Agar Džeko Bisa Menjadi Solusi untuk AS Roma

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Agar Džeko Bisa Menjadi Solusi untuk AS Roma

Ditulis oleh Alief Maulana

Sejak musim lalu, ada banyak penyerang yang dihubungkan dengan AS Roma. Namun sayang, rencana tersebut berakhir tanpa realisasi. Akhirnya, Roma harus puas dengan keberadaan Destro, Totti dan penyerang primaveranya, Tony Sanabria, yang disebut-sebut sebagai masa depan Roma.

Di setengah musim awal, Roma masih mampu menempel ketat Juventus, meskipun lini depannya masih belum menjanjikan. Sebagian besar gol AS Roma dicetak oleh kedua pemain sayapnya, Gervinho, Ljajic ataupun Florenzi. Destro dan Totti pada kenyataannya juga belum mampu memenuhi ekspektasi banyak pihak karena kontribusi golnya yang minim.

Derby Della Capitale merupakan awal petaka AS Roma di musim 2014/2015. Waktu itu, Roma bermain imbang 2-2 melawan Lazio setelah tertinggal terlebih dulu. Dari 10 pertandingan, Roma hanya menang sekali, kalah sekali, dan sisanya seri.

Roma pun melakukan perubahan dengan memboyong pemain baru. Seydou Doumbia yang menjadi predator di depan gawang didatangkan dari CSKA Moskow karena Destro dipinjamkan ke AC Milan.

Selain Doumbia, Roma juga memboyong bintang dari Cagliari berkebangsaan Kolombia, Victor Ibarbo. Agaknya keputusan ini diambil sebagai antisipasi dari kondisi Gervinho yang masih membutuhkan pemulihan pasco melakoni kompetisi Piala Afrika.

Ternyata, Doumbia yang didatangkan di pertengahan musim pun harus duduk manis di pinggir lapangan karena belum fit untuk bermain. Begitu pula dengan Ibarbo, ia masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali pulih setelah cedera.

Walaupun sempat digadang-gadangkan sebagai kesebelasan yang mampu menyaingi Juventus, setelah paruh musim, Roma semakin tertinggal dari kesebelasan kota Turin tersebut.

Sampai akhirnya di akhir musim, Doumbia hanya mencetak dua gol dari 14 kali bertanding (tujuh kali starter dan sisanya sebagai pemain pengganti). Ibarbo lebih parah, ia bahkan tidak pernah mencetak gol dalam 11 kali bermain. Yang bisa diingat Romanisti adalah ketika ia memberikan assist indah untuk Iturbe yang mencetak gol pertama bagi AS Roma dalam Derby Della Capitale. Selebihnya, keberadaan Ibarbo dilupakan Romanisti.

Pada bursa transfer musim panas kali ini, AS Roma kembali mendatangkan pemain baru, Szczesny dan Iago Falque. Selain kedua nama tersebut, selangkah lagi Roma akan meresmikan pemain sayap baru yang diboyong dari Chelsea, Mohammed Salah. Agaknya, akibat terlalu banyak pemain sayap yang dimiliki Roma, nama klub ini akan segera berganti menjadi AS Winger.

Simak cerita tentang drama masa depan bek AS Roma, Alessio Romagnoli

Edin Dzeko juga dihubung-hubungkan dengan AS Roma. Namun demikian, awalnya, City masih enggan melepas Dzeko di bawah 25 juta euro. Namun menurut kabar terbaru, Roma dan City sepakat di angka 14 juta poundsterling.

Alih-alih meragukan kualitas Dzeko ataupun Doumbia, saya cenderung meragukan AS Roma sendiri. Sejak dua musim terakhir, anak-anak asuh Rudi Garcia bermain dengan formasi 4-3-3. Dalam formasi ini, Totti tidak diplot sebagai penyerang murni, ia dipaksa untuk turun menjemput bola dan mengalirkan bola kepada dua pemain sayap.

Walaupun Roma memiliki pemaina-pemain sayap yang cepat, masalahnya muncul ketika bola masuk ke kedua sayap. Baik Gervinho, Iturbe, Ljajic ataupun Florenzi, lebih suka membawa bola ke tengah untuk dieksekusi sendiri.

Roma lebih suka mengolah bola di lini tengah dan membiarkan kedua sayapnya mengolah bola semau mereka dengan bantuan Totti sebagai poros permainan yang punya kendali untuk mengarahkan bola ke sayap kanan atau kiri.

Mengingat bahwa Dzeko dan Totti adalah dua penyerang dengan tipe berbeda, rasanya tak mungkin kalau Dzeko akan mengemban tugas yang sama dengan Totti. Masalahnya ada di Garcia. Romanisti dibuat kesal oleh Garcia karena ia enggan untuk mengubah taktik meskipun perubahan itu harus dilakukan. Ketika Doumbia masuk, cara bermain Roma tidak berubah. Roma bermain seperti ketika Totti bermain. Roma jarang sekali melakukan crossing yang merupakan makanan empuk dari seorang predator sekelas Doumbia yang punya postur tinggi besar.

Doumbia dipaksa turun ke tengah lapangan dan berlari membawa bola sambil menunggu kedua sayap mendekat. Akurasi umpan Doumbia tidak sebagus Totti. Karena memang Doumbia seorang goal getter, bukan pemberi umpan.

Sederhananya adalah, Roma di bawah kepelatihan Rudi Garcia memainkan strategi false nine dengan Totti sebagai poros bola. Akibatnya, kendali bola benar-benar ada di kaki Totti.

Yang membedakan dengan Totti, Dzeko lebih sering dilayani oleh lini tengah ataupun lini sayap. Ia bukan pesepakbola yang melayani seperti yang dilakukan Totti dua musim kemarin.

Atas segala keunikan Dzeko sebagai penyerang, seharusnya ia tetap bisa menjadi solusi atas masalah yang menimpa AS Roma. Namun demikian, tetap saja Roma harus mengubah pola bermain dengan menempatkan Dzeko sebagai pemain yang dilayani oleh kedua sayap.

Penulis adalah Romanista yang menjadi mahasiswa Hubungan Internasional, dapat dihubungi lewat akun Twitter @alipjanic.

Komentar