. Namun, karena bakat yang dianggap tidak cocok, keduanya memutuskan untuk “pensiun” di usia yang cukup muda.

Paul pun memulai karirnya sebagai staf pengembangan pemain muda di Cambridge United pada usia 24. Ia kemudian menjadi pelatih tim muda Peterborough pada 1996. Karena berhasil membawa Peterboroguh ke semifinal Piala FA Youth pada 1997/1998, ia pun ditunjuk sebagai pelatih tim utama Peterborough dan asisten manajer.

Sejak 2001, Paul pun merantau ke Latvia dan menangani tiga kesebelasan hingga 2009, termasuk saat ia ditunjuk menjadi caretaker di FC Rostov yang berlaga di Liga Rusia.

Dari Latvia, Paul pindah ke Nigeria dan melatih tim akademi Kwara. Akademi Kwara dikenal sebagai pemasok pemain-pemain muda ke seluruh Afrika. Pada akhir tahun lalu, pria kelahiran 29 September 1969 ini ditunjuk sebagai manajer kesebelasan Liga Primer Nigeria, Sunshine Star.

Paul sudah matang sejak ia masih muda. Ia pun menyebut dirinya jauh lebih unggul ketimbang pelatih yang memulai karir pada 40-an, atau mereka yang beralih profesi dari pesepakbola menjadi pelatih. Menurutnya, ada pekerjaan berat yang tidak bisa ditangani pelatih alumnus pemain. Salah satunya mengelola pemain muda. Biarpun bekas pesepakbola tahu bagaimana seharusnya pelatih berlaku, tapi itu semua tidak melulu berhasil tanpa pengalaman.

Di Sunshine Stars, Paul mengelola 200 pemain termasuk kesebelasan perempuan. “Mengelola pemain itu sedikit lebih gampang,” kata Paul, “Namun, ada banyak urusan politik dan Anda harus menggigit lidah Anda untuk mendapat apa yang Anda butuhkan.”

“Aku punya pengalaman mengelola pemain pada situasi sulit. Aku merasa menjadi manajer yang lebih baik ketimbang kandidat lain (pemain yang menjadi pelatih),” ujar Paul.

Menjadi pelatih pemain muda memang tidak mudah. Dibutuhkan konsistensi dan ketahanan akan tekanan. Salah satu tujuan dari pelatih pemain muda adalah memberikan porsi latihan yang besar agar pemain berlama-lama dengan bola, dan kemenangan dari suatu pertandingan bukanlah target utama. Sayangnya,tidak banyak pemain yang terlalu egois dengan menginginkan anak asuhnya memenangkan pertandingan dengan segala cara.

Sementara itu, adik Paul, Dan Ashworth segera mengambil program diploma di College of West Anglia, usai pensiun dari Norwich. Ia mengambil konsentrasi di olahraga. Setelah lulus, Dan ditunjuk sebagai direktur akademi Peterborough United pada 2000 atau masih satu masa saat Paul ditunjuk sebagai pelatih di tim utama Peterborough.

Pada 2004, ia pindah ke West Bromwich Albion dan menjadi direktur teknik pada Desember 2007. Lima tahun kemudian, Dan menjabat sebagai direktur FA untuk pengembangan pemain muda. Dan adalah figur yang berpengaruh di FA, salah satunya lewat “The England DNA”, sebuan cetak biru FA untuk masa depan sepakbola Inggris.

Kejutan di Afrika

Di Inggris, ada istilah “bubble match”, di mana suporter tandang dimasukkan ke dalam bis yang dikawal oleh polisi. Tujuannya untuk menghindari bentrokkan antara suporter tandang dengan suporter kandang, terutama dalam pertandingan yang berpotensi menghadirkan kerusuhan.

Paul pernah merasakan hal yang sama. Bukan sebagai suporter, tapi saat menjadi manajer untuk kesebelasan Liga Primer Nigeria, Sunshine Star. Ia dikawal oleh aparat keamanan yang dilengkapi AK-47. Selain itu, ia pun mesti merasakan panasnya udara Nigeria karena berkendara dengan minibus tak berpendingin selama 13 jam perjalanan.

Kejadian ini sebagai dampak dari kasus tertembaknya tiga pesepakbola kesebelasan Kano Pillars. Kala itu, juara Liga Nigeria pada tiga musim terakhir dirampok kala melakoni partai tandang. Salah seorang pemain Kano mesti dioperasi untuk mengangkat peluru yang bersarang di belakang kepalanya.

Atas kejadian tersebut, tiga pertandingan Kano Pillars ditunda, tapi liga tetap dilanjutkan. Tertundanya pertandingan Kano, membuat adanya slot kosong untuk siarang langsung televisi. Operator Liga Nigeria pun memajukan jadwal Sunshine Star sebagai pengganti Kano Pillars.

Selain itu, tiga pertandingan dalam dua pekan pada musim ini juga ditunda karena berbarengan dengan jadwal pemilihan presiden.  Pasalnya, pihak keamanan tidak bisa menjamin keselamatan pemain dan suporter karena kondisi keamanan yang bisa tidak kondusif.

Diculik Demonstran

Menurut Independent, pengelolaan sepakbola di Nigeria sangat jauh jika dibandingkan dengan divisi empat Liga Inggris sekalipun. Ini yang membuat Paul sempat harus beradaptasi cukup lama karena kondisi seperti ini tidak ia dapat saat mengambil lisensi kepelatihan FA Pro.

Terjun langsung di dunia sepakbola merupakan hal yang diidamkan Paul sejak lama. Namun, jelas ia tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya disandera oleh demonstran di stadion tempat ia berlatih.

Saat itu, Paul tengah mengadakan sesi latihan. Lalu, tiba-tiba saja sekelompok demonstran menerobos masuk. Bersenjatakan tongkat, mereka lalu menyandera para pemain dan menguncinya di stadion. Demonstran tersebut merupakan pegawai pemerintah yang gajinya tidak dibayar.

“Mereka mengambil bola dan cone serta mengunci kami di dalam,” kata Paul seperti dikutip Independent, “Mereka datang membawa tongkat dan kami tak bisa keluar.”

Komisi olahraga pun turun tangan, dan berhasil mengatasi para demonstran. Paul sempat bertanya-tanya mengapa petugas keamanan membiarkan para demonstran yang menerobos masuk. Mereka beralasan tidak ingin keadaan semakin memanas, dan negosiasi bisa dilakukan dengan damai.

Beberapa hari kemudian, Paul bertemu dengan beberapa orang demonstran di ruang dewan klub. Mereka tengah berbicara dengan seseorang dari klub. “Satu dari mereka berkata ‘Halo, kami orang yang menculikmu pekan lalu,” kata Paul.

Mengelola Pemain Muda

Paul memang jagonya mengelola pemain muda. Dengan pengalamannya di Cambridge dan Peterborough, ia ditunjuk sebagai pelatih akademi Kwara.

Di Rusia, ia mengubah sejumlah aturan terutama kebijakan soal pemain muda. Ia juga menjadi orang Inggris pertama yang melatih di Liga Primer Rusia. Di Latvia, kala menangani Skonto FC, ia mengembangkan pemain muda. Sembilan pemain dalam skuat Latvia U-21 merupakan pemain Skonto.

Pemain muda juga bisa mengalami stress karena tekanan tinggi media. Mereka malah tidak bisa menunjukkan bakat terbaiknya.

Paul disebut sebagai “Mourinho-nya Latvia”, karena menangani kesebelasan tanpa pernah menjadi pesepakbola profesional.

“Mengurus pemain itu sedikit lebih mudah,” kata Paul, “Tapi, ada banyak politik dan Anda harus menggigit lidah Anda untuk mendapatkan apa yang Anda butuhkan.”

Sumber tulisan: independent.ie

Sumber gambar: standard.co.uk

Komentar