Hide yang Tak Bisa Bersembunyi Lagi

Hide yang Tak Bisa Bersembunyi Lagi
Font size:

Tsubasa Ozora mengajarkan pada dunia bahwa sepakbola adalah permainan yang menyenangkan. Tokoh utama dalam manga "Captain Tsubasa" tersebut menjadikan sepakbola sebagai bagian dari hidupnya. Ia mencintai sepakbola, dan sepakbola adalah hidupnya. "Bola adalah teman," katanya.

Komik Captain Tsubasa pertama kali muncul pada 1981 di majalah Weekly Shonen Jump. Sejak awal kemunculannya, Tsubasa pun menjadi inspirasi banyak anak yang menggantungkan mimpinya menjadi pesepakbola sehebat Tsubasa. Bahkan pemain-pemain top dunia seperti Fernando Torres, Lionel Messi, Alexis Sanchez, Andres Iniesta, hingga Alessandro Del Piero tak ragu mengakui bahwa Tsubasa merupakan inspirasi mereka. 

Namun dari semua yang terinspirasi dari Tsubasa, hanya Hidetoshi Nakata yang paling mendalami karakter kapten SD Nankatsu tersebut. Bahkan alasan Nakata pensiun pada usia yang terbilang masih muda, 29 tahun, tak lepas dari sepakbola yang tak lagi seperti dalam cerita kartun Captain Tsubasa.

***

Ketika Tsubasa muncul di Weekly Shonen Jump, Hidetoshi Nakata baru berusia empat tahun. Saat Tsubasa di-anime-kan ke layar kaca, Nakata pun masih berusia enam tahun. Karenanya tak heran, Hide, sapaan akrabnya, tumbuh bersama Captain Tsubasa yang tayang hingga 128 episode tersebut. Di saat yang bersamaan, masyarakat Jepang pun mulai tertarik pada sepakbola berkat Tsubasa, tak terkecuali Hide.

Lebih dari itu, Captain Tsubasa membuat Hide menyukai sepakbola. Berkat Tsubasa juga pemain kelahiran 22 Januari 1977 ini hanya mementingkan dan memikirkan sepakbola sepanjang hidupnya. Namun bukan sebagai fans sepakbola, melainkan sebagai pemain sepakbola.

"Saya suka sepakbola, tapi bukan sebagai fans. Saya tidak menonton sepakbola di TV atau video atau apapun. Saya tidak menonton sepakbola sekarang dan ketika saya pensiun pun itu tidak akan berubah. Saya tidak paham kenapa orang-orang menjadi fans sepakbola. Saya tidak menonton olahraga lain, jadi saya tidak mengerti itu. Saya lebih senang bermain daripada menonton," kata Nakata pada 2006.

"Saya mulai bermain sepakbola pada usia 8 tahun karena saat itu, yang saya ingat, ada sebuah film kartun yang sangat terkenal bernama Captain Tsubasa dan itu segalanya tentang sepakbola," ujar Nakata pada wawancara lain, dinukil dari CNN, pada 2014.

Sama seperti Tsubasa, Hide berposisi sebagai gelandang serang. Hide mungkin bukan pemain yang skillful seperti Tsubasa, tapi ia punya semangat juang yang tinggi seperti Tsubasa. Bahkan menurutnya, selama ia berkarier sebagai pesepakbola ia hanya menikmati sepakbola dan menyelami setiap rasa senangnya bermain sepakbola.

"Saya tidak terlalu berskill," kata Hide pada The Times. "Saya juga tidak terlalu fisikal. Tapi ketika saya bermain saya bisa melihat pertandingan seperti orang ketiga dan menurut saya itu sangat penting karena itu bisa membuat kita menentukan di ruang mana kita menerima bola, menembak atau mengoper."

"Saya tidak pernah merasa tertekan selama bermain. Saya tidak pernah bermasalah bermain dengan penuh tekanan (dari penonton ataupun target tim). Saya punya banyak motivasi dan, seperti seorang anak kecil, saya bermain sepakbola seperti bermain dengan mainan kesayangan saya," tutur Hide.

Meski hanya demi kesenangan, Hide terbilang cepat meraih tangga kesuksesan. Saat masih membela SMA Nirasaki, ia dipanggil timnas junior Jepang yang mengikuti Piala Dunia U-17. Pada usia 18 tahun, setelah lulus SMA, ia langsung mendapatkan kontrak dari kesebelasan J1 (divisi teratas Jepang), Bellmare Hiratsuka.

Jepang memang seolah telah melahirkan maestro lapangan hijau dalam diri Hide. Kehebatannya dalam mengolah si kulit bundar membuatnya menjalani debut bersama timnas senior di usia 20 tahun. Pada usia 21 tahun ia sudah bermain di ajang sepakbola terbesar sejagat, yakni Piala Dunia, yang ketika itu diselenggarakan di Prancis. 

Di Piala Dunia 1998 tersebut Hide menjadi daya tarik tersendiri. Karenanya meski Jepang langsung tersingkir di fase grup, Hide tetap menjadi pembicaraan. Hingga akhirnya banyak tawaran bermain di Eropa datang padanya. Namun kesebelasan Serie A, Perugia, menjadi kesebelasan yang dipilihnya.

"Sebelum Perugia, Juventus menawari saya bergabung, tapi itu ketika saya masih berusia 19 tahun dan menjalani trial bersama Juventus Primavera. Hanya saja setelah satu bulan saya tak kunjung berlatih dengan tim utama," kata Hide seperti yang dikutip Forza Italian Football.

"Karena itu saya kembali ke Jepang, tapi saya selalu berpikir saya ingin kembali dan bermain di Italia. Setelah Piala Dunia di Prancis 98, saat itulah saya memilih Perugia. Banyak klub yang mengincar saya, tapi klub Luciano Gaucci (Presiden Perugia saat itu) tersebut menjadi pilihan terbaik saat itu," sambungnya.

Hidetoshi Nakata saat membela Perugia (foto: getty images)

Alasan Hide memilih Perugia jelas bukan karena uang, tapi karena mengincar banyak menit bermain. Terbukti Hide tampil hampir di setiap laga Serie A yakni 33 pertandingan pada musim perdananya. Ia pun turut mencetak 10 gol. Penampilan impresifnya itu pun membuatnya kembali diincar klub-klub besar. Juventus, Inter Milan dan Manchester United adalah tiga kesebelasan yang tertarik padanya. 

Akan tetapi AS Roma-lah yang akhirnya mendapatkan tanda tangan Hide. Pada pertengahan musim 1999/2000 ia direkrut dengan nilai transfer 21 juta euro. Pembelian yang tepat karena pada momen penting Hide berhasil menjadi pahlawan yang membuat Roma tetap berada di puncak klasemen. Satu gol dan satu asisnya berhasil membuat Roma selamat dari kekalahan saat melawan Juventus. Padahal saat ia menggantikan Francesco Totti, Roma sedang tertinggal 2-0. Di akhir musim, Roma meraih scudetto, yang hingga kini belum lagi mereka dapatkan.

Tapi Hide tak mendapatkan menit bermain yang cukup di Roma. Karena yang ada dalam pikirannya hanya bermain sepakbola, bukan jadi penonton, ia pun memutuskan hijrah setelah musim kedua. Parma merekrutnya dengan nilai transfer sekitar 28 juta euro. Hide pun menjadi pemain termahal Asia dan rekor ini sempat bertahan selama 14 tahun sebelum dipecahkan Son Heung-min. 

Nakata bergabung ke Parma pada usia 24 tahun. Saat itu kariernya semakin menanjak, dan mungkin menjadi masa emas Nakata. Terlebih di musim pertamanya bersama Parma, Hide berhasil mengantarkan Parma menjuarai Coppa Italia. Sama seperti Roma, Parma pun sampai sekarang belum lagi merasakan juara Coppa Italia.

Tapi setelah itu karier Hide mulai meredup. Pada musim ketiganya setelah gagal mempersembahkan trofi, ia bukan lagi langganan tim utama. Pindah ke Bologna dan Fiorentina pun tak memperbaiki kariernya. Begitu pun ketika memutuskan hijrah ke Liga Primer Inggris untuk membela Bolton Wanderers, karier Hide tak lagi cemerlang. 

Karier Hide boleh tak cemerlang, tapi sosok superstar dalam diri Hide tak hilang. Hanya saja seolah ada yang hilang dalam diri Hide saat bermain di Inggris. Kemudian tanpa disangka, pada usia 29 tahun, Hide memutuskan pensiun, padahal idealnya ia masih bisa bertahan hingga empat atau lima tahun lagi terlebih masih banyak klub yang tertarik menggunakan jasanya.

***

Keputusan Hide pensiun di usia 29 tahun jelas menjadi kabar yang mengejutkan sepakbola dunia. Saat itu, 2006, Hide baru saja bermain di Piala Dunia. Pada Piala Dunia yang diselenggarakan di Jerman itu ia bermain di tiga laga, kalah dari Brasil dan Austria serta imbang menghadapi Kroasia. 

Bersambung ke halaman kedua

Halaman kedua

Banyak yang menyayangkan keputusan Hide untuk pensiun dini. Apalagi Hide tak menyebut alasan mengapa ia memutuskan gantung sepatu Lebih mengagetkan lagi, yang mungkin membuat orang semakin bertanya-tanya, ia mengakui bahwa pensiunnya itu sudah direncanakan sejak ia masih membela Fiorentina.

"Saya memutuskan ini sejak satu setengah tahun yang lalu, bahwa saya pensiun dari dunia sepakbola profesional setelah Piala Dunia di Jerman. Saya tidak akan pernah bermain sepakbola lagi sebagai pemain profesional, tapi saya tidak akan pernah menyerah pada sepakbola," tulis Hide pada situs resminya, nakata.net.

Setelah pernyataan itu Hide memilih bungkam dan mengasingkan diri. Semakin menjadi misteri karena ia bukan tipe pemain yang gemar berbicara pada media. Di beberapa kesempatan ia turut serta tampil di ajang charity bersama legenda sepakbola lain, tapi setelah itu ia kembali menghilang dan beritanya jarang terdengar.

Hide baru buka suara delapan tahun kemudian. Pada 2014 ia akhirnya bersedia kembali diwawancara. Akhirnya ia mau menceritakan alasan di balik pensiunnya yang penuh tanda tanya. Ternyata, sepakbola yang semakin menjadi dunia bisnis membuatnya tak bisa lagi menikmati sepakbola.

"Hari demi hari saya menyadari bahwa sepakbola telah menjadi bisnis besar," kata Hide pada TMWMagazine. "Saya bisa merasakan sebuah tim mulai bermain untuk uang, bukan untuk bersenang-senang. Sementara saya selalu menganggap sebuah tim adalah keluarga saya sendiri. Saya sedih, itulah kenapa saya berhenti bermain di usia 29 tahun. Selalu memikirkan untuk kembali? Setiap waktu."

Selama menjalani kariernya, Hide memang menjadi target pasar yang menguntungkan bagi setiap klubnya. Di Perugia misalnya, ia berhasil menjual lebih dari 25 ribu seragam Perugia bertuliskan "Nakata" dengan nomor "7" di Jepang (total menjual 70 ribu seragam di dunia). Nytimes menyebutkan bahwa keuntungan Perugia meningkat drastis dari 100 ribu USD menjadi 500 ribu dolar USD berkat penjualan jersey Nakata.

"Saya tidak senang karena hal itu," jawab Hide. "Ketika saya mendengarnya, saya tidak senang. Itu kenyataannya."

Nakata saat berseragam Bolton Wanderers

Sejak di Perugia juga ia sudah menyatakan tidak menyukai popularitas. Ketika ada seorang fans yang menunjukkan sebuah koran dengan berita tentangnya, ia justru berkata, "Jangan beli koran itu." Selain itu, kabarnya alasannya menolak tawaran Manchester United pun setelah membaca sebuah tulisan di NY Times yang menyebut bahwa Nakata merupakan "seorang yang bisa mendatangkan turis dan menjadi tambang emas dari merchandise untuk United."

Saat ke Bolton, sebenarnya Hide sempat berdamai dengan dirinya sendiri dan mulai menemukan lagi kebahagiaan bermain sepakbola. Hanya saja insiden di Reebok Stadium yang mengorbankan anak kecil membuatnya bulat untuk pensiun. Usai laga melawan West Bromwich Albion yang diperkuat rekan senegaranya, Junichi Inamoto, Hide dihampiri oleh banyak pendukungnya dari Jepang sementara anak-anak Inggris yang ada di sana menjadi korban kekacauan saat itu.

"Saya sebenarnya ingin bertahan di Bolton, tapi saya punya sesuatu yang tak bisa lagi saya kendalikan. Saya tak bisa lagi bersembunyi," ujar Hide pada The Times. "Ketika saya datang ke sini [Inggris] saya ingin kembali menemukan kenikmatan dalam bermain sepakbola dan saya melakukannya. Di Bolton, bahkan di tempat latihan, selalu dilakukan dengan bersenang-senang, di Italia, serius, selalu."

"Ada sebuah kekecewaan yang besar karena biasanya di Inggris Anda bisa meninggalkan stadion dan orang tidak mengganggu Anda atau mereka akan meminta tanda tangan dengan sopan. Tapi setelah laga itu saya tidak bisa lagi mengontrol situasi dan orang-orang di sana tak melihat banyak anak kecil di sana," ujar Hide.

"Saya merasa bertanggung jawab. Ketika Anda pergi ke negara lain dan orang-orang di sana melakukan sesuatu hal yang berbeda, Anda juga harus melakukan hal yang sama. Anda harus menghormati budaya mereka dan saya meminta maaf pada masyarakat di Bolton atas apa yang terjadi saat itu," sambungnya.

Sepertinya, saat itu Hide merasa bahwa popularitasnya sebagai pesepakbola bisa merugikan orang lain. Sementara sejak awal ia bermain sepakbola memang bukan untuk ketenaran, melainkan karena kesukaannya bermain sepakbola. Karenanya ketika sepakbola itu tak lagi seperti yang ia inginkan, tak seperti yang tersaji pada jalan cerita Captain Tsubasa yang ia saksikan ketika kecil, sepakbola bukan lagi jalan hidupnya.

Inter Milan Hampir Kalah Karena Kurang Agresif Eksploitasi Sayap Kanan AS Roma
Artikel sebelumnya Inter Milan Hampir Kalah Karena Kurang Agresif Eksploitasi Sayap Kanan AS Roma
Pertunjukan Gol-gol Indah
Artikel selanjutnya Pertunjukan Gol-gol Indah
Artikel Terkait