Oleh: Abiet Saputra
Mungkin saya termasuk sebagian kecil orang yang tidak terlalu larut dalam euforia kemenangan Indonesia melawan Guyana di akhir November lalu. Rasanya, ada perasaan yang janggal ketika melihat seorang bule bertinggi badan 186 cm mencium lambang Garuda di dada, usai menciptakan sepasang gol untuk Indonesia malam itu.
Dwigol Ilija Spasojevic pada malam itu bukan saja menjadi penentu kemenangan Indonesia atas Guyana, tetapi juga menjadi tanda bahwa “program naturalisasi” di dalam negeri belum akan berhenti.
Sudah bukan rahasia lagi jika PSSI kini mempunyai hobi baru bernama naturalisasi pemain. Spaso adalah nama terakhir yang proses naturalisasinya telah dirampungkan oleh PSSI. Sebelumnya, ada beragam nama seperti Stefano Lilipaly, Raphael Maitimo, Cristian Gonzales, Bio Paulin, hingga Greg Nwokolo yang telah mencicipi seragam timnas Indonesia. Ada pula nama-nama lain seperti Jhonny van Beukering atau Tonnie Cusell yang tak tahu di mana rimbanya pasca dinaturalisasi oleh PSSI.
Indonesia kini sudah memiliki timnas dengan komposisi para pemain naturalisasi jika Luis Milla memutuskan untuk memanggil semuanya untuk membela timnas Indonesia. Kecuali pada posisi penjaga gawang, Indonesia telah menaturalisasi 6 penyerang, 4 gelandang, 2 bek tengah, dan 2 bek sayap; serta kemungkinan akan bertambah lagi jika kita memasukkan nama seperti Kevin Scheunemann, Gaston Salasiwa, dan bahkan hingga Sandy Walsh.
Jelas banyak nama yang telah lahir melalui program “malas” PSSI ini. Jika kebiasaan ini berlanjut, banyak nama lain pula yang akan dilahirkan. Program yang pada mulanya dibuat dengan dalih untuk transformasi dan motivasi, justru sekarang terlihat menjadi hobi yang coba diseriusi.
Fakta ini lah yang kemudian sedikit menahan saya merayakan euforia bersama para pecinta sepakbola Indonesia lainnya saat Spaso berhasil mencetak gol bagi Indonesia. Rasanya ada kegembiraan yang berbeda saat melihat Spaso mencetak angka, dibandingkan melihat Bambang Pamungkas atau Boaz Solossa yang melakukannya.
Lalu, muncul pertanyaan dalam benak saya terkait program “malas” PSSI ini. Sampai kapan negeri ini akan terus melakukan naturalisasi?
Pelajaran naturalisasi dari Singapura
Menurut saya, hobi baru ini memiliki dampak yang kurang baik bagi sepakbola dalam negeri. Program ini hanya akan membuat Indonesia semakin ketergantungan terhadap pemain naturalisasi dan cenderung tidak percaya dengan potensi pemain dalam negeri.
Hal ini sudah dibuktikan oleh negara tetangga, Singapura. Ketika memutuskan untuk menggunakan jasa para pemain naturalisasi pada piala AFF 2004 dan 2012, Singapura berhasil menjadi juara di perhelatan sepakbola dua tahunan tersebut. Kita tentu ingat nama-nama seperti Itimi Dickson, Agu Casmir, Daniel Bennett (2004) serta Shi Jiayi, Qiu Li, dan Aleksander Duric (2012).
Namun, kehebatan Singapura seolah musnah saat mereka memutuskan untuk tidak menggunakan jasa pemain naturalisasi pada dua gelaran AFF terakhir. Tanpa pemain naturalisasi, Singapura tidak mampu lolos fase grup pada Piala AFF 2014 (ketika menjadi tuan rumah) dan 2016.
Kita harusnya bisa berkaca dari kasus Singapura, bahwa program naturalisasi bukanlah sebuah pilihan tepat untuk memajukan sepakbola dalam negeri. Alih-alih menjadi sarana belajar bagi pesepakbola dalam negeri, program ini justru membuat mereka tak percaya diri dan cenderung bergantung pada para pemain naturalisasi.
Naturalisasi menghambat regenerasi talenta lokal
Program naturalisasi juga memiliki dampak mematikan potensi dan memutus regenerasi pemain lokal. Dampak ini sangat terasa jika kita menengok kepada nama-nama yang mengisi posisi striker timnas Indonesia dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
Cristian Gonzales, Greg Nwokolo, Sergio van Dijk, hingga Spasojevic adalah sederet nama asing yang mengisi pos ujung tombak timnas Indonesia. Praktis hanya nama Boaz yang menjadi pemain asli Indonesia di pos penyerangan dalam periode tiga tahun terakhir.
Daftar pemain naturalisasi Indonesia. Grafis oleh: Mayda Ersa Pratama
Nama-nama asing tersebut seolah menutup kesempatan bagi penyerang lokal seperti Yongki Ariwibowo, Jajang Mulyana, Samsul Arif, Titus Bonai, dan Patrick Wanggai untuk membela timnas Indonesia pada usia keemasan mereka. Situasi seperti ini bukan tak mungkin kembali dirasakan oleh angkatan penyerang muda Indonesia seperti Septian David Maulana, Bayu Gatra, Marinus Wanenar, atau Saddil Ramdani.
Jika PSSI terus meneruskan hobinya dalam menaturalisasi pemain asing, maka bukan hal yang mustahil jika para talenta lokal Indonesia akan kehilangan tempatnya di era keemasannya nanti.
Bagaimana cara menghentikan ketergantungan terhadap naturalisasi?
Melihat dampak negatif dari program naturalisasi tersebut, sudah seharusnya bagi PSSI untuk melakukan evaluasi terhadap program instan ini. Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, mengatakan, "Kalau dua tahun ke depan masih pakai naturalisasi, silahkan Anda tegur saya seperti ini. Tapi untuk sekarang, target saya SEA Games 2017 Indonesia juara!".
Itu artinya PSSI hanya memiliki waktu dua tahun untuk kembali menghadirkan timnas Indonesia yang diisi oleh para pemain asli Indonesia. Bukan tugas yang sulit sebenarnya jika melihat beberapa pemain muda yang dimiliki Indonesia.
Angkatan Evan Dimas dkk jelas menjadi garda terdepan yang akan menghiasi wajah baru skuat Garuda di dua tahun mendatang. Beberapa pemain di angkatan Egy Maulana juga dirasa sudah bisa diberi kepercayaan dan pengalaman untuk membela timnas Indonesia. Indonesia jelas punya potensi untuk berhenti meneruskan program naturalisasi.
Namun, potensi yang ada jelas akan kembali terbuang sia-sia jika tidak dibarengi dengan program yang tepat dari PSSI. Setidaknya ada dua hal yang cukup penting yang dapat dilakukan oleh PSSI jika ingin menghentikan program naturalisasi.
Mengatur talenta
Hal pertama ini mungkin terlihat sangat sederhana dan mudah dilakukan, tapi hal ini yang selalu missed dilakukan oleh PSSI dalam beberapa tahun terakhir. Timnas U19 SAD angkatan Syamsir Alam, atau Timnas U23 angkatan Egy Melgiansyah adalah contoh angkatan yang nampaknya missed dalam pantauan PSSI.
Jika program managing and controlling potensi ini sudah dilakukan dengan benar, Spasojevic mungkin saja tidak akan dinaturalisasi karena sudah ada beberapa nama beken seperti Ferdinan Sinaga, Syamsir, Patrick Wanggai, Titus Bonai, atau Yandi Sofyan yang siap mengisi pos lini depan timnas Indonesia.
Bayangkan, ada beberapa nama yang kehilangan kesempatannya membela timnas, jika PSSI meneruskan program naturalisasi ini. Jika PSSI dapat melakukan controlling dan managing talenta Indonesia dengan benar, maka Indonesia tidak membutuhkan lagi program naturalisasi.
Bukankah kita rindu melihat penampilan talenta Indonesia (seperti trio Ilham Jaya Kesuma, Boaz Solossa, dan Elie Aiboy) yang tetap bisa membanggakan bangsa?
Fokus ke pembinaan usia dini
Hal kedua ini merupakan masalah klasik yang ada di Indonesia. Masalah ini yang kemudian membuat talenta muda Indonesia tidak dapat mencapai potensi terbaiknya. Untuk yang satu ini, mungkin Indonesia butuh belajar dari Tiongkok.
Keseriusan presiden Xi Jin Ping dalam membangun persepakbolaan Tiongkok terlihat dari cara mereka membentuk sekolah sepakbola terbesar di dunia, dan pengelolaan liga lokal yang berjenjang dan profesional.
Dengan program dan fasilitas yang sudah mumpuni seperti ini saja, Presiden Xi Jinping hanya berani berkata bahwa Tiongkok akan menguasai sepakbola global pada 15 tahun yang akan datang. Artinya, memang butuh waktu dan usaha yang cukup lama jika ingin membentuk sebuah timnas dengan regenerasi yang mumpuni.
Pembentukan liga dengan usia yang berjenjang, peraturan yang mewajibkan klub untuk memainkan pemain muda pada setiap pertandingan, hingga pengurangan kuota pemain asing, dirasa perlu dilakukan agar potensi pemain lokal dapat terus dijaga.
Jika kita sudah mampu menciptakan pemain-pemain lokal yang hebat, maka sudah pasti kita tak membutuhkan lagi para pemain naturalisasi untuk membela timnas Indonesia di masa yang akan datang.
Naturalisasi sebagai dalih untuk mengesampingkan pembinaan usia dini
Pada akhirnya, program naturalisasi adalah sebuah ironi bagi persepakbolaan negeri ini. Mengapa? Karena kita adalah negara yang gila sepakbola, dengan total penduduk 260 juta jiwa. Memang tidak ada hubungannya jumlah penduduk dengan prestasi sepakbola, tapi dengan fakta tersebut sulit rasanya menjustifikasi program naturalisasi PSSI sebagai kebijakan yang tepat.
Kita bukanlah Singapura yang hanya memiliki penduduk 6 juta jiwa, atau negara kecil seperti Timor-Leste yang baru mencoba membangun sepakbolanya. Naturalisasi hanyalah dalih PSSI untuk mengesampingkan pentingnya pembinaan usia dini, dan kegagalan PSSI dalam menjaga para pemain muda yang punya potensi.
Lantas, sampai kapan negeri ini akan terus melakukan naturalisasi? Belum ada jawaban pasti soal ini. Apalagi sekarang pemain naturalisasi semakin menghiasi skuat utama klub-klub negeri ini, mengikis kesempatan bermain bakat-bakat dalam negeri.
Namun, kita bisa menagih janji dan menegur Ketua Umum PSSI jika dua tahun lagi masih berseliweran nama-nama asing di skuat timnas Indonesia.
Bagaimana jika naturalisasi masih tak berhanti? Ya tak jadi masalah juga, toh sejak awal kita semua tahu bahwa di Indonesia, ada dua orang yang jarang tepati janji. Kalau bukan politisi, ya Ketum PSSI. Apalagi Ketum PSSI yang jadi politisi.
***
“Memang tidak semua pertempuran bisa kami menangkan. Akan tetapi setidaknya, kami adalah anak-anak bangsa yang berjuang dengan tulus ikhlas dan sepenuh hati untuk mengharumkan nama tanah tumpah darah yang kami cintai.” - Bambang Pamungkas.
Penulis adalah seorang Romanisti yang tidak romantis. Biasa berkicau di akun Twitter @abietsaputra. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar