Jika perjalanan Portugal di Euro 2016 diumpamakan sebuah lakon, laga melawan Prancis adalah plot-twist yang menyerupai sebuah revelasi (terungkapnya kebenaran): tak benar Portugal semata mengandalkan keberuntungan, keliru menganggap Portugal sebagai "one man team".
Dianggap semata dinaungi keberuntungan, Portugal justru ketiban sial kehilangan Cristiano Ronaldo secara dini di final. Bermenit-menit kemudian, hingga babak pertama berakhir, Portugal belum juga terpulihkan dari insiden itu. Mereka terlihat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa dengan bola, ketika sudah memasuki pertahanan Prancis. Wajah nanar Fernando Santos di detik-detik awal cederanya Ronaldo seakan hendak mengatakan: “Betapa sialnya tim yang kehilangan kapten, pemain terbaik, top skor dan inspirator tim justru di partai final.”
Tapi cederanya Ronaldo di awal babak pertama justru menjadi pre-teks revelasi yang lain: Portugal bukanlah one man team sebagaimana dituduhkan banyak orang. Portugal pada akhirnya memenangkan partai puncak justru dengan Ronaldo yang bermain (efektif) hanya 10 menit dan hanya sempat delapan kali saja menyentuh bola. Secara keseluruhan, Portugal yang diejek one man team justru berhasil menjadi juara dengan Ronaldo yang hanya mencetak tiga gol (tak lebih banyak dari Nani), menjadi man of the match hanya dalam dua laga.
Fernando Santos, pelatih kepala Portugal, kini bisa dengan enak mengutip sebuah pepatah yang populer dalam bahasa Portugis: Quem vê cara, não vê coração yang berarti "siapa yang hanya melihat wajah, tak akan dapat melihat hati". Pepatah itu mengajarkan betapa mengecohnya segala yang tampak di permukaan. Pepatah itu dapatlah diwakilkan lewat idiom Inggris yang sudah klasik: "Don`t judge a book by its cover."
Pembaca yang jeli akan menemukan beberapa ungkapan atau pernyataan Fernando Santos yang menggemakan pepatah itu. Ia menyebut Eder sebagai "si bebek buruk rupa" yang lantas memperlihatkan siapa dia yang sebenarnya: "seekor angsa yang cantik".
Kurang buruk apa Eder, dibandingkan Befetimbi Gomis, misalnya? Dia bahkan dicampakkan tim sekelas Swansea yang lebih memilih Gomis, penyerang Prancis yang tak sedikit pun membangkitkan selera Didier Deschamps untuk membawanya ke Euro 2016. Eder yang hanya bermain dua kali sepanjang Euro 2016, itu pun sebagai pemain pengganti, hanya bisa membuat dua tembakan sepanjang turnamen, keduanya ke gawang Prancis, dan salah satunya akan dikenang sebagai tembakan yang abadi: gol yang mengubah sejarah sepakbola Protugal.
Atau simaklah pernyataan Santos menjelang laga semi final. Katanya: "Apakah saya ingin kami (bermain) cantik? Ya. Tapi antara menjadi cantik atau harus pulang ke rumah, antara menjadi buruk rupa atau tetap bertahan di sini, saya memilih menjadi buruk rupa."
Buruk rupa? Ah, bukankah itu hanya tampilan luar saja. Hanya urusan paras. Tidak sulit bagi Santos untuk bersikap santai dianggap buruk rupa, bermain buruk, semata mengandalkan keberuntungan atawa ejekan one man team. Orang-orang itu hanya tidak tahu saja yang sebenarnya.
Dan untuk sanggup menghayati rasanya disalahpahami, untuk tabah diejek berdasarkan purba sangka, Santos bisa menoleh kepada maestro Portugal yang lain. Dalam karya yang genre-nya sukar diklasifikasi, The Book of Disquiet, penyair legendaris Portugal, Fernando Pessoa, menulis dengan persistensi yang tegas, layaknya sebuah nubuat: “Saya selalu menolak dipahami. Berusaha dipahami berarti melacurkan diri. Saya memilih menjauh dari apa yang bukan menjadi jati diri saya, secara manusiawi tetap tak dikenal, secara alami, dengan segala hormat.”
Kalimat dari penyair yang karya-karyanya disukai Jose Mourinho, dan bukan kebetulan jika kalimat itu rasanya pas menggambarkan Mourinho, kali ini dapat diandaikan ke dalam metode Santos menangani Portugal. Kalimat Pessoa itu digemakan dengan cara yang berbeda oleh Santos menjelang laga final, dan diulanginya lagi setelah laga final: "Biarkan saja mereka mengatakan hal yang sama terus-terusan, bahwa Portugal tidak pantas menjadi juara. Aku akan tetap pulang ke rumah dengan bahagia.”
Bayangkan jika Santos terpancing, dan memilih taktik yang bukan karakternya, katakanlah bermain terbuka. Ia bukan hanya akan terlihat menjauh dari Pessoa, karena menjauhi jati diri, dan dengan demikian — masih dalam gema Pessoa — melacurkan diri hanya agar dipahami. Amat mungkin Portugal akan hancur lebur, karena bermain terbuka kala menghadapi tim sekelas Hungaria pun mereka harus menelan tiga gol.
Bermain rapat di belakang dan lini tengah, mencoba lebih menitikberatkan pertahanan lebih dulu, sehingga jika pun menang hanya dengan skor tipis, dan akhirnya dianggap tidak meyakinkan, memang sudah menjadi karakter Portugal di bawah asuhan Santos. Bayangkan, delapan kali berlaga di babak kualifikasi Euro 2016, Portugal menang tujuh kali dan semuanya dengan marjin hanya satu gol. Mereka menang 1-0 sebanyak empat kali, menang 2-1 sebanyak dua kali, dan menang 3-2 sekali. Serba pas-pasan, biasa saja, sepintas tak meyakinkan. Ini bukan hanya Portugal di Euro 2016, tapi Portugal sejak babak kualifikasi, sejak ditangani Santos – inilah “jati diri” Santos, dan ia setia dengan itu, apa pun ejekan orang.
Bahkan Santos sendiri “rela” berbagi peran dengan Ronaldo di pinggir lapangan. Kita tahu bagaimana bersemangatnya Ronaldo sepanjang babak perpanjangan waktu. Ia tak duduk di bench, tapi berdiri di touchline, layaknya seorang pelatih. Tak hanya berdiri, Ronaldo pun sibuk memberikan instruksi ini dan itu, meneriaki rekan-rekannya, memberi semangat dengan menepuk-nepuk rekannya. Bahkan memperlihatkan lagak “ayah sepakbolanya”, Sir Alex Ferguson, kala menunjuk pergelangan tangan untuk mengingatkan wasit tentang waktu permainan yang sudah habis.
Santos sama sekali tidak keberatan, dan dengan itu, lagi-lagi, ia memberikan “amunisi” kepada orang-orang untuk menilai segalanya – bahkan walau berupa meme-- dari permukaan: bahwa Ronaldo telah menjadi (asisten) pelatih (ada yang tahu siapa asisten Santos?), bahwa pekerjaan Santos dibayang-bayangi oleh pengaruh intervensi Ronaldo, bahwa ia kelewat mengistimewakan Ronaldo layaknya sebuah one man team.
Menyaksikan polah Ronaldo itu, juga kesediaan Santos berbagi ruang di touchline, Sekali lagi saya teringat Fernando Pessoa. Buku berjudul The Book of Disquiet yang sudah saya singgung sebelumnya, awalnya disebutkan ditulis oleh Bernando Soares dan Pessoa hanya menulis kata pengantar. Siapa Bernando Soares? Ya tidak lain dan tidak bukan adalah Pessoa.
Apakah Pessoa menggunakan nama pena? Tidak. Pessoa menggunakan istilah heteronym. Dalam konsep kreatif Pessoa, heteronym berarti penggunaan banyak karakter yang diciptakan oleh seorang penulis untuk menghadirkan berbagai gaya penulisan. Bernando Soares adalah nama yang diciptakan Pessoa sebagai penulis The Book of Disquiet untuk memunculkan gaya penulisan yang berbeda.
Bernando Soares bukan satu-satunya heteronym yang dimunculkan Pessoa. Ia menciptakan banyak sekali nama, puluhan bahkan ratusan. Saat meninggal dunia, ia mewariskan banyak sekali manuskrip naskah yang ditandatangani atau atas nama puluhan orang yang berbeda-beda. Padahal semua ditulis oleh Pessoa sendiri.
Yang paling legendaris adalah Ricardo Reis, Alberto Caeiro, Alvaro de Campo. Tiga nama itu dikenal sebagai penyair hebat dalam bahasa Portugis. Ketiganya menulis sajak dengan gaya yang berbeda-beda, punya pandangan filsafat dan seni yang berbeda-beda (inilah bedanya dengan “nama pena”, yang sekadar nama samaran, tapi gaya menulisnya tidak berbeda). Padahal, sajak-sajak yang ditulis Reis, Ceiro dan de Campo adalah sajak-sajak hasil karya Pessoa. Jika ditanya siapa empat penyair terhebat di Portugal, dengan demikian, orang boleh saja menyebut: Pessoa, Pessoa, Pessoa dan Pessoa.
Saya bayangkan Fernando Santos adalah Pessoa-nya sepakbola yang menciptakan heteronym. Dan tidak bisa tidak, dalam imajinasi saya, Ronaldo adalah sumur yang memungkinkan siasat heteronym itu dapat digelar. Ia memanfaatkan sorotan yang selalu mengarah kepada Ronaldo, yang mengakibatkan munculnya sinisme one man team itu, untuk menciptakan karakter-karakter yang lain, karakter-karakter yang berguna, dan menentukan di saat-saat yang genting dan penting.
Saat semua menyorot Ronaldo, tahu-tahu karakter Nani mencetak tiga gol. Saat karakter Nani mulai diperhatikan, tahu-tahu karakter Quaresma membuat gol penting (vs Kroasia). Saat karakter Moutinho tak maksimal memimpin lini tengah sepanjang babak grup, Santos memperlihatkan kepada dunia karakter Renato Sanches dan mengapa Bayern Munich pantas mengejarnya.
Saat karakter William Carlvalho berhasil mematikan kegemilangan Luka Modric-Ivan Perisic di perdelapan final, Santos justru mencadangkan William dan menurunkan karakter lain bernama Daniel Perreira kala menghadapi Polandia. Dan ia berhasil meredam agresifitas aktor utama lini tengah Polandia, Grzegorz Krychowiak. Saat benteng utama pertahanan, karakter Pepe, harus absen kala menghadapi Wales yang mematikan lewat Gareth Bale, Santos mudah saja tinggal mengeluarkan karakter Bruno Alves — dan kembali berhasil.
Hal yang sama ia lakukan di posisi fullback. Secara berkala, dengan tingkat kepastian yang akhirnya terbukti meyakinkan, ia memunculkan semua karakter fullback yang dibawanya. Orang mungkin hanya akan mengingat karakter Raphael Guerreiro (bek kiri) dan karakter Cedric Soares (bek kanan) yang tampil di final. Padahal Santos juga rutin menurunkan karakter Vierinha (bek kanan) dan Elisseu (bek kiri) dengan hasil yang sama-sama maksimal: pendeknya tepat guna. Itu juga terjadi di lini tengah dan bek tengah.
Mestikah diherankan jika sedikit yang ngeh Santos sudah menurunkan 21 pemain? Semua pemain outfield (non-kiper, kecuali Rui Patricio) sudah pernah mencicipi rumput mewah Euro 2016. Hanya karakter Anthony Lopes dan Eduardo saja yang tak dimunculkan, keduanya kiper. Dan semuanya nyaris tepat guna, efektif, efisien, berfaedah, di saat yang tepat.
Jika ada yang menganggap wajah Fernando Santos, kok, mirip dengan Otto Rehhagel, percayalah Anda tidak sendirian. Menyenangkan memahami kemiripan keduanya dalam kerangka heteronym juga.
Ia bahkan menciptakan heteronym lain, “Cristiano Ronaldo” selain Cristiano Ronaldo. Nama yang berada dalam tanda petik adalah Ronaldo yang telah bertransformasi sebagai (asisten) pelatih. Apakah itu strategi ataukah sesuatu yang tak disengaja?
Untuk memahami itu strategi atau bukan, kita bisa mengukurnya dengan — salah satunya — melalui apa hasil yang diperoleh. Dan untuk mengukurnya, guna menakar seberapa berhasil strategi “literer” Santos memunculkan heteronym “Cristiano Ronaldo”, kita bisa menoleh kepada kesaksian para pemain yang lain.
Pepe memberi kesaksian: “Saat Cristiano berkata ia tak bisa meneruskan pertandingan, saya berusaha mengatakan kepada semua rekan saya bahwa kita harus menang untuknya (Ronaldo), lalu kamu bertarung untuknya.”
Sedangkan Cedric bersaksi: “Di kamar ganti, Cristiano menyampaikan kata-kata fantastis. Ia memberi kami banyak kepercayaan diri dengan mengatakan: `Kalian dengarkan, saya yakin kita akan memenangi Euro, jadi tetap bersama dan berjuang untuk mendapatkannya`. Itu kata-kata luar biasa. Ia fantastis. Sikapnya luar biasa. Di jeda waktu, ia banyak membantu, rekan-rekan kami.”
Lalu apa kata Eder, pencetak gol abadi itu? Beberapa waktu sebelum Eder dimasukkan ke lapangan menggantikan Renato Sanches, Ronaldo membisikkan sesuatu. Kata Eder: “Ia (Ronaldo) bilang bahwa saya akan mencetak gol kemenangan tim. Ia memberi saya kekuatan, energi, dan ini sangat vital."
Semua kesaksian itu, sampai batas tertentu, nyaris menggemakan peran yang lazimnya dimunculkan oleh pelatih. Dengan demikian, bisalah dikatakan, Santos berhasil menerapkan strategi literer memunculkan heteronym bernama “Cristiano Ronaldo”.
Harus diakui, tidak sedikit orang yang sebal dengan gaya Ronaldo yang selalu mencoba ingin mencetak gol dari jarak jauh walau ada rekannya berada dalam posisi lebih baik. Seorang kawan bahkan berandai-andai, sebuah pengandaian yang agaknya mewakili pikiran banyak orang yang sebal: “Kalau jadi rekan Ronaldo, saya akan kesal dengan segala gesture-nya yang sering marah-marah kala tidak diberi umpan enak.”
Banyak yang lupa nyaris tak ada rekan atau mantan rekan Ronaldo yang pernah berkata buruk tentangnya. Bahkan Gareth Bale, yang ia kalahkan di final, dan kerap mendapat sorotan di Real Madrid karena dinilai sering bersitegang gara-gara satu sama lain terlalu egois di hadapan gawang, mengucapkan pernyataan simpatik kala Ronaldo harus keluar lapangan di laga final. Bale juga mengucapkan selamat kepadanya kala Portugal akhirnya menjadi juara.
Jika Bale adalah orang luar Portugal, kesaksian Pepe, Cedric, dan Eder di atas agaknya sudah lebih dari cukup untuk membantah purba sangka kepada Ronaldo dan Portugal.
Pernyataan Pepe, Cedric dan Eder menjadi ilustrasi yang pas betapa orang-orang memang hanya mengukur Portugal — bukan hanya Ronaldo — semata dari apa yang tampak di permukaan, tak benar-benar mengerti apa yang tumbuh di dalam (hati) seluruh pemain, staf dan pelatih Portugal. Orang-orang hanya melihat paras, tak sanggup menukik ke jantung perasaan. Quem vê cara, não vê coração.
Dan untuk itu semua, tidak ada nama yang paling pantas untuk disebut dengan penuh takzim selain Fernando Pessoa.... eh, Santos.
Komentar