Parkir Bus adalah Nonsense

Editorial

by Dex Glenniza 85563

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Parkir Bus adalah Nonsense

Kalau boleh jujur, saya sangat terganggu dengan istilah “parkir bus” di sepakbola. Istilah ini tidak pernah benar-benar merujuk kepada sebuah bus yang diparkir. Apalagi bus tersebut diparkir di depan gawang di tengah pertandingan. Istilah macam apa itu?

Apakah ada yang ingat apa, kapan, oleh siapa, kenapa, dan bagaimana istilah ini menjadi terkenal?

José Mourinho adalah seorang manajer sepakbola yang sukses dan revolusioner. Istilah “parkir bus” ini sebenarnya sangat identik dengan Mourinho. Kamu pasti ingat pertandingan semi-final leg kedua di Liga Champions UEFA 2009/2010 antara tuan rumah Barcelona melawan Internazionale Milan.

Saat itu, Inter yang diasuh oleh Mourinho, sudah memiliki modal kemenangan 3-1 di leg pertama sehingga memutuskan untuk bertahan total di leg kedua. Meskipun mereka kalah 1-0, tapi secara agregat Inter unggul atas Barcelona. Setelah wasit meniup peluit akhir di pertandingan tersebut, Mourinho melakukan victory lap yang terkenal (gambar paling atas). Pada tahun itu juga Inter berhasil menjuarai Liga Champions sekaligus treble.

Namun sayang sekali, bukan itu inti dan asal-muasal “parkir bus”. Ironisnya, Mourinho memang yang pertama membuat istilah “parkir bus” terkenal, tapi saat itu ia mencap “parkir bus” tersebut bukan kepada kesebelasannya, melainkan kepada lawannya.

Pada September 2004 di Stamford Bridge, Chelsea yang dipimpin oleh Mourinho, bermain imbang 0-0 dengan Tottenham Hotspur. Setelah pertandingan berakhir, Mourinho berkata: “Seperti yang kami katakan di Portugal, mereka (Spurs) membawa bus dan meninggalkan bus tersebut di depan gawang [mereka].”

Ini adalah sebuah analogi, bahwa bus tersebut adalah para pemain Spurs yang “diparkir” di depan gawang Spurs sendiri sehingga Chelsea tidak bisa mencetak gol karena bola yang mengarah ke gawang akan selalu terbentur oleh “bus” tersebut.

“Aku akan sangat frustrasi jika aku adalah suporter yang membayar 50 paun (sekitar 860 ribu rupiah dengan konversi saat ini) untuk menonton pertandingan karena Spurs datang hanya untuk bertahan. Aku sangat frustrasi karena hanya ada satu tim yang mengincar kemenangan, mereka hanya datang untuk tidak kebobolan. Itu tidak adil untuk sepakbola yang kami mainkan,” kata manajer asal Portugal tersebut.

Ya, ini ironis. Mourinho yang sekarang sudah lekat dengan cap “parkir bus” adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut kepada kita semua.

Bertahan bisa menghasilkan poin di sepakbola

Setelah pertandingan Chelsea dan Spurs yang berakhir 0-0 itu pada 2004, istilah “parkir bus” mulai sering digunakan secara berlebihan untuk setiap kesebelasan yang bertahan.

Masalahnya, pertahanan di sepakbola itu tidak seperti pertahanan di olahraga lainnya, misalnya bola basket, rugbi, bulu tangkis, atau bola voli. Di sepakbola, sebuah kesebelasan bisa mendapatkan hasil positif dari bertahan, apalagi jika mereka bisa mengombinasikannya dengan serangan balik.

Namun bayangkan jika ada tim basket yang hanya bertahan, tidak pernah menyerang. Mereka tidak akan pernah memenangkan sesuatu yang positif.

Masalahnya lagi, saat ini sepakbola sudah mengenal banyak istilah lainnya mulai dari “tiki taka”, “Gegenpressing”, “Wengerball”, dan lain sebagainya. Kapanpun, dimanapun, siapapun kesebelasan yang bertahan dari serangan-serangan sepakbola di atas, dan mereka sadar jika cara mengalahkan (misalnya) tiki taka adalah dengan bertahan rapat dan counter-attack, maka siap-siap saja mereka dicap “parkir bus”.

Bayangkan. Bagaimana saya tidak terganggu jika kejadian di atas terjadi berkali-kali?

Bayangkan, jika kamu seekor kelinci (analogi untuk kesebelasan minor) dan sedang diincar oleh seekor elang (analogi untuk kesebelasan dominan). Maka “kemenangan” versi kamu hanyalah berhasil kabur dari elang tersebut, bukan justru membunuh atau memakan elang tersebut.

Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman, mengatakan bahwa "That which does not kill us makes us stronger" (Yang tidak membunuh kita akan membuat kita semakin kuat). Jika serangan lawan tidak berhasil membobol gawangmu (membunuhmu), maka kamu menunjukkan kekuatanmu.

Sadarlah, tidak semua kesebelasan itu mampu bermain dominan. Mereka mungkin mau, mereka mungkin butuh, tapi mereka tidak bisa.

Bertahan adalah versi lain “keindahan” di sepakbola

Nah, hal berbeda akan terjadi jika elang tersebut (analogi untuk kesebelasan dominan) mengincar seekor harimau (kesebelasan dominan juga). Harimau tersebut sebenarnya memiliki potensi untuk membunuh atau memakan elang tersebut, tetapi kadang si harimau memang hanya tidak mau melakukannya, ia cenderung ingin bertahan atau kabur dan menghindar.

Kembali saya mengingatkan di awal sub judul sebelumnya, sebuah kesebelasan bisa mendapatkan hasil positif dari bertahan di sepakbola, setidaknya satu poin (dari hasil imbang); apalagi jika mereka bisa mengombinasikannya dengan serangan balik.

Kemudian ada banyak faktor lainnya. Misalnya faktor cedera yang tidak memungkinkan sebuah kesebelasan mengambil risiko yang lebih besar yang membuat kemampuan mereka terbatas (misalnya sang pengatur serangan sedang absen) atau tidak ingin membuat pemain lain cedera juga.

Faktor klasemen di sebuah liga juga berpengaruh, karena poin nol (kalah) dan satu (imbang) itu kesannya tipis, tapi pada skala yang lebih besar, jika mereka meraih nol poin, maka lawan mereka akan mendapatkan tiga poin (menang). Perbedaan poin ini akan sangat berpengaruh di klasemen akhir musim nanti.

Pada intinya, semua memang pilihan. Jika ada sebuah kesebelasan besar memilih untuk bertahan, itu adalah pilihan mereka. Dalam perspektif yang lebih luas, kita mengenal pragmatisme. Kesebelasan yang pragmatis akan melakukan segala cara untuk mendapatkan hasil positif (tidak harus menang, tapi bisa jadi tidak kalah), dan bermain bertahan adalah salah satu cara tersebut.

Jika kamu menganggap keindahan sepakbola hanya hadir lewat sepakbola possession dan/atau menyerang, maka sempit sekali definisi keindahan versi kamu.

Bertahan tidak sama dengan “anti-sepakbola”

Di sepakbola, kamu bisa menyerang dan bertahan. Saya akui, banyak orang yang menyukai sepakbola menyerang. Tapi juga, tidak ada seorangpun yang boleh meremehkan apalagi membenci pertahanan.

Last-man tackle yang berhasil dari pemain seperti Nemanja Vidić, sapuan di garis gawang dari Fabio Cannavaro, atau penyelamatan fingertip dari Iker Casillas, apalagi itu semua dilakukan di menit akhir dan berhasil membawa kesebelasan mereka memenangkan pertandingan atau memenangkan kejuaraan; apakah kamu akan bilang itu “parkir bus”?

Lalu kenapa sekarang jika ada kesebelasan yang datang ke pertandingan dengan niat untuk bertahan, lantas kita bilang itu adalah “anti-sepakbola”? Bahkan di Laws of the Game saja tidak ada larangan untuk memainkan sepakbola bertahan.

Yunani berhasil menjuarai Piala Eropa 2004 dengan taktik semacam ini (saat itu istilah “parkir bus” belum populer). Sejarah mencatat itu. Sedangkan yang mencatat mereka bermain “anti-sepakbola” hanyalah remeh-remeh di media sosial yang kita baca sekarang, termasuk yang kamu baca saat ini di Pandit Football.

Nietzsche juga berkata: "You have your way. I have my way. As for the right way, the correct way, and the only way, it does not exist" (Kamu memiliki caramu sendiri. Aku memiliki caraku. Adapun cara yang baik, cara yang benar, dan cara satu-satunya, itu tidak ada).

Jadi, ada banyak cara untuk bermain sepakbola. Saya tahu jika gol itu adalah tujuan paling utama dari sepakbola. Tapi lantas bukan berarti bertahan itu adalah anti-sepakbola.

Istilah “parkir bus” sudah digunakan secara berlebihan

Kesimpulannya, berhentilah mengobral istilah “parkir bus” dengan mudah. Itu bukanlah sebuah bus. Itu adalah garis pertahanan. Itu adalah barisan pemain, yang dengan kesadaran mereka sendiri, melakukan aksi-aksi bertahan. Itu adalah pertahanan.

Hanya karena itu dilakukan untuk menghentikan dominasi kesebelasan lawan (yang seringnya lebih kuat daripada mereka), bukan berarti itu adalah hal yang tabu, hal yang buruk, hal yang bisa disejajarkan dengan pembunuhan dan korupsi, misalnya.

Lagipula banyak faktor yang memengaruhi sepakbola sekarang ini, seperti cedera, kebugaran pemain, jadwal pertandingan yang padat, suhu, cuaca, altitud, tekanan penonton, dan banyak hal lainnya, sehingga kita tidak bisa begitu saja menghakimi sebuah kesebelasan yang bermain defensif.

Saya ulangi, tidak pernah ada “bus” yang diparkir di dalam pertandingan sepakbola sungguhan (sejauh yang saya tahu, sih). “Parkir bus” adalah nonsense terbesar dalam sepakbola!

Komentar