Menafsirkan Sepakbola Modern Lewat Nasib Christian Eriksen

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi 25172

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Menafsirkan Sepakbola Modern Lewat Nasib Christian Eriksen

Saat Internazionale Milan membeli Christian Eriksen dari Tottenham Hotspur pada awal tahun 2020, yang saya bayangkan adalah Inter akan menjadi kesebelasan penantang serius juara Serie A dengan gelandang timnas Denmark itu bermain di belakang duet Lautaro Martinez-Romelu Lukaku. Benar bahwa kemudian Inter jadi penantang serius juara Serie A, tapi ternyata `tanpa` ada peran Eriksen di sana.

Saat artikel ini ditulis, Inter mengakhiri musim 2019/20 sebagai runner-up. Lalu memasuki pekan ke-9 Serie A 2020/21, Inter berada di peringkat kedua juga, terpaut lima poin dari rival sekota, AC Milan. Eriksen, sementara itu, hanya bermain 217 menit pada musim ini. Jumlah tersebut merupakan yang tersedikit keempat.

Inter sudah mencetak 23 gol di Serie A, terbanyak. Jumlah tersebut seolah menegaskan bahwa sang pelatih, Antonio Conte, memang tak bermasalah tanpa Eriksen dalam skema 3-5-2 andalannya. Meski menjadi kontroversi, karena di Liga Champions Inter kesulitan mencetak gol, apa yang dialami Eriksen menjadi fenomena di sepakbola modern bahwa gelandang serang elegan seperti dirinya mulai kesulitan mendapatkan tempat di tim.

Sepakbola Modern Tak Butuh Pemain No. 10

Rasanya bukan rahasia umum bahwa saat ini formasi 4-3-3 telah menjadi formasi andalan di banyak kesebelasan. Sejak era keemasan ball possession-nya Pep Guardiola bersama Barcelona, banyak klub yang berlomba-lomba menyesuaikan strategi dan pemainnya untuk bermain dengan pola 4-3-3. Formasi ini dianggap paling seimbang, baik saat menyerang maupun bertahan.

Jadi bukan rahasia pula bahwa pemain no.10 seperti Eriksen yang area bermainnya di sekitar depan kotak penalti lawan dalam formasi 4-2-3-1 mulai terkikis. Mesut Oezil, terlepas dari faktor non-teknisnya, bahkan sampai tidak masuk dalam daftar skuad Arsenal musim 2020/21.

Tapi pertanyaannya, mengapa pemain sehebat Eriksen (juga Oezil) tak bisa menyesuaikan dengan skema 4-3-3? Bukankah sebuah tim butuh seorang gelandang yang bisa memberikan umpan-umpan yang memanjakan para strikernya?

CEO Inter, Giuseppe Marotta, punya jawabannya:

"Yang paling penting dari pemain adalah soal fungsi. Sepakbola penuh dengan beragam situasi, di mana para pemain yang bergabung, [bisa saja] kemudian tidak berfungsi pada sistem taktis atau di posisi saat dia ditempatkan di tim."

Di sepakbola modern, pemain memang dituntut memainkan banyak peran. Hal ini berkaitan dengan permainan sepakbola modern yang dibagi menjadi tiga bagian: menguasai bola, tanpa bola, dan transisi. Dalam setiap bagian itu satu pemain harus bisa menyesuaikan diri dengan sistem.

Secara teorinya begini, ketika secara komposisi pemain sebuah tim bermain dengan 4-3-3, ketika menguasai bola mereka bisa membentuk pola 3-4-3. Lalu saat bola dikuasai oleh lawan, tim tersebut bisa membentuk pola 4-1-4-1. Kondisi ini akan membuat seorang pemain tidak akan terpaku dalam satu posisi. Hal ini kontradiksi dengan seorang gelandang serang elegan yang biasanya kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan posisi karena punya kekurangan dalam kecepatan dan kemampuan bertahan.

Gelandang serang elegan seperti Eriksen identik dengan pemain-pemain no.10 seperti Juan Roman Riquelme, Rui Costa, Pablo Aimar, Deco hingga Ronaldinho. Mereka dikenal tak punya kemampuan bertahan yang baik, meski kemampuan olah bola mereka luar biasa. Dalam konteks sepakbola modern, ini bisa membuat sebuah tim seolah bermain dengan 10 pemain saat tak menguasai bola.

Oleh karena itu pula sebuah tim membuang gelandang serang dengan kualitas di atas rata-rata bukan hanya dialami oleh Eriksen. Pep Guardiola adalah pelatih yang mendepak Ronaldinho dan Deco Souza di Barcelona. Juan Mata dijual Jose Mourinho ke Manchester United saat menukangi Chelsea. Rekan setim Mata di Chelsea, Oscar, kini bermain di Asia. James Rodriguez yang bersinar pada Piala Dunia 2014 langsung meredup karena gagal menembus skuad Real Madrid.

Playmaker Tak Harus Pemain No. 10

Sepakbola adalah olahraga yang bergantung pada end-product. Gol adalah penentu kemenangan. Para gelandang serang elegan (sempat) dibutuhkan karena mereka bisa jadi pemain yang mengakhiri proses membangun serangan lewat umpan mematikan menuju penyerang yang berada di posisi yang ideal untuk mencetak gol.

Dari situ juga istilah playmaker lahir, di mana playmaker identik dengan gelandang serang. Secara definitif, istilah playmaker ini merujuk pada seorang pemain dalam olahraga basket dan hoki es yang memimpin serangan.

Tapi di sepakbola modern, tugas mengatur serangan tak lagi dibebankan pada si gelandang serang atau mereka yang bermain di posisi no. 10. Buktinya, sekarang para pemain belakang lah yang paling sering melakukan operan, sehingga muncul istilah ball-playing defender. Bahkan menjadi sesuatu yang biasa juga melihat seorang gelandang bertahan berdiri sejajar dengan bek tengah, berada di barisan terakhir pertahanan, saat memulai serangan (deep-lying playmaker).

Para pemain belakang dan gelandang bertahan kini bisa melakukan operan di atas 70 kali dalam satu pertandingan, bahkan bukan hal yang aneh bisa mencapai di atas 100 operan. Guardian menyebutkan pada 2019 bahwa rekor pemain dengan jumlah operan terbanyak dalam satu pertandingan adalah Julian Weigl yang mencatatkan 210 operan saat Borussia Dortmund menghadapi FC Koln pada 2016. Di bawah Weigl, masih via Guardian, rekor operan terbanyak diisi oleh Jorginho (Napoli vs Verona, 2015), Xavi Hernandez (Barcelona vs Celtic, 2012), Sergio Busquets (Barcelona vs Levante, 2011), dan Ilkay Guendogan (Man City vs Chelsea, 2018). Para pemain tersebut berposisi sebagai nomor 6 alias gelandang bertahan.

Semakin banyak seorang pemain melakukan operan secara teori menunjukkan bahwa pemain tersebutlah yang menentukan ke arah mana timnya akan menyerang. Ini sesuai dengan makna playmaker secara definitif, sehingga muncul istilah deep-lying playmaker.

Sebenarnya bukan tak mungkin seorang deep-lying playmaker bermain bersama dengan seorang playmaker no. 10 dalam tim yang sama. AC Milan era Carlo Ancelotti sebagai buktinya di mana ia memaksimalkan Andrea Pirlo sebagai penginisiasi awal serangan dan Rui Costa sebagai pemain yang menentukan final pass. Tapi kejayaan Ancelotti dengan pola ini pun tak bertahan lama seiring berjalannya waktu.

Saat ini sebenarnya sebuah tim bisa bermain dengan banyak playmaker. Selain deep-lying playmaker yang masih sangat sentral perannya, peran playmaker bisa dimainkan oleh pemain di posisi lain.

Liverpool merupakan contoh tim yang punya banyak playmaker yang menariknya tak mengandalkan pemain no.10. Sebagai salah satu tim terbaik dunia saat ini, The Reds punya Jordan Henderson sebagai deep-lying playmaker. Selain itu, serangan skuad asuhan Juergen Klopp ini juga akan bergantung pada kemampuan passing dari bek kanan dan kiri mereka, yakni Trent-Alexander Arnold dan Andrew Robertson. Belum lagi Roberto Firmino yang juga siap melayani Sadio Mane dan Mohamed Salah lewat umpan-umpannya.

Lionel Messi dan Neymar adalah contoh paling nyata bahwa playmaker tak harus bermain di pos no. 10. Pada musim 2020/21, masih banyak lagi contoh playmaker yang tidak hanya beredar di depan kotak penalti lawan. James Rodriguez sedang beradaptasi mengatur serangan dari sisi kanan lapangan. Peran yang sama dimainkan oleh Hakim Ziyech di Chelsea. Di sisi seberang, ada Jack Grealish yang merupakan pengatur serangan Aston Villa yang menguasai area sisi kiri lapangan. Bahkan Harry Kane yang merupakan penyerang no. 9 bisa disebut playmaker juga jika melihat perannya di bawah asuhan Jose Mourinho.

Sepakbola Modern Lebih Butuh Gelandang Bertahan Jago

Yang menarik dari nasib Eriksen di sepakbola modern adalah bagaimana Tottenham Hotspur justru semakin disegani setelah dia pergi. Ada faktor Jose Mourinho, sang pelatih, memang. Tapi tak bisa dimungkiri bahwa pelatih asal Portugal itu pun merupakan bagian penting dari revolusi taktik di sepakbola modern.

Saat artikel ini ditulis, Spurs sedang berada di puncak klasemen. Seperti yang sudah disebutkan di atas, alih-alih mencari pengganti Eriksen sebagai playmaker, Mou justru menjadikan Kane sebagai pelayan Son Heung-min. Spurs sebenarnya merekrut Giovani Lo Celso yang bisa berperan sebagai playmaker di pos gelandang. Tapi Lo Celso belum mendapatkan tempat utama di tim.

Faktor penting keberhasilan Spurs menjadi salah satu kandidat kuat juara Premier League musim ini justru karena adanya sosok Pierre-Emile Hojbjerg. Ia berposisi sebagai gelandang bertahan. Gelandang asal Denmark ini meng-upgrade lini tengah Spurs yang sebelumnya diisi oleh Harry Winks.

Secara gaya permainan, Hojbjerg lebih fisikal dari Winks. Mahir dalam merebut bola, ia juga bisa dijadikan sebagai pengumpan awal serangan. Bahkan berkat pemain yang direkrut dari Southampton ini pula permainan Tanguy Ndombele semakin berkembang. Sebelumnya Ndombele kesulitan menembus skuad Mourinho lantaran kurang fasih dalam bertahan.

Mourinho sendiri memang selalu punya gelandang bertahan `jago` di timnya. Di Inter ada Esteban Cambiasso. Di Chelsea punya Nemanja Matic dan Michael Essien. Matic bahkan dibawanya juga ke Manchester United. Essien juga jadi gelandang bertahan yang dipinjam Mourinho saat menukangi Real Madrid, setelah Sami Khedira gagal memenuhi ekspektasi.

Dalam satu dekade terakhir, kesebelasan-kesebelasan terbaik dunia selalu tak lepas dari gelandang bertahan hebat. Manchester City mulai mendominasi Premier League bersama Fernandinho di lini tengah. Liverpool mengakhiri puasa gelar Premier League dan menambah trofi Liga Champions karena punya Fabinho. Real Madrid mencatatkan rekor juara UCL tiga musim beruntun dengan Casemiro di lini tengah. Perancis juara Piala Dunia 2018 pun tak lepas dari sosok N`Golo Kante, yang juga sukses membawa Leicester City dan Chelsea juara Premier League dalam dua musim beruntun.

***

Sebenarnya tidak semua pemain no.10 bernasib seperti Eriksen. Hakan Calhanoglu justru sedang berada di top performa musim ini padahal dia bermain di belakang Zlatan Ibrahimovic dalam pola 4-2-3-1. Paulo Dybala merupakan sosok penting dalam keberhasilan Juventus dalam beberapa musim terakhir. Pun dengan Thomas Mueller yang masih tak tergantikan di Bayern Muenchen untuk membayangi dan melayani Robert Lewandowski. Bahkan Bruno Fernandes menjadi ujung tombak Manchester United saat para pemain depan lain mengalami kebuntuan.

Tapi uniknya, mereka punya problem yang menegaskan bahwa sepakbola modern seolah pelan-pelan menyuruh mereka untuk beradaptasi di posisi lain atau terbuang seperti Eriksen. Calhanoglu sempat bermain sebagai winger. Dybala tak cocok di skema Maurizio Sarri dan beberapa kali dirumorkan hengkang. Mueller tak lagi jadi andalan di Timnas Jerman. Sementara itu, Bruno Fernandes belum bisa mengembalikan Man United ke papan atas Premier League.

Komentar