Entah sudah berapa kali kami melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam praktik penulisan. Pasti tak terhitung. Di hari yang baik ini, pada Idul Fitri 1436 H, sudilah teman-teman dan khalayak pembaca memaafkannya.
Sejak pertama kali nama Pandit Football Indonesia muncul, tepatnya di kanal Piala Eropa 2012 di laman detiksport, pada Juni 2012, berarti sudah tiga tahun kami menawarkan teks-teks sepakbola untuk para pembaca sepakbola Indonesia. Semakin intens setelah rilisnya sub-kanal About the Game di detiksport, dan kian intensif lagi setelah kami mengembangangkan situs tersendiri, www.panditfootball.com, terhitung mulai awal 2014.
Sudah lebih dari lima ribu teks mengenai sepakbola yang kami hasilkan. Ribuan teks itu, jika dibagi ke dalam dua kategori besar, sebagian berupa analisis (semisal match analysis) dan sebagian lainnya berbentuk cerita sepakbola.
Tidak mudah menghasilkan teks sepakbola sebanyak itu. Terutama karena mayoritas teks-teks itu bukan berbentuk berita, melainkan teks-teks yang merupakan hasil olahan dari berbagai sumber yang kemudian ditambahi atau diperkaya dengan opini kami sendiri, berdasarkan perspektif tertentu dan preferensi serta standing point tertentu pula.
Jika kami sudah menghasilkan lima ribu teks, minimal ada lima ribu pula kekeliruan yang pernah kami buat -- minimal kekeliruan ejaan atau typo. Itu minimal. Boleh jadi angkanya lebih besar dari itu karena kadang typo tidak muncul hanya sekali dalam satu teks. Kadang dua, kadang tiga, bahkan lebih. Belum jika menghitung kekeliruan lain yang lebih berat, semisal: keliru menerjemahkan kalimat atau keliru menghadirkan sebuah konteks.
Sejujurnya kami belum bisa bekerja dengan level yang ideal untuk meminimalisir kekeliruan. Jumlah personalia sangat terbatas, sementara tenggat sangatlah ketat (terutama dalam kerja memproduksi teks untuk sub-kanal About the Game), dan tulisan pun rata-rata terhitung panjang untuk ukuran konten di internet (di atas seribu kata). Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah memastikan tidak ada satu pun tulisan yang tayang di situs kami (atau dikirimkan ke redaksi detiksport) tanpa diperiksa orang lain selain si penulis. Artinya, proses penyuntingan selalu terjadi, dengan segala keterbatasannya.
Itu pun kekeliruan masih saja terjadi. Dan tentu itu tak bisa disepelekan.
Di zaman internet seperti sekarang, ketika teks bisa dengan mudah dikloning dan disebarluaskan, sebuah kekeliruan bukan hal yang gampang disepelekan. Satu kekeliruan bisa menyebar sedemikian rupa, kemudian menjadi massif, dan akhirnya bukan tidak mungkin ada beberapa orang, atau banyak orang, yang kena limbur kekeliruan massal.
Alih-alih menjadi semakin teliti dan cerdas, ada kecenderungan para pembaca sekarang lebih gampangan menyebarkan sebuah teks yang dibacanya. Media sosial adalah sebuah biografi kekeliruan yang dengan gampangnya menjadi viral.
Ketika informasi menjadi lebih gampang didapatkan seperti sekarang, tugas seorang penulis dan penyunting justru semakin berat. Setiap penulis dan penyunting mesti lebih cermat. Sebelum rentetan kekeliruan yang kadung menjadi viral praktis sulit sekali untuk dihentikan penyebarannya.
Dalam bentuknya yang ideal, sebuah newsroom tidak hanya diisi oleh para penulis, melainkan para penyunting, para fact checker hingga penyelia bahasa dan pemeriksa aksara. Masing-masing bekerja di mejanya sendiri-sendiri. Dari sejak rapat perencanaan hingga beberapa detik sebelum sebuah teks dipublikasikan, penyaringan demi penyaringan terus dilakukan untuk memastikan sesedikit mungkin ada kekeliruan dan kesalahan yang ikut tertayangkan.
Karena kami belum seideal itu, maka satu-satunya hal yang bisa kami lakukan adalah selalu terbuka dan membuka diri pada koreksi dan kritik dari sidang pembaca sekalian. Jika para pembaca sering menengok kolom komentar, cukup lazim para penulis kami berinteraksi dengan para pembaca. Selain mengucapkan terimakasih atau mengakui kekeliruan yang berhasil dikoreksi pembaca, para penulis kami juga kadang terlibat diskusi atau perdebatan dengan para pembaca.
Kami sendiri mencoba memberi panduan kepada para penulis perihal bagaimana caranya merespons kritik, baik kritik yang disampaikan dengan halus maupun kasar. Salah satu yang paling sering diingatkan pada para penulis kami adalah untuk tidak merespons kritik dengan cara ad hominem. Tapi itu tidak selalu mudah.
Harus kami akui, tidak semua respons para penulis kami bisa rileks menerima kritik. Tidak jarang terjadi sinisme juga dibalas dengan sinisme. Biar bagaimana pun, dikritik atau menerima kritik bukan hal yang selalu mudah dan bukan juga hal yang selalu menyenangkan. Kadang respons amat ditentukan oleh suasana hati juga. Dan itulah yang kadang sulit diprediksi.
Catatan lainnya perihal kebijakan redaksional Pandit Football Indonesia bisa dibaca di sini:Kami Cantumkan Struktur Redaksi Agar Pembaca Bisa Mengkritik dengan Tepat
Tapi ada hal yang lumayan menggembirakan. Kami amat senang kolom komentar di situs kami memperlihatkan kecenderungan yang baik. Ad hominem dan oneliner bukannya tidak ada, tapi jauh lebih banyak argumentasi. Kolom komentar di situs kami bisa lolos, sejauh ini dan secara umum, dari stereotipe situs sepakbola yang jamak dipenuhi sampah makian dan kata-kata kasar.
Dengan mengutip komentar salah seorang pembaca, barangkali sebuah tempat yang baik akan bikin orang berhati-hati dan tidak serampangan meludah sembarangan.
Lain halnya dengan perbedaan pendapat antara penulis dengan pembaca yang berasal dari perbedaan perspektif atau titik pijak. Ini sesuatu yang mesti diterima sebagai kekayaan, bukan kelemahan. Dan ini sesuatu yang relatif sering terjadi karena teks-teks yang kami produksi memang bukan teks berita, melainkan teks yang selalu diimbuhi oleh opini, tafsir dan perspektif personal penulisnya, maupun perspektif institusi Pandit Football sendiri.
Setiap orang boleh dan berhak bersikap terhadap sebuah isu. Dan penyikapan itu, bahkan keberpihakan itu, harus diterima sebagai bianglala yang memperkaya semesta perspektif kita semua. Bahwa kadang dalam teks-teks kami terlihat ikhtiar untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca, itu memang tidak terhindarkan dalam sebuah praktik penulisan. Semua penulis melakukannya, dengan sadar atau tidak. Dan anda sekalian, sebagai pembaca, tentu punya kemerdekaan untuk berkata YA atau TIDAK terhadap ikhtiar-ikhtiar itu.
Melahirkan sebuah teks yang sempurna, yang disukai oleh semua pembaca tanpa kecuali, boleh jadi merupakan sebuah utopia. Menulis pada dasarnya adalah sebuah praktik berkompromi dengan kenyataan, setidaknya berkompromi dengan bahasa, sebab kekayaan pikiran seringkali tak bisa sepenuhnya diutarakan melalui bahasa. Masalahnya kita semua hidup dalam semesta bahasa dan harus menerima kenyataan bahwa pikiran manusia yang kompleks itu memang hanya bisa dikomunikasikan melalui bahasa yang serba terbatas.
Mustahil selalu lolos dari kekeliruan. Tapi setidaknya kami berusaha agar jika pun ada yang tidak tepat dalam teks-teks yang kami hasilkan, itu bukanlah sebuah kesalahan melainkan sekadar kekeliruan.
Dalam pidato yang disampaikan pada 14 Juli 1999, sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis non-sepakbola yang sangat sering disebut dalam percakapan sehari-hari di kantor kami, pernah berkata: "Kesalahan lain dengan kekeliruan. Kesalahan berasal sudah dari otak, kalau keliru itu adalah salah dalam pelaksanaan teknis."
Semoga kami terus diberi ketabahan dan kesabaran untuk sanggup secara rutin dan berkala memeriksa otak kami sendiri -- sebelum dengan gampangnya berkelit dari kritik dengan menyuruh pembaca memeriksa otaknya.
Selamat Idul Fitri 1436 Hijriah. Maafkan kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam teks-teks yang pernah kami hasilkan. Mohon maaf lahir dan batin.
Semoga kita bisa terus bercakap-cakap melalui teks yang kami hasilkan dan praktik pembacaan yang anda lakukan.
Komentar