Sebab Tak Mungkin Suporter Teriak "All Mothers Are Bastards"

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Sebab Tak Mungkin Suporter Teriak

Dalam cerita anak-anak, Doraemon, terdapat satu tokoh yang dikenal sangat kuat dan ditakuti anak-anak lainnya. Tokoh yang diberi nama Takeshi Gouda, atau teman-temannya memanggil Giant, ini memiliki tubuh yang besar dan sangat kuat. Dengan tubuhnya yang lebih besar dari anak-anak lainnya, tidak jarang Giant berbuat usil kepada anak-anak lain dengan kekuatannya. Maka seringkali kita menemui cerita dimana Nobita, Suneo, Doraemon, dan anak-anak lainnya harus rela diambil mainannya oleh Giant.

Tidak ada yang berani melawan Giant karena memang tidak ada yang sanggup melawannya. Giant terlalu kuat bagi anak-anak yang lain. Melawan Giant, hanya akan membuat mereka babak belur akibat pukulan Giant.

Namun ada satu saat dimana Giant tidak akan bisa mengganggu anak-anak yang lain. Jangankan memukul, Giant bahkan bisa langsung berlari ketakutan karena tidak berkutik sama sekali. Bukan karena ada anak lain yang berbadan lebih besar dan lebih kuat darinya. Bukan juga karena Nobita menggunakan bantuan alat Doraemon. Tapi justru karena ada satu sosok lemah lembut yang membuatnya tidak berani macam-macam, ibunya.

Ketika ada ibunya, Giant tidak akan bisa memukul siapapun, termasuk Nobita yang merupakan anak paling lemah. Ketika ada ibunya, Giant bahkan rela untuk diambil mainannya oleh anak-anak lain. Ketika ada ibunya, entah kemana perginya kekuatan dalam tubuh besar Giant itu pergi.

Cerita sangat menarik tentang bagaimana para ibu dan anak-anak mendukung kesebelasan kesayangan di stadion saat para bapak dan suami malah mencuci dan mengurus rumah tangga: Ibu dan Anak ke Stadion, Ayah Cuci Piring di Rumah.

Mungkin cerita Giant ini yang mengilhami ide cemerlang dari pengurus kesebelasan di Liga Brasil, Sport Club Do Recife. Atmosfer panas seringkali terjadi di Stadion Adelmar da Costa, Recife Pernambuco Brazil. Markas kesebelasan Sport Club Do Recife tersebut, memang memiliki basis hooliganisme cukup besar di Brazil. Kasus kekerasan pun meningkat dalam beberapa tahun belakangan.Kekhawatiran ini semakin memuncak ketika Recife akan bertanding dengan Clube Nauticio Capibaribe yang merupakan musuh bebuyutannya sejak dahulu.

Pada awalnya, Recife sendiri terdiri dari kelompok pembangkang elitis kesebelasan Nauticio. Kesebelasan yang sudah ada di Pernambuco sejak 7 April 1901. Maka dari itu pertemuan keduanya memiliki sarat implikasi sosial dan kompleks hingga sekarang.

Laga tersebut dikenal dengan Classico dos Classicos (Derby dari derbies dalam bahasa portugis). Sebagai salah satu derby tertua di Liga Brazil, selain Recife melawan Santa Cruz. Pada musim 2013, kedua kesebelasan ini sering bertemu dalam Serie-A Brasileiro. Akan tetapi pada tahun tersebut, Nauticio harus terdegradasi karena menempati peringkat 20 paling buncit.

Pertemuan yang jarang terjadi itu tentunya mengkhawatirkan bisa muncul adanya kekerasan pada Pernambucano 1 tersebut. Merupakan kompetisi domestik Pernambucano, dimana kedua musuh ini tergabung dalam babak 2.

Alih-alih menambah personil keamanan profesional, justru mendatangkan para ibu dari suporter-suporter mereka, untuk berjaga di area stadion selama pertandingan. Logika mereka sangat sederhana, siapa yang berana berbuat onar di depan ibu mereka sendiri?

Para ibu tersebut diberi pelatihan keamanan, oleh pihak penyelenggara pertandingan. Nantinya, 30 orang itu akan mengenakan rompi warna oranye, dengan tulisan menyala bahasa Portugis "Seguranca Mae" (Keamanan ibu).

"Idenya adalah untuk membuat pendukung paling fanatik sadar dan membantu dalam beberapa cara untuk membawa perdamaian ke stadion," ujar Aricio Fortes, wakil presiden Ogivly.

Baca cerita sedih ini: Ketika Seorang Ibu Menjadi Kekerasan Suporter yang Brutal dan Tak Terkendali

Kisah menyentuh bagaimana kiper yang cedera kram melawan rasa sakit untuk menjaga gawangnya di laga puncak dengan cara mengenang ibunya: Kisah Kiper Cadangan dan Medali Piala Afrika untuk Ibunda.


Pertandingan Pernambucano 1, di Adelmar da Costa senin (9/2/2015) sore itu pun dilangsungkan. Para ibu-ibu mulai berpatroli memantau aktivitas tribun. Sebelum memulai, para Seguranca Mae tersebut disorot kamera terlebih dahulu. Lalu ditayangkan di layar lebar stadion, agar para penonton mengetahui keberadaan mereka.

Dampaknya tidak ada kekerasan terjadi sepanjang pertandingan. Terlihat dari tidak ada suporter yang ditangkap kepolisian, pada laga yang berakhir 1-0 untuk kemenangan Recife tersebut. Gol tunggal sendiri dicetak oleh Samuel, penyerang yang dipinjam dari Fluminense.

Aricio bukan bermaksud untuk menggunakan para ibu sebagai tameng. Dia hanya mencoba untuk menghilangkan sifat liar para pendukungnya dengan menghadirkan sosok yang paling dihormati oleh mereka. Sosok yang akan membuat manusia seliar apapun, akan berubah menjadi anak baik di depan ibunya.

Ini juga menjadi pengingat bagi para suporter untuk tak sembarangan dan gampangan melakukan kekerasan, apalagi hingga menghilangkan nyawa. Penting bagi suporter untuk menyadari bahwa para rivalnya yang paling menyebalkan sekali pun tetaplah anak-anak bagi ibunya dan para ibu itu juga yang akan merasakan kehilangan yang menahun jika terjadi sesuatu dengan anaknya. Ingatlah ibumu, ia akan sama seperti ibu-ibu yang lain yang akan menangis menyaksikan tubuh anaknya terbujur kaku.

Jangan heran jika para ibu pula yang selalu dengan penuh tenaga akan membela hak-hak anaknya. Seperti para ibu yang anaknya menjadi korban kekerasan negara yang menggelar aksi perlawanan dengan berdiri diam di depan istana setiap Kamis. Seperti para ibu yang anaknya jadi korban Tragedi Hillsborough -- para ibu itulah yang tak lelah-lelahnya mencari keadilan bagi anak-anaknya yang tewas.

Tentang ibu yang dengan penuh daya dan inspirasi menuntut keadilan dari tragedi Hillsborough, baca tribute yang kami tulis untuk mereka: Mengenang Hillsborough: Kisah Ibu yang Berjuang untuk Sebuah Kehormatan.

Sebab setua atau sedewasa apa pun seseorang, bagi sang ibu mereka tetaplah (k)anak. Tak ada keraguan sedikit pun untuk satu soal ini.

Mungkin cara ini bisa juga ditiru kesebelasan-kesebelasan di Indonesia. Siapa tahu, bentrokan para suporter yang sering terjadi bisa hilang seperti yang terjadi di Recife.

Bayangkan jika para ibu para pentolan suporter berdiri di pinggir lapangan. Mana berani mereka timpuk-timpukan? Mustahil juga mereka memaki petugas keamanan yang merupakan ibunya sendiri. Mustahil juga mereka, bahkan walau  yang paling brutal sekali pun, meneriakkan jargon "All Mother's Are Bastard" (AMAB), bukan?

Sebab jargon perlawanan (A*AB) memang hanya boleh dialamatkan pada yang berhak.

??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

Komentar