Messi dan Ronaldo Sebagai Representasi Posmodernisme

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Messi dan Ronaldo Sebagai Representasi Posmodernisme

Karya M. Ardi Kurniawan

Sepakbola bukanlah ruang netral. Sepakbola justru merupakan ruang bertemunya beragam ideologi. Ideologi ini mewujud dalam berbagai praktik, mulai cara bemain, taktik, gaya usai mencetak gol, dan manajemen klub.

Cara bermain dan taktik Jose Mourinho misalnya, kerap dianggap sebagai representasi ideologi pragmatis dalam sepakbola. Ideologi yang melulu mengutamakan hasil dibanding proses. Gaya mencetak gol juga dapat menunjukkan ideologi tertentu. Pada Januari 2009, Frederic Kanoute menunjukkan kaos bertulis Palestina usai mencetak gol melawan Deportivo La Coruna di Copa del Rey. Mudah ditebak, hal tersebut menunjukkan dukungan terhadap ideologi pembebasan Palestina.

Selain kedua hal tersebut, manajemen klub ala Arsene Wenger dan Roman Abramovich juga menunjukkan ideologi yang bertolak belakang. Wenger yang populer dengan strategi iritnya dalam pembelian pemain menjadi gambaran ideologi efisiensi, sementara Abramovich dengan Chelsea sebagai representasi kapitalisme melalui pembelian pemain-pemain bintang.

Dalam konteks wacana yang demikian itulah tampaknya Isidorus Rio Turangga Budi Satria menafsir pemain Arsenal bernomor 12 dalam esainya yang bertajuk Pembelaan untuk Olivier Giroud. Dalam esai tersebut Isidorus membandingkan Giroud dengan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Ia menganggap bahwa Giroud merupakan perwujudan ideologi posmodernisme yang menolak konstruksi modernisme. Hal ini ditunjukkan lewat jumlah gol Giroud yang tidak sebanyak Ronaldo atau Messi. Singkatnya, ketidaksuburan mencetak gol perlu dibaca sebagai penolakan terhadap konstruksi ideologi modernisme, yang dalam hal ini, disimbolkan dengan jumlah gol yang banyak.

Saya merasa perlu memberikan catatan tambahan terhadap hal tersebut. Wacana yang saya tampilkan tentu bukan kebenaran tunggal, melainkan sekadar wacana alternatif untuk melihat perbandingan ketiga pemain tersebut dalam tarik menarik ideologi modernisme dan posmodernisme.

Modernisme memiliki sejumlah konsep kunci, di antaranya adalah terpusat, pembagian peran yang jelas, dan rasional. Sementara posmodernisme menolak gagasan tersebut. Posmodernisme mengajukan wacana tanding berupa tidak terpusat, tidak adanya pembagian peran yang jelas, dan irasional.

Quote Nietsche paling populer, “God is Dead”, adalah representasi ideologi posmodernisme yang menolak gagasan adanya Tuhan yang tunggal dan terpusat. Dalam posmodernisme, ide mengenai Tuhan adalah plural. Hal ini pula yang menyebabkan tumbuhnya wacana pluralisme dalam beragama. Hal ini tentu dapat mengundang perdebatan panjang, namun saya tidak akan lakukan di sini.

Konsep lain posmodernisme adalah menolak pembagian peran yang jelas. Pembagian peran ini yang dimaksud ini adalah dalam pekerjaan di luar rumah maupun di dalam rumah. Pada masa modernisme, seorang pekerja hanya perlu memiliki satu skill dan dikuasai secara mendalam. Sebab, pembagian peran saat itu begitu jelas. Dengan demikian, seorang pekerja hanya perlu satu keahlian. Gagasan ini perwujudan konsep modernisme mengenai perlu adanya pembagian kerja di dalam tempat kerja.

Posmodernisme mengajukan tesis sebaliknya mengenai pembagian kerja. Ideologi ini menolak batas-batas yang jelas untuk pekerjaan. Dengan kata lain, pembagian kerja menjadi kabur. Inilah yang menyebabkan maraknya  berbagai saran perlunya pekerja memiliki beragam keahlian dalam dalam industri apapun saat ini. Beragam keahlian yang dimiliki ini niscaya akan membuat pekerja bertahan di tengah industri yang membutuhkan pekerja multi keahlian.

Pembagian peran di dalam rumah juga menjadi konsep lain yang dibongkar posmodernisme. Dalam modernisme, pembagian peran laki-laki dan perempuan terlihat jelas. Laki-laki bekerja di luar dan perempuan di wilayah domestik atau di dalam rumah. Perempuan mengurus anak dan laki-laki bekerja. Dalam wacana posmodernisme, pembagian peran ini menjadi kabur dan tidak jarang bertukar peran. Saat ini lazim dilihat perempuan bekerja di luar rumah. Dalam proses pengasuhan anak pun, saat ini bukan saja tanggung jawab perempuan, melainkan juga laki-laki.

Saya akan menutup uraian yang agak teoretis ini dengan konsep rasional yang menjadi salah satu tanda modernisme. Konsep rasional ini mewujud dalam berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di barat. Kedua hal tersebut mensyaratkan rasional dalam cara berpikir. Posmodernisme melihat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak melulu membawa kemajuan, melainkan juga kehilangan dimensi spiritual. Hal inilah yang membuat masyarakat barat saat ini sibuk mencari spiritualisme ke timur.

Konsep modernisme dan posmodernisme yang saya uraikan sebelumnya sebenarnya hendak digunakan untuk menyampaikan bahwa Olivier Giroud justru merupakan perwujudan gagasan modernisme. Sebagai penyerang ia memiliki peran yang jelas, mencetak gol. Ini sekaligus merupakan perwujudan gagasan sepakbola modern yang terpusat untuk urusan mencetak gol. Gol adalah tanggung jawab utama penyerang sebagai pusat permainan tim. Harapan publik terhadap Giroud sebagai penyerang untuk mencetak banyak gol pun merupakan representasi cara berpikir rasional ala modernisme. Penyerang logikanya adalah pencetak gol terbanyak, bukan justru pemain dengan posisi lain.

Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo justru merupakan representasi gagasan posmodernisme dalam pembacaan saya. Sebagai pemain sepakbola, keduanya memiliki peran yang kabur. Dalam satu pertandingan Ronaldo dapat berperan sebagai pemain sayap kanan atau kiri, flank, dan penyerang. Messi pun demikian. Selain dapat bermain sebagai sayap, Messi juga piawai bermain sebagai penyerang tengah, false 9, atau playmaker. Kedua pemain tersebut juga mampu bertukar peran dengan rekan setim di tengah pertandingan.

Selain peran yang kabur, Messi dan Ronaldo juga perwujudan ideologi posmodernisme mengenai tidak adanya pusat. Keduanya menghapus peran penyerang sebagai pusat permainan sekaligus penanggung jawab utama terciptanya gol. Ronaldo dan Messi membongkar permainan sepakbola dengan menunjukkan bahwa tidak ada pusat permainan. Semua pemain, dari posisi apapun memiliki peran dalam proses terciptanya gol.

Messi dan Ronaldo juga menunjukkan perlunya  irasionalitas posmodernisme dalam menyaksikan permainan sepakbola. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Giroud dianggap gagal memenuhi ekspetasi publik sebagai penyerang. Ekspetasi ini hasil dari cara berpikir rasional bahwa penyerang harus mencetak banyak gol. Messi dan Ronaldo membongkar cara berpikir tersebut. Mereka berdua menunjukkan bahwa gol dalam jumlah banyak bisa hadir lewat pemain yang berposisi di mana pun.

Sebagai penutup, saya hanya ingin menyampaikan bahwa kehadiran pemain sepakbola di lapangan perlu terus menerus dilihat dari berbagai dimensi. Ronaldo dan Messi adalah dua pemain yang perlu diapresiasi bukan sekadar dari jumlah gol atau cara bermain mereka di lapangan, melainkan juga bagaimana mereka menghadirkan perspektif baru dalam menonton sepakbola.

foto: ibitimes.co.uk

*Penulis merupakan pengajar dan peneliti, tinggal di Yogyakarta. Berakun twitter @arsipardi

Tulisan ini menanggapi karya Isidorus Rio Turangga Budi Satria dengan judul Pembelaan untuk Olivier Giroud

Komentar