Ketika Juventus mendatangkan Cristiano Ronaldo pada 2018 lalu, banyak yang memprediksi kalau Juventus bisa meraih juara Liga Champions. Nyatanya Juventus gagal. Bahkan Si Nyonya Tua tersingkir pada babak perempat final. Disingkirkan tim underdog pula.
Maka kedatangan Matthijs de Ligt pun seharusnya tidak dimaknai serupa. Betul kalau faktor pemain sangatlah penting untuk bisa meraih gelar juara, apalagi ini sekelas Liga Champions. Namun mengumpulkan pemain bintang bukan jadi jaminan tim tersebut akan jadi tim terkuat. Tengok apa yang telah dilakukan Paris Saint-Germain (PSG) dalam beberapa tahun terakhir, mereka tetap masih sebatas jagoan liga domestik.
Meski begitu Juventus tetap akan jadi kandidat kuat juara Liga Champions 2019/20. "Angin surga" itu hadir karena Juventus mengganti Massimilliano Allegri oleh Maurizio Sarri.
***
De Ligt tidak begitu saja punya kemampuan seperti sekarang. Ada peran besar pelatih Ajax, Erik ten Hag, dalam perkembangan pesatnya perihal melakukan aksi defensif, membangun serangan, hingga mengomandoi rekan-rekannya meski ia masih berusia 19 tahun.
Perlu diketahui, Ajax di musim kelima dan keenam asuhan Frank de Boer mulai tampil tak mengesankan. Selain itu dalam kepelatihan De Boer, pemain akademi Ajax yang dipromosikan ke tim senior tak banyak yang mencuri perhatian klub top Eropa.
Pemain-pemain akademi yang dipromosikan De Boer adalah Davy Klassen, Jairo Riedewald, Viktor Fischer, Ricardo Kishna, Riechedly Bazoer, Kenny Tete, Mitchell Dijks, Stefano Denswil, Joel Veltman, Anwar El Ghazi dan Donny van de Beek. Selain mereka, masih ada 13 nama lain, namun tak bersinar seperti nama-nama di atas.
Di antara nama-nama itu, hanya Van de Beek yang kini jadi incaran klub top Eropa. Sedangkan Veltman jadi kapten klub. Sisanya memang bermain di klub top Eropa, namun mayoritas bermain di kesebelasan-kesebelasan menengah.
Dari pembelian pemain era De Boer pun tercatat "hanya" Jesper Cillessen, Lasse Schone, Andre Onana, dan Arkadiusz Milik yang jadi pembelian investasi.
Sekarang bandingkan dengan era Erik ten Hag. Di pembelian investasi ada Frenkie de Jong, Davinson Sanchez, Hakim Ziyech, David Neres, Maximillian Wober, Nicolas Tagliafico, Siem de Jong, Lisandro Magallan, Hassane Bande, Zakaria Labyad, Dusan Tadic, dan Daley Blind. Untuk pemain akademi, selain De Ligt, Ten Hag sendiri berhasil memoles bakat Justin Kluivert, Kasper Dolberg, Abdelhak Nouri, Noussair Mazraoui, Onana dan Van de Beek. Semua itu dilakukan dalam tiga musim, sementara De Boer enam musim di Ajax.
Maka dari itu pemain generasi seangkatan De Ligt bisa gagal maksimal jika tidak dilatih oleh pelatih yang tepat. Jika Juve masih dilatih Massimilliano Allegri, rasanya kemampuan De Ligt tidak akan terlalu mencolok atau jadi "kunci" untuk meraih trofi Liga Champions yang "tersegel". Berbanding terbalik jika De Ligt dilatih oleh Maurizio Sarri.
Sarri punya filosofi permainan menyerang. Gaya sepakbolanya tak berbeda jauh dengan Ajax yang mengandalkan sirkulasi operan pendek cepat, pressing dengan menaikkan garis pertahanan terakhir, kemampuan individu dalam melewati pemain lawan, dan para pemain sayap yang eksplosif.
Hal itu tercermin pada gaya permainan Napoli dan Chelsea, dua kesebelasan yang sebelumnya dilatih oleh Sarri. Bukan isapan jempol belaka. Begitu pula ketika Pep Guardiola memuji betul Sarriball sejak Sarri masih melatih di Napoli.
Sarri mungkin tidak punya pengalaman bagus di Liga Champions. Napoli asuhannya pun tak berbicara banyak saat dilatih olehnya.
Namun pengalamannya melatih Chelsea dalam satu musim sepertinya akan membuat Sarri menjadi lebih istimewa. Toh, terbukti, meski Chelsea gagal jadi kandidat kuat juara Liga Primer Inggris, The Blues tetap menunjukkan statisik yang gemilang yang menjadi indikasi kekuatan Sarriball.
Menurut catatan Whoscored, Chelsea jadi kesebelasan dengan jumlah tembakan terbanyak kedua (607 tembakan) setelah Manchester City (683). Chelsea juga jadi kesebelasan dengan rerata penguasaan bola tertinggi kedua (59,9%) setelah Man City (64%). Pun dengan akurasi operan, Chelsea menempati urutan kedua (87,6%) karena hanya kalah dari Man City (89%).
Meski begitu, Chelsea hanya mampu mencetak 63 gol, yang merupakan jumlah paling sedikit di antara enam teratas. Tapi saat itu Sarri memang tak punya penyerang yang ia inginkan, Gonzalo Higuain baru masuk putaran kedua dengan kemampuan yang sudah berbeda dibanding ketika bekerja sama di Napoli.
Tapi yang paling utama adalah perbedaan mencolok dari mentalitas sepakbola menyerang Sarri dibanding Allegri. Jika Allegri bisa memainkan taktik bertahan untuk mengamankan keunggulan, Sarri tipikal pelatih yang pantang mundur meski sudah unggul.
Bukan berarti permainan bertahan ketika unggul adalah sesuatu yang negatif. Tapi melihat komposisi skuat Juventus saat ini, mereka memang membutuhkan pelatih yang mampu memaksimalkan kekuatan menyerang mereka. Karena dengan gaya sepakbola yang diusung Allegri, pemain-pemain ofensif seperti Paulo Dybala, Juan Cuadrado, Douglas Costa, hingga Alex Sandro kurang termaksimalkan.
Sementara itu Sarri selalu mengandalkan pemain-pemain cepat dan individual. Di Napoli ia punya Faouzi Ghoulam, Lorenzo Insigne, Dries Mertens, hingga Jose Callejon, sementara di Chelsea ada Ruben Loftus-Cheek, Emerson Palmieri dan Eden Hazard yang mendapatkan keuntungan dari sepakbola Sarri. Perlu diketahui, Chelsea musim lalu mencatatkan 703 kali dribel, tertinggi kedua setelah Manchester City (732).
Di Juventus, Sarri tampaknya memang bisa meningkatkan level sejumlah pemain. Selain Dybala, Cuadrado, Costa dan Alex Sandro, pemain seperti Ronaldo, Miralem Pjanic, Rodrigo Bentancur, Blaise Matuidi, hingga Aaron Ramsey pun bisa memainkan permainan terbaiknya.
Ronaldo dan Dybala bisa seperti Mertens yang jadi mesin gol Napoli. Pjanic dan Bentancur membuat Sarri tak perlu membawa pemain kesayangannya, Jorginho, ke Juventus, untuk dijadikan deep-lying playmaker. Matuidi atau Emre Can bisa dimaksimalkan untuk menjadi Allan Marques atau N`Golo Kante. Sedangkan Aaron Ramsey atau Dybala bisa dimainkan sebagai gelandang produktif ala Marek Hamsik atau Loftus-Cheek.
Dalam pola 4-3-3 ala Maurizio Sarri, pergerakan antar pemain di lini depan memang sangat dinamis. Maka dari itu kans untuk Ronaldo, Dybala, hingga Moise Kean yang mahir menemukan posisi dan ruang kosong untuk mencetak banyak gol sangat besar bersama Sarri. Kante saja bisa mencetak lima gol bersama Sarri (gol terbanyak dalam satu musim).
Perlu diingat, Dybala kesulitan beradaptasi dengan permainan Ronaldo karena sistem permainan Allegri kesulitan menggabungkan keduanya. Allegri bahkan sempat mencadangkan Dybala di awal-awal musim. Tak heran jumlah golnya menurun drastis dari 26 gol pada musim 2017/18 menjadi 10 gol pada musim 2018/19.
***
Sistem permainan Sarri sepertinya memang menjadi alasan manajemen Juventus berani mendepak Allegri untuk memberi tempat pada eks pelatih Empoli itu. Apalagi setelah menjuarai Liga Europa dan menempati peringkat tiga Liga Primer Inggris yang dikenal sebagai liga paling kompetitif, pengalaman dan kualitas taktikal Sarri bukan tak mungkin sudah ada di atas Allegri (juga Antonio Conte) yang ketika melatih Juventus kariernya hanya sebatas melatih klub Italia.
Maka dari itu, kans Juventus juara Liga Champions bukan melihat faktor Juve yang punya Ronaldo dan De Ligt, melainkan faktor seberapa cepat Sarriball bisa segera sempurna menjadi ciri permainan baru Juventus. Tentu dengan catatan ada pemain yang siap-siap dijual karena Sarri bukan tipe pelatih yang gemar melakukan rotasi.
Juventus akan menjalani laga pra-musim melawan Tottenham pada Minggu, 21 Juli 2019 pukul 18.30 WIB. Pertandingan yang berlangsung dalam rangkaian laga pra-musim International Champions Cup ini mungkin bisa menjadi gambaran awal bagaimana Sarriball diperagakan. Meski mungkin racikan Sarriball belum ter-install secara sempurna namun setidaknya dapat kita lihat bagaimana Cristiano Ronaldo, Paulo Dybala, dan pemain Juventus lainnya memperagakan Sarriball.
Komentar