Oleh: R.M. Agung Putranto Wibowo*
Roberto Mancini pernah memuji Manchester United sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Menurut eks manajer City itu, tim terbaik dunia selalu punya cara untuk keluar dari tekanan kemudian membalikkan keadaan. Wajar bilamana Mancio berkata demikian. Jika Anda lupa, saat itu ia berhadapan dengan United versi Sir Alex Ferguson.
Syahdan, United sudah ditinggal Sir Alex, kendati namanya masih bertengger di salah satu tribun Old Trafford. Di bawah rezim Fergie, melihat United tertinggal 0-2 rasanya bukan masalah besar. Berbeda dengan rezim saat ini, jika melihat United tertinggal 0-2 lebih baik ke kamar mandi, sikat gigi, lalu bergegas tidur. Bahkan apabila Anda lupa mematikan televisi tak mengapa, sebab pada pagi hari pasti ada cuplikan kekalahan United dengan segala tanggung jawab filosofisnya.
Bicara mengenai filosofi, siapa tak kenal Friedrich Nietzsche. Seorang Jerman dengan pernyataannya yang menggelegar: �"Tuhan sudah mati!�". Pemikirannya memang tidak mudah dicern, namun orisinalitas gagasan serta gayanya dalam mengembangkan teori-teori sungguh menakjubkan. Nietzsche tidak mengajak pembaca untuk menelan dogma-dogma tertentu. Cukup melakukan eksperimen psiko-sosial yang mengajak publik mengubah nasibnya masing-masing.
Saat United dan Sir Alex resmi berpisah secara fisik pada 2013 silam, publik United diterpa kegamangan. Perihal wacana siapa yang akan mengambil alih kursi manajer menjadi bahan perbincangan seantero dunia. Fergie telah menahbiskan United menjadi salah satu tim terbaik dunia. Bagi para pendukung United, mengimani Ferguson termasuk salah satu rukun dan hukumnya wajib. Bahkan beberapa pendukung fanatik sudah mengkristalisasi sosok Sir Alex selayaknya Tuhan!
Tidak butuh waktu lama menentukan pengganti Ferguson. Adalah David Moyes, pria asal Skotlandia yang dianggap tepat meneruskan kejayaan United. Konon terpilihnya Moyes berdasarkan titah langsung Sir Alex. Alih-alih meneruskan kejayaan, The Chosen One justru mendatangkan kesesatan. Tertatih-tatih menghadapi musim kompetisi, bahkan keluar dari zona Liga Champions, jelas bukan pemandangan yang ingin dilihat publik United. Gerakan romantisme pun mencuat. Publik United menginginkan kembali kejayaan yang dahulu sering dirasakan bersama Fergie puluhan tahun lamanya.
Alhasil Moyes pun didepak dari kursi manajer. Kisah yang cukup tragis, sebab Moyes dipilih sendiri oleh God of Old Trafford; Sir Alex Ferguson. United butuh sosok yang agung. Tim ini terlanjur menjelma sebagai tim raksasa, sehingga keputusan publik United menunjuk Louis Van Gaal sebagai manajer berikutnya dirasa tepat. Catatan Van Gaal sebagai pelatih sungguh mengesankan. Bersama Ajax ia menjuarai Eredivisie, Liga Champions, Piala UEFA, dan Piala Dunia Antarklub. Rekor tidak berhenti sampai di situ, hijrah ke negeri Spanyol ia mengembalikan kejayaan Barcelona di tengah kegemilangan Real Madrid waktu itu. Pun saat di Jerman, ia berhasil menjuarai Bundesliga dan DFB Pokal bersama Bayern Munchen.
Nama besar Van Gaal tidak perlu diragukan. Dalam hal kepelatihan, namanya sejajar dengan Sir Alex. Hal itulah yang membuat publik United meminangnya. Saat menginjakkan kaki di tanah Manchester, Van Gaal sadar betul bahwa United tidak dalam kondisi terbaik. Ada semacam krisis identitas yang menyelimuti anak asuhnya. Wayne Rooney dkk. seolah lupa caranya memenangi pertandingan. Meminjam istilah Nietzsche dalam karyanya Human, All Too Human, mereka sudah tidak punya lagi will to power atau kehendak-untuk-berkuasa.
Sirnanya kekuatan berdampak pada rasa takut sekaligus kehendak untuk berkuasa. Rasa takut adalah dorongan negatif yang membuat sesuatu jadi sering dihindari, sedangkan kehendak untuk berkuasa adalah dorongan positif yang membuat orang memperjuangkan sesuatu. Dikotomi antara (rasa takut) dan (kehendak-untuk-berkuasa) adalah dua unsur yang saling menegasikan. Nietzsche benar, untuk dapat memperjuangkan sesuatu maka kita hanya perlu memiliki kehendak untuk berkuasa, dan itu yang tidak dimiliki United dewasa ini. Rasa takut kadung melucuti tiap potensi yang dimiliki Rooney dkk. Mungkin dekadensi itu terjadi karena sirnanya kekuatan magis Fergie, sehingga meninggalkan duka yang begitu mendalam. Bukankah kebenaran tidak selalu sedalam sumur? Kebenaran bisa saja terlihat di permukaan suatu masalah, begitu celoteh detektif asal Prancis, Auguste Dupin.
Benar saja, hal pertama yang dilakukan Van Gaal sebagai manajer adalah menjauhkan publik United dari romansa Sir Alex. Salah satunya yakni dengan mendongkel sendi-sendi pakem formasi warisan Sir Alex. Dalam merancang formasinya, Van Gaal tidak mau serigid Fergie yang menjadikan 4-4-2 sebagai episentrum. United bisa saja bermain dengan formasi awal 3-4-3, 3-5-2, atau bahkan 4-5-1 dengan striker tunggal sebagai tumpuan.
Bersama Van Gaal, United turut mengembangkan teknik bertahan yang sebelumnya jarang diterapkan. Maklum saja filosofi attack, attack, attack! tertancap kuat di benak publik United, menjelma bak dogma yang menyulitkan diri sendiri kala diserang lawan. Van Gaal seakan memberi pesan, United yang sekarang bukan lagi United rezim Sir Alex. Masa-masa indah bersama Sir Alex telah tiada. Hadapilah kenyataan bahwa �"Tuhan�" kalian telah mati! Hadapilah dengan segenap potensi kekuatan yang kalian miliki, bahwa United masih punya kehendak untuk berkuasa (lagi).
Selayaknya Nietzsche, Van Gaal menjadi besar karena karya-karyanya sulit dipahami. Rivaldo pernah berujar bahwa Van Gaal merupakan pelatih yang bagus, namun sayang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Hal tersebut dikeluhkan pada saat melawan Atletico Madrid, Rivaldo ditarik keluar pada menit ke-60. Setelah pertandingan ia menjadi bertanya-tanya mengapa Van Gaal memuji penampilannya tetapi malah menempatkan Zenden di sayap kiri Barcelona. Setelah ia mengutarakan opininya, tentu didampingi Mourinho yang kala itu masih menjabat sebagai asisten sekaligus penerjemah, Van Gaal hanya tertawa.
Baca juga: Belakangan, Van Gaal Melunak.
Beralih ke Jerman, Van Gaal melanjutkan filosofinya yang kontroversial tapi berbuah prestasi. Di bawah kendalinya, Bayern Munchen mengorbitkan dua pemain muda Jerman. Kedua pemain itu ialah Holger Badstuber dan Thomas Muller. Nama terakhir bahkan tengah menikmati kejayaan sebagai pangeran Bavaria. Langkah lain yang turut menuai protes yakni menggeser posisi Philip Lahm yang semula sebagai bek kiri menjadi bek kanan. Van Gaal dengan filosofisnya mengatakan bahwa Arjen Robben tidak boleh sendirian bekerja di sayap kanan. Itulah sebabnya Lahm digeser ke kanan demi mendukung pergerakan Robben. Alhasil kini baik Lahm maupun Robben semakin padu dan produktif di sisi kanan Bayern Munchen.
Louis Van Gaal boleh jadi tidak disukai oleh para penggemar sepakbola. Sikapnya memang aneh dan terkadang bermuara pada keangkuhan. Suporter klub manapun di dunia ini pastilah geram menyaksikan manajer hanya duduk manis berpangku tangan sementara timnya tengah dipermalukan. Namun silakan tengok ke belakang, apakah Barcelona dan atau Bayern Munchen saat itu nir gelar?
Sudah dua musim sejak kedatangannya ke kota Manchester, belum satupun gelar yang dipersembahkan Van Gaal. Alih-alih meraih trofi, United selalu punya cara untuk memupus harapan itu. Gagalnya United lolos ke babak 16 besar Liga Champions, kesulitan menembus zona empat besar di liga domestik, menjadi serangkaian hasil kurang memuaskan musim ini. Bahkan sudah dua kekalahan beruntun diderita United, yakni oleh Norwich dan Stoke City. Percayalah bahwa publik United sangat tidak biasa menyaksikan kekalahan. Entah masih seberapa besar kesabaran United untuk tetap mempertahankan Louis Van Gaal.
Dalam sesi wawancara pasca pertandingan melawan Stoke City, Van Gaal berkata bahwa klub tidak perlu repot memecat dirinya karena ia bisa melakukannya sendiri. Seperti halnya gagasan Nietzsche dalam rangka penegasan atas kehidupan. United harus mencintai nasib tanpa memerlukan khayalan dan rasa aman yang keliru demi menenangkan dirinya sendiri. Sir Alex saat ini hanyalah fragmen khayalan yang mengungkap perasaan takut United tuk menghadapi dunia sesungguhnya. Van Gaal hadir bukan sebagai bayang-bayang yang menginjeksi perasaan tenang kepada publik United. Kedatangannya penuh dengan kehendak positif berupa harapan bahwa United sanggup berjaya meski tanpa seorang Ferguson.
Namun jika publik United berkehendak lain, Van Gaal juga punya kehendak sendiri. Jikalau memang harus memecat dirinya sendiri, maka akan ia lakukan dengan senang hati. Pendeknya, buat apa Louis Van Gaal terlibat di dalam klub yang tidak percaya akan kekuatan dirinya sendiri. �"Tuhan�" kalian telah mati dan kalian juga akan ikut mati jika tidak keluar dari bayang-bayangnya.
Amor Fati, Van Gaal!
Amor Fati, United!.
No Glory without Dignity!
Penulis merupakan Mahasiswa FHUI yang tengah berjuang merampungkan skripsi. Berakun twitter @agungbowo26
Komentar