Sepabola dan Kekerasan di Amerika Latin

Cerita

by redaksi

Sepabola dan Kekerasan di Amerika Latin

Salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam sepakbola adalah dengan menjadikan olahraga tersebut sebagai satu-satunya tujuan hidup. Amerika Latin merupakan salah satu tempat di mana kekerasan ini tumbuh dan berkembang. Sepakbola telah menyatu dalam pandangan ideologis sebagian masyarakat di sana.

Di Argentina misalnya, ada sekelompok orang yang menuhankan Diego Armando Maradona. Mereka mendirikan The Iglesia Maradoniana atau Gereja Maradona.

Tidak jarang pula, ketika pertandingan antara dua tim rival, menghadirkan atmosfer perang di stadion. Suporter lawan yang datang ke stadion, diintimidasi sedemikian besar sehingga mereka tertekan secara psikologis. Hal ini terus berulang, saat suporter lawan berlaku sebagai tuan rumah. Vice versa.

Di Amerika Latin, kasus kekerasan pertama yang diakibatkan sepakbola terjadi pada 1924. Seorang fans Uruguay bentrok saat menyerang hotel tempat menginap tim Argentina dan para pendukungnya.

Iklim kekerasan di Argentina juga kental. Ini dimulai pada 1950 ketika para suporter bernaung dalam sebuah organisasi (Barra Bravas). Mereka berperilaku seperti ultras di Eropa. Cara menikmati sepakbola ala Barra Bravas adalah berdiri sepanjang pertandingan, bernyanyi, dan memberikan dukungan dalam bentuk koreografi atau hal lain.

Namun, beberapa Barra Bravas di Argentina juga lekat sebagai pendukung sepakbola yang menekankan kekerasan. Berdasarkan data dari Deutsche Welle, sebanyak 256 suporter meninggal sejak liga dibentuk hingga 2012. Mayoritas dari mereka, meninggal saat bertandang ke klub rival. Tidak sedikit juga yang meninggal karena ditembak!

Di Brasil, beberapa fans yang ikut ke dalam organisasi suporter ternyata memiliki motif lain. Mereka dengan sengaja menggunakan atribut suporter untuk melakukan aksi kriminalitas. Aksi tersebut mulai dari kekerasan seperti memalak hingga penjualan obat-obat terlarang.

Lain di Brasil, lain di Kolombia. Di negeri yang terkenal dengan kartel narkoba ini, sepakbola memang sudah lekat dengan konflik sejak awal kemerdekaan Kolombia dari Spanyol. Pada satu abad pasca kemerdekaannya, Kolombia nyatanya masih disibukan dengan perang sipil yang melanda negara tersebut.

Kolombia tidak pernah masuk Piala Dunia sejak 1962. Intrik politik di dalam negeri membuat kondisi persepakbolaan menjadi tidak stabil.

Selang 28 tahun kemudian, Kolombia menjejakkan kaki di Piala Dunia 1990. Ini juga bersamaan dengan berkembangnya kartel obat-obatan terlarang di Kolombia. Puncaknya adalah kematian Andres Escobar yang ditembak mati pada 1994. Kematiannya mengguncang dunia, karena ia melakukan gol bunuh diri di Piala Dunia.

Tapi, kematian Escobar bukanlah yang pertama. Pada 1986, delapan pengurus klub sepakbola kolombia terbunuh. Pada 1988, sekretaris Liga Kolombia juga dibunuh.

Pembunuhan yang tidak kalah ramai adalah Alvaro Ortega. Ia adalah wasit yang memimpin pertandingan America of Cali menghadapi Independiente of Medelin. Ia memancing amarah para penjudi karena pertandingan tersebut berakhir seri. Banyak yang menganggap faktor kartel narkoba, mafia, hingga tumbuh suburnya penjudi membuat liga sepakbola Kolombia selalu terguncang.

Menilik jumlah kekerasan hingga kematian yang diakibatkan oleh sepakbola, semestinya membuat publik sepakbola di Indonesia berpikir dan merenung. Jika Anda mati-matian mendukung sebuah klub sepakbola dengan memancing amarah kelompok lain, melakukan kekerasan terhadap pemain atau suporter lawan, apa yang Anda dapat jika klub tersebut juara?

Rasa bangga saja tidak akan cukup untuk membayar itu semua. Akal sehat mestilah tetap digunakan karena sepakbola hanyalah satu bagian dari cara kita menikmati kehidupan.

Sumber gambar: Dailymail.co.uk

[fva]

Komentar