Serba-Serbi Cerita Karier Sepakbola Aples Tecuari

Cerita

by Redaksi 34 71143 Pilihan

Redaksi 34

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Serba-Serbi Cerita Karier Sepakbola Aples Tecuari

Saat ini, nama Aples Gideon Tecuari mungkin kurang terlalu familiar. Namun medio pertengahan 1990an hingga awal 2000an, namanya sangat dikenal. Ia mulai moncer saat membela PSSI Primavera di Kualifikasi Olimpiade 1996. Sebagai satu-satunya pemain asal Papua di tim tersebut, Aples terlihat mencolok bukan hanya karena kulitnya yang legam tapi gaya bermainnya yang keras, tanpa kompromi, sekaligus agresif membantu penyerangan. Ia salah satu stopper terbaik Indonesia pada era-era tersebut.

Keputusan pensiun dari sepakbola usai membela Perseman Manokwari di tahun 2005 membuat banyak orang perlahan mulai melupakannya. Beruntung, PanditFootball dapat bertemu dengannya di sela-sela kesibukannya mempersiapkan tim nasional street soccer Indonesia pada Minggu (2/10) di Bandung.

Awal Mula Mengenal Sepakbola

Sekolah Sepak Bola (SSB) menjadi jalan utama bagi orang yang menginginkan berkarier di sepakbola. Namun rupanya tidak dengan Aples. Ia mengakui bahwa karier sebagai pemain sepakbola bukan jalan hidup yang ia rencanakan.

“Saya besar di kawasan tentara di daerah Sentani,” ujar Aples. “Karena hal itu sejak kecil saya berkeinginan jadi tentara. Nah, saat itu salah satu syarat jadi tentara di Papua adalah jago bermain bola. Oleh karena itu saya mulai belajar bermain sepakbola.”

“Tapi untuk bermain sepakbola di Papua tidak mudah. Tidak ada orang menjual bola sepak di tempat saya. Akhirnya kami (Aples dan teman-temannya) bermain sepakbola menggunakan bola tenis yang ukurannya jauh lebih kecil dan begitu cepat digulirkan.”

“Untuk bermain sepakbola menggunakan bola tenis juga tidak mudah. Jarang ada yang menjual bola tenis. Saya sendiri berinisiatif jadi ball boy tenis tentara. Karena selain dapat bayaran, saya juga dapat mengambil bola tenis yang sudah tidak digunakan.”

“Awalnya jadi kiper, tapi ketika saya ikut kejuaraan antar Sekolah Dasar di Jayapura, saya mulai jadi bek. Bahkan saya pernah bermain sebagai penyerang ketika membela Persipura di divisi satu dulu.”

Tentang Pengalamannya Menimba Ilmu di Italia

Awal karier Aples sebagai pesepakbola dimulai pada PON ke-13 tahun 1993 di Jakarta. Saat itu, ia berhasil membawa tim sepakbola Irian Jaya (masih belum bernama Papua), menjadi juara tanpa tersentuh kekalahan. Ia satu angkatan dengan penyerang yang saat itu tampil mengkilap, Izaac Fatary.

Keberhasilan menjadi juara memang tidak akan dilupakan oleh Aples. Namun, ia mengaku bahwa keberangkatannya ke Italia adalah salah satu titik balik dalam kariernya.

“Saya dan tim Primavera tinggal di Tavarone, salah satu kawasan dataran tinggi di Italia,” ucap Aples.

Aples mengakui bermain di sana begitu menyenangkan. Tapi tak bisa disangkal, kondisi iklim yang begitu dingin membuatnya sulit melakukan adaptasi.

“Kondisi di sana dingin banget. Apalagi kalau sudah keluar kamar, bisa gemetar kita,” tambah Aples sambil memeragakan rasanya kedinginan.

“Pernah saya sekali main, lawan Parma. Waktu itu, (Gianluigi) Buffon menjadi lawannya. Kita sudah unggul 1-0 pas pertandingan berjalan delapan menit. Namun gara-gara cuaca dingin banget ditambah turun hujan, kami kalah 1-3 di akhir babak pertama.”

“Ketika masuk ruang ganti kami semangat lagi. Babak kedua baru mulai, kami cetak gol lagi. Namun lagi-lagi hujan turun dan membuat kami kalah 2-6 dari mereka. Saat saya melepaskan tekel dan mengenai air di lapangan saja, kaki ini langsung kram.”

“Saking sulitnya adaptasi di sana, saya sempat berpikir untuk pulang kembali ke Indonesia. Dan hal tersebut saya ceritakan ke teman-teman sekamar, seperti Alexander Pulalo dan Chris Yarangga.”

“Tapi, saya malah dimarahin. Kata mereka, masa saya kalah dari pemain-pemain dari Jawa yang bisa adaptasi, ‘pemain Jawa saja bisa nahan dinginnya di sini, masa kamu tidak’, begitu kata Alex.”

Pengalamannya Berada di Persepakbolaan Indonesia

Sepanjang karier sepakbolanya, Aples tercatat bermain di beberapa kesebelasan. Di antaranya adalah Pelita Jaya, PSPS Pekabaru, Persija Jakarta, dan Perseman Manokwari. Soal pengalaman, Aples pun menjelaskan bagaimana rasanya menjadi pemain sepakbola di Indonesia.

“Pengalaman paling menyenangkan ketika masih muda, ya, saat bermain untuk Persipura di divisi satu dulu. Saya yang masih muda dipercaya bermain untuk tim inti.”

“Sedangkan sepulangnya dari Eropa, PSPS Pekanbaru menjadi pengalaman yang paling berkesan,” ucapnya. “Terutama soal pemain. Siapa yang tidak tahu nama Sugiantoro, Uston Nawawi, Erol FX Iba, dan Carlos de Mello? Kami saat itu begitu tangguh.”

“Namun sayang, saat itu manajer yang mendatangkan kami harus pergi sebelum kompetisi bergulir. PSPS yang dipenuhi pemain bintang pun tampak seperti tim yang kehilangan arah.”

Mengenai pengalaman bermain, kami kemudian bertanya mengenai hal yang lebih privat. Ternyata Aples tak malu-malu mengakui bahwa sepakbola Indonesia memang identik dengan pengaturan skor. Ia pun memiliki pengalaman mendapat tawaran untuk melakukannya.

”Saat itu saya bermain di Pelita di akhir 1990-an. Kemudian ada salah satu staf pelatih lawan mendatangi saya di stadion sebelum pertandingan babak delapan besar dimulai. Tentu saja saya kaget.”

Aples pun meneruskan dengan wajah yang lebih serius. “Ini ada uang buat kamu. Di lapangan, kamu lepas satu gol saja,” ujar Aples menirukan apa yang dikatakan staf pelatih lawan tersebut. “Tentu saja saya jawab tidak karena saya merasa ada perasaan tidak enak di hati saya jika menerima hal tersebut. Dan saya jelas tidak menerima uang tersebut.”

Tidak hanya itu saja, Aples mengakui jika sepakbola Indonesia tidak bisa dijauhkan dari hedonisme, terutama di era 1990-an. “Ya seperti itu pasti ada. Namanya atlet yang biaya hidupnya sudah terjamin pasti bakal berpikir ke arah sana. Tergantung orang-orang masing-masing saja.”

Halaman selanjutnya: dilatih Ivan Kolev, penyerang ditakuti, rumor rabun ayam, kejenuhan, dan best eleven.

Komentar