"Ya, saya sudah melihat beberapa video dari Indonesia di Youtube. Mereka lumayan", ujar Pete Boyle.
Saya bertemu Pete Boyle petang hari itu di sebuah pub yang dulu menjadi salah satu tempat berkumpul hooligans Manchester United di tahun 1970-an sebelum berjalan ke Maine Road pada hari derby. Basis fans klub-klub Inggris di Indonesia cukup istimewa dalam pengetahuan seputar klub-klub yang mereka gemari. Rasanya tidak ada negara lain di Asia di mana para fansnya vokal dalam menyanyikan chant-chant saat acara nonton bareng.
Video-video nonton bareng fans dari Indonesia dengan segala kegilaannya, dari naik-naik meja sambil bernyanyi hingga bakar-bakaran flare, bertebaran di Youtube. Fans Manchester United tak terkecuali. Tak heran ketika saya bilang saya dari Jakarta dan iseng mengajaknya bertemu, ia tak menampik.
Musik dan sepakbola itu sulit untuk dipisahkan. Simak artikelnya:
Sepakbola dan Musik sebagai Sejawat yang Tak Bisa Dipisahkan.
Bagi fans Manchester United yang doyan untuk teriak-teriak hingga tenggorokan kering saat menonton pertandingan di TV, nama Pete Boyle tidak asing. Di beberapa video keriaan para fans Manchester United di bar-bar luar Old Trafford sebelum pertandingan, sosok Pete Boyle selalu ada di sana sambil memimpin para suporter lain menyanyikan lagu-lagu United. Alasan dia selalu ada di tiap video cukup sederhana: ia yang menciptakan lagu-lagu tersebut.
Salah satu chant United paling ikonik yang tak pernah absen dalam ritual minum-minum sebelum pertandingan adalah "We`ll Drink to Eric the King" yang diiringi gestur mengangkat gelas dan teriakan "Weeeeeeeeee" yang panjang. Menurut Boyle, chant ini sebenarnya bukan chant baru.
"Dulu di tahun 60-an dan 70-an, chant tersebut dinyanyikan untuk King Denis Law. Beberapa klub lain juga menyanyikannya untuk pemain mereka. Tapi baru ketika Eric Cantona muncul, saya menyanyikannya lagi dan yang lain mengikuti", cetus Boyle.
Kreasi Boyle lain yang populer adalah "Gary Neville is a Red", yang menurutnya disukai oleh si pemain sendiri dan "When Johnny Goes Marching Down The Wing", lagu yang dinyanyikan usai John O`ÃÃÃâShea mencetak gol kemenangan di Anfield di penghujung pertandingan yang menjadikan pemain Irlandia tersebut abadi dalam memori para suporter United.
Salah satu hal yang bikin penasaran ketika mendengar chant-chant sepak bola ini adalah bagaimana proses kreatifnya, karena tidak hanya beberapa chant melodinya sangat catchy dan berlirik jenaka, namun juga frekuensi munculnya chant baru cukup tinggi.
"Saya menghabiskan waktu untuk menulis lirik dan merangkai melodinya di rumah. Lalu saya coba menyanyikannya di pub. Jika orang suka, mereka akan langsung menangkapnya dan menyanyikannya kembali di stadion. Chant yang bagus adalah yang langsung bisa dinyanyikan oleh orang lain dengan cepat".
Musik seringkali dibuat untuk mengabadikan sesuatu. Sebuah lagu bergenre musik rock pernah ditulis untuk mengenang Justin Fashanu, seorang pesepakbola homoseksual
Mengenang Justin Fashanu Lewat Musik Rock
Namun tidak semua chant yang ia ciptakan bisa tumbuh menjadi populer. Beberapa hanya pernah dinyanyikan sesekali, lalu terlupakan dan tak bisa dinyanyikan lagi. Pete Boyle merekam semua lagu yang ia ciptakan dalam album yang kemudian ia berikan sebagai kenang-kenangan.
Salah satu chant terbaik Manchester United menurut saya adalah "Eusebio, I Say Kiddo", sebuah chant untuk Brian Kidd dengan melodi Hello Goodbye-nya The Beatles yang muncul usai kemenangan atas Benfica di final European Cup tahun 1968. Cobalah nyanyikan liriknya dengan melodi Beatles tersebut dan anda akan sadar betapa jeniusnya chant tersebut.
Saya menanyakan kepada Pete Boyle kenapa chant tersebut tak pernah dikumandangkan lagi oleh fans United.
"Brian Kidd merusak reputasinya di United ketika ia hijrah sebagai staf pelatih ke Manchester City. Para fans bisa mengerti ketika ia pindah sebagai pemain ke City. Ia butuh transfer tersebut. Ketika sebagai pelatih ia hengkang ke Blackburn pun para fans masih maklum. Bahkan ketika ia pindah ke Leeds United, para fans masih mafhum - dulu ada foto beredar soal Brian Kidd jogging dengan celana Man United ketika ia di Leeds. Tapi ketika ia masuk ke Manchester City lagi, para fans sulit untuk bisa memaafkan. Tak seperti klub-klub sebelumnya, ia sebenarnya bisa saja pilih klub lain selain City tapi ia tidak melakukannnya."
Chant yang paling sering dinyanyikan di akhir musim lalu oleh suporter Manchester United adalah chant baru mengenai George Best yang diakhiri dengan baris berbunyi, "I`m gonna go on a piss with Georgie Best", yang merujuk pada hobi minum alkohol-nya legenda asal Irlandia Utara tersebut. Pete Boyle tak terlalu gembira dengan chant tersebut.
"Melodinya sangat catchy dan menurut saya chant tersebut brilian. Tapi saya terganggu dengan referensi soal betapa alkoholiknya George Best. Bagaimana pun, pada akhirnya alkohol yang merenggut nyawa Best. Saya sudah bilang ke orang yang mengarang chant tersebut bahwa akan lebih baik jika liriknya sedikit diubah. Toh hanya satu kata saja, tak akan berpengaruh apa-apa".
Pete Boyle menukas salah satu batasan lain bagi dirinya ketika membuat chant. Ia tak ingin memakai melodi yang generik atau mendaur ulang chant yang berasal dari periode yang masih terbilang kini.
"Saya tak suka sekali ketika ada yang memakai melodi chant Anderson untuk Dimitar Berbatov. Mereka berada di masa yang sama."
Jika hendak mendaur ulang melodi, ia memilih untuk mengambil sampel dari beberapa generasi silam.
"Melodi `Who Put The Ball in the Germans Net?`Ãâ dulu dipakai untuk merujuk pada `Skip to My` Lou Macari. Saya menggunakannya lagi untuk Ole Gunnar Solskjaer. Tapi mereka terpaut beberapa generasi."
Baca juga: Lagu Puff Daddy dan Sepakbola Perancis yang Lucu
Popularitas Pete Boyle membubung tinggi di era internet yang membuat dirinya menjadi semacam cult hero bagi fans Manchester United, terutama yang tidak berasal dari Inggris. Ia kerap diundang ke berbagai negara Eropa lain, terutama Norwegia, di mana Premier League punya basis fans yang besar berkat siaran langsung sepak bola Inggris di negara tersebut sejak tahun 80-an. Di berbagai nonton bareng yang digelar di sana, Pete Boyle memimpin para fans untuk bernyanyi bersama. Biasanya ia juga mengajak beberapa bekas pemain seperti David May untuk ikut serta.
Pete Boyle cukup terkenal di kalangan fans United di Skandinavia sampai-sampai suatu ketika beberapa fans United mengenali wajahnya tapi tak sadar bahwa ada dua mantan pemain United yang sedang bersamanya.
"Saya sedang boarding pesawat ketika beberapa orang menghampiri saya dan mengajak ngobrol. Tapi mereka tak mengenali David May dan Brian McClair yang duduk di sebelah saya".
Perjumpaan dengan Pete Boyle sore itu tak lama, tapi ia tak lupa menyinggung mitos terbesar soal demografi sepak bola di Manchester.
"Fakta bahwa United punya fans di seluruh dunia sering dijadikan dasar argumen bahwa United tak punya banyak fans lokal. Ini omong kosong. Manchester penuh dengan fans United. Bahkan tidak 50-50 sekalipun. Lebih mungkin 60-40 untuk United, mungkin juga lebih."
Yes, Pete. Manchester is red. Tapi jangan bilang-bilang Liam Gallagher, ya?
Komentar