Oleh: Ariful Azmi Usman
Bila bakatmu tak dihargai di kotamu, maka merantaulah. Celotehan anonim yang sering digunakan pesepakbola ini memang benar adanya pada kenyataan. Nama Nazarul Fahmi tidak sekemilau Ilham Udin Armayn, Miftahul Hamdi, atau bahkan Zulfiandi. Sangat sedikit yang melirik pemain yang bisa dibilang luput dari hegemoni pemberitaan media-media arus utama.
Termasuk di Aceh, nama Nazarul Fahmi sedikit asing dari pada nama tenar seperti Fahrizal Dillah yang lebih senior dalam karier sepakbolanya, atau Muklis Nakata yang mengabdikan dirinya untuk Persiraja. Memang benar, Fahmi lahir 20 tahun silam. Pada 2011 namanya sempat menghebohkan karena dari kampung halamannya ia terbang ke London, Arsenal untuk berlatih dengan klub yang diarsiteki Arsene Wenger itu. Setelahnya, nama Nazarul Fahmi kembali redup.
Saya menunggu momen yang tepat untuk menulis tentang seorang anak yang sering merepotkan barisan bek kiri lawan saat ia bertanding. Tentu jauh bila dibandingkan dengan Theo Walcott, sayap kanan barisan penyerang Arsenal yang kecepatannya di atas rata-rata dalam menyisir lapangan, hingga pemain game PES 2013 pun lebih sering memainkannya sebagai penyerang tengah untuk mengandalkan solo run yang dimiliki Walcott. Namun, setidaknya, dalam hal kecepatan dan insting gol, Fahmi tidak jauh beda dengan karakter Walcott. Fahmi masih sangat muda, dan dia akan terus berkembang.
Bertemu dengan pemain Barito Putera ini saya belum pernah, namun untuk menilai bagaimana seorang Nazarul Fahmi, saya teringat pada kata-kata pelatih yang pernah mengasuhnya di tim PON Kalimantan Selatan 2016 dan Barito Putera di Torabika Soccer Championship (TSC) A, Mundari Karya.
"Fahmi adalah pemain cerdas, meskipun badannya kecil, namun secara individual, kemampuan taktikalnya sangat bagus. Dia juga handal dalam mencari posisi saat bermain. Dia sekarang menjadi andalan di tim kami," Mundari Karya mengatakan itu sekitar lima bulan yang lalu jelang pertandingan Kalimantan Selatan (Kalsel) mengalahkan Sumatera Selatan (Sumsel), Fahmi ikut menyumbang gol kala itu.
Fakta menarik tentang Nazarul Fahmi adalah tekadnya yang benar-benar ingin menjadi pemain bola profesional. Barangkali Fahmi tahu, sepakbola Aceh tidak akan lolos PON Jawa Barat 2016. Hingga dirinya lebih memilih memperkuat Kalimantan Selatan, atau Fahmi sudah berpikir untuk membalas jasa klub Barito Putera yang sudah membeasiswakan kuliahnya di sana.
Pastinya Fahmi sudah berpikir matang untuk masa depannya. Toh kemana pun pergi, nama daerah tetap tidak akan pernah hilang. Banyak cara membela kampung halaman, Aceh, dan menjadi kebanggaan Tanah Rencong. Tidak kurang empat gol, Fahmi torehkan di PON Jawa Barat setahun silam. Bahkan Fahmi sering menjadi penentu kemenangan timnya.
Tahun 2016 sudah berlalu, kini usia Fahmi sudah menginjak 20 tahun. Usia yang masih sangat hijau. Ia sudah bermain untuk skuat senior Barito Putera. Jacksen F. Tiago dalam Piala Presiden 2017 memberinya kepercayaan bertualang di sayap kanan penyerangan timnya. Kepercayaan inilah yang dijawab pemain lincah ini pada fase grup ajang Piala Presiden saat menghadapi Bali United. Fahmi mencetak gol pembuka menit ke-33 dalam laga yang dihelat di Stadion Kapten I Wayan Dipta.
Fahmi menceritakan pengalaman saat mencetak gol perdananya bagi tim senior. Saat itu, hingga menit ke 30 belum ada gol yang tercipta, skor masih 0-0. Fahmi mengaku golnya di tim senior Barito Putera itu adalah reflek, sebelumnya, ia sempat melihat posisi kiper di tiang pertama dari arah datangnya bola.
"Saya melihat Agi Pratama, membawa bola begitu cepat, kemudian ia mengumpan dan disambut Rizky Pora. Sewaktu bola di Rizky Pora, firasat saya bola akan mengarah ke saya, ternyata itu benar, dan hanya dalam hitungan detik bola sudah di gawang. Saya sangat senang setelah gol itu. Sempat kaget dan saya tidak menyangka. Saya berlari ke bench, karena ingin merayakan bersama official dan seluruh pemain. Pelatih fisik berdiri paling depan, saya langsung memeluknya, tanda kebahagiaan," ujar Fahmi.
Kebahagiaan Fahmi di Bali sampai hingga ke Bireun. Keluarga besar Fahmi menontonnya lewat layar kaca. "Kemaren ibu (Hadisah) nangis waktu nonton saya bikin gol. Dan ibu saat itu nonton bersama keluarga serta tetangga. Saya diceritakan oleh abang saya," cerita Fahmi.
Kisah calon pemain masa depan Indonesia yang pernah menimba ilmu di Arsenal ini sudah dimulai sejak ia duduk di Sekolah Dasar (SD). Dalam sebuah wawancara, ibunya, Hanisah ingat benar, setiap pulang dari bermain bola, Fahmi selalu bercerita padanya jika berhasil mencetak gol.
Saat Hanisah melepas Fahmi ke Inggris pada 2011 silam, sebenarnya bukan perkara gampang. Fahmi memang sangat dekat dengan ibunya. Namun, ia berusaha ikhlas. “Saya menangis bukan karena tidak ikhlas. Selama ini sewaktu Ami (Fahmi) berada di Inggris saya berdoa kepada Allah agar diberikan yang terbaik kepada anak saya. Kalau memang dia dipilih di sana dan itu yang terbaik untuk dia, maka kabulkanlah Ya Allah, dan jika itu bukan yang terbaik untuk dia maka kembalikan dia ke Indonesia,” kata Hadisah dalam wawancara lima tahun silam.
Menjadi Fahmi, berarti menjadi seorang yang optimis. Cita-cita Fahmi keluar negeri terinspirasi dari kisah Martunis, bocah korban tsunami yang mengidolakan Cristiano Ronaldo, pemain asal Portugal yang kini merumput di Real Madrid. Nama Martunis pun melambung ke seantero Eropa. Berlabuhnya Fahmi ke klub Kalimantan kini, setelah ia lama bertualang merantau dari Bireun.
Sepulang dari Academy Arsenal 2011, karier Nazarul Fahmi sebenarnya tidak sementerang saat ini. Fahmi di tahun 2012 juga sempat bermain untuk Bireun United, Persip Pasee (Aceh), Villa 2000, Persita Tangerang, hingga akhirnya 2015 berlabuh ke Barito Putera.
Selain sebagai pemain bola, Barito juga menyekolahkan Fahmi di salah satu perguruan tinggi di sana. Tenggelamnya nama Fahmi beberapa tahun silam itu, seiring masa kelamnya sepakbola Indonesia. Selain alasan pembekuan dan dualisme kompetisi di Indonesia kala itu, Aceh juga tidak punya klub yang bermain di level terbaik Liga Indonesia.
Tentang Nazarul Fahmi adalah tentang merantau, hijrah, demi menjadi sebuah kebanggaan.
Penulis adalah jurnalis dan pemerhati sepakbola di Banda Aceh, dapat dihubungi di akun Twitter @ariful76. Foto merupakan hasil jepretan penulis sendiri
Tulisan ini merupakan bagian dari Pesta Bola Indonesia, menyemarakkan sepakbola Indonesia lewat karya tulis. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar