Sepakbola Sebagai Candu Dunia Ketiga

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Sepakbola Sebagai Candu Dunia Ketiga

Pesta candu atau bukan, bagi kita di Indonesia, turnamen-turnamen besar sepakbola seperti Piala Dunia atau Piala Eropa selalu menjadi magnet yang membetot perhatian. Kita, dalam banyak sekali kasus, ikut mencoba melibatkan dan/atau dilibatkan dalam pesta.

Piala Dunia 2014, yang mengharu-biru rakyat Brasil dengan gelontoran uang yang mengerikan dan prestasi timnasnya yang menyedihkan, sudah usai sebulanan lalu. Tapi greget sepakbola tak pernah berakhir karena sekarang, bahkan, kita semua sudah hanyut kembali dengan gelaran liga-liga Eropa.

Sepakbola tak pernah memberikan jeda. Atau, jika pun menyuguhkan jeda, sepakbola menjadi jeda itu sendiri.

Mungkin masih banyak yang ingat bagaimana Piala Dunia 1998 dimulai hanya selang 20 hari dari lengsernya Soeharto. Setelah pekan-pekan panjang yang penuh dengan berita panas, rusuh, lesunya ekonomi dan haru-biru lengsernya Soeharto, Piala Dunia 1998 hadir “di saat yang tepat”: mendinginkan sejenak tempo panasnya atmosfir politik di Indonesia.

Saya masih ingat bagaimana media massa saat itu seperti rehat sejenak dari headline-headline panas politik Indonesia. Halaman muka surat kabar sedikit lebih berwarna dibanding pekan-pekan sebelumnya karena berita-berita seputar Piala Dunia 1998 yang digelar di Prancis.

Terry Eagletton, seorang kritikus Marxis, pernah menulis esai berjudul “Football: A Dear Friend to Capitalism”. Eagletton, yang buku teori sastra Marxis-nya cukup populer di kalangan mahasiswa dan akademisi sastra di Indonesia, menyebut sepakbola–dengan memplesetkan ucapan Marx yang terkenal-- sebagai “candu bagi rakyat”. “Tiap kali politisi atau pemikir sayap kanan berusaha mengalihkan perhatian rakyat dari ketidakadilan politik dan ekonomi,” tulis Eagletton, “solusinya selalu sama: sepakbola.”

Ya, sepakbola. Lagi-lagi sepakbola. Di Indonesia, sepakbola menjadi proyek mercusuar banyak pejabat-pejabat daerah. Tidak sedikit Kepala Daerah yang nekat “membesarkan” klub bola dengan dana publik (baca: APBD). Alih-alih membereskan persoalan-persoalan fundamental di daerahnya, banyak Kepala Daerah yang memilih “memanjakan” para pecandu sepakbola di daerahnya dengan iming-iming kemajuan sepakbola.

Beberapa di antaranya bahkan mengalokasikan dana APBD untuk klub sepakbola dengan angka yang lebih besar dari anggaran untuk kepentingan publik lainnya, misal anggaran untuk jaminan kesehatan. Sedihnya lagi, banyak orang yang tidak peduli dengan itu. Mereka hanya tahu klub kesayangan mereka berlaga di kompetisi tertinggi dan cuek dari mana dan bagaimana dana publik itu dikelola.

Jamak didengar suporter berkata: “Daripada dikorupsi pejabat, mending buat sepakbola.” Padahal, korupsi itu bagian inheren dari sepakbola Indonesia. Dana publik untuk klub sepakbola itu sering dikorup: dari mulai penggelembungan gaji, menyuap wasit sampai setoran pada petinggi di federasi sepakbola.

Terlalu banyak duit dihambur-hamburkan untuk sepakbola yang tak pernah memberikan kebanggan apa pun dari segi prestasi. Untuk level Asia Tenggara sekali pun kita tak pernah menjadi jawara lebih dari 20 tahun.

Kegilaan kita pada sepakbola memang tidak diragukan lagi. Fanatisme di Indonesia sampai pernah mengejutkan Beckenbauer yang tak pernah menyangka negara yang tak punya prestasi apa pun bisa begitu menggilai sepakbola. Kegilaan kita pada sepakbola tidak kalah dengan negara-negara yang sudah sangat maju prestasi sepakbolanya.

Sayangnya kita adalah negara dunia ketiga, bukan hanya dalam ekonomi tapi juga dalam sepakbola. Sebagaimana kita yang secara ekonomi sudah menjadi konsumen fanatik banyak produk-produk luar negeri, di sepakbola pun kita masih hanya menjadi penonton, hanya menjadi konsumen. Kita berpesta untuk hajatan orang lain.

Saya teringat kata pengantar Jean Paul Sartre untuk buku penting studi poskolonial, The Wretched of the Earthkarya Frantz Fanon.Dengan kalimat yang menyalak, Sartre berkata: “Belum terlalu lama berselang, bumi dihuni oleh 2 miliar penduduk: 500 juta adalah manusia dan 1,5 miliar sisanya penduduk pribumi yang tidak dimanusiakan. Yang pertama menciptakan kata, yang lain mengikutinya.”

Kiranya itu pula yang berlangsung dalam proses “satu arah” globalisasi sepakbola yang juga melanda Indonesia. Ya, satu arah. Kita melulu menjadi konsumen sepakbola Eropa, memamahnya dengan riang hati, mengunyahnya dengan penuh kegembiraan. Dalam istilahnya Sartre,(sepakbola) Eropa masih “menciptakan kata”, sementara kita –dengan kegilaan yangmassif dan/atau ketakjuban yang naif—“hanya bisa mengikutinya” dan bahkan merayakannya.

Pesta sepakbola datang dan pergi setiap dua tahun sekali. SetelahPiala Eropa, ada Piala Dunia. Begitu dan terus begitu. Dari waktu kewaktu pula, kita menjadi penonton yang sangat berisik. Dan dari waktu ke waktu pula sebenarnya kita tak mendapatkan apa-apa. Kita adalah bangsa yang gila menonton bola, bukan (atau belum) bangsa yang gila bermain bola.

Tapi sepakbola memang candu. Dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin (di)sembuh(kan) dari candu bernama sepakbola. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal sepakbola ini, maka banyak yang rela tetap menjadi “salah”.

*Ditulis dan tayang pertama kali di Jawa Pos sebagai pengantar untuk Piala Dunia 2010.

image: buenosairesstreetart.com

Komentar