Dalam sebuah penyelenggaraan pertandingan sepakbola banyak terdapat aspek yang diperlukan untuk bisa terlaksana dengan baik, juga keterlibatan beberapa pihak sebagai pemangku kebijakan terkait pertandingan.
Strategi pengendalian massa dalam stadion merupakan hal yang penting, terlebih jika pertandingan yang diselenggarakan merupakan pertandingan yang memiliki potensi resiko tinggi. Aparat yang bertugas di stadion harus memiliki pengetahuan dan cara yang tepat untuk mampu mengendalikan situasi ketika mulai tidak kondusif.
Sudah banyak terjadi peristiwa menyedihkan di dunia sepakbola yang memakan korban jiwa, mulai dari tragedi di Peru, Hillsborough hingga salah satunya yang terjadi di Tanah Air ini. Tragedi Kanjuruhan yang setidaknya hingga kini sudah menewaskan sebanyak 135 korban jiwa.
Pasca pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang digelar di Stadion Kanjuruhan Malang 1 Oktober 2022 silam. Kematian massal ini bukan disebabkan dari keributan antar suporter kedua kesebelasan, melainkan imbas dari penanganan yang gagal dari petugas keamanan.
Karena dalam pertandingan itu, suporter Persebaya tidak ke stadion, sehingga secara akal sehat tidak akan terjadi keributan antar suporter. Kematian para suporter itu terjadi setelah pertandingan usai dan terdapat suporter Arema yang turun ke lapangan seraya memberikan motivasi kepada pemain pasca mengalami kekalahan.
Semakin lama semakin banyak suporter yang masuk ke dalam lapangan, hal ini yang membuat petugas keamanan melakukan pengamanan kepada suporter secara gegabah. Memang tidak bisa dipungkiri kehadiran suporter masuk ke dalam lapangan merupakan suatu kesalahan, tetapi penembakan gas air mata di kerumunan penonton pun sangat tidak bisa di tolerir.
Dalam pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulations sudah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya jika penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepakbola begitu dilarang.
“No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used”.
Tapi entah mengapa benda terlarang tersebut bisa memasuki stadion dan secara lancang ditembakkan kepada penonton yang berada di tribun. Penembakan gas air mata tersebut yang membuat para penonton berlarian untuk menyelamatkan diri, sementara pintu keluar tribun yang kecil harus dijejali oleh ribuan penonton yang ingin keluar. Alhasil situasi berdesak-desakan dan terinjak-injak tidak bisa terhindarkan dalam situasi itu.
Yang pasti, dalam tragedi ini terdapat kesalahan yang mendasar dan terstruktur dari semua pihak yang terlibat dalam kematian massal ini. Kepolisian mendapat sorotan tajam dari media Tanah Air maupun media luar negeri akibat dari memecah kerumunan menggunakan gas air mata.
Dan yang menggelitik terdapat “langkah bertahan” dari kepolisian untuk tindakan tersebut, Humas Polri Irjen Pol Dedy Prasetyo pernah mengatakan jika gas air mata yang ditembakkan sudah dalam keadaan kadaluarsa, jika gas air mata sudah kadaluarsa, maka kadar zat kimianya akan menurun.
“Jadi jika gas air mata sudah expired justru kadar zat kimianya akan berkurang, kemudian kemampuannya juga akan menurun,” dalam laman Tempo.com (10/10).
Belum ada penelitian yang pasti bagaimana kandungan zat kimia dari gas air mata yang sudah kadaluarsa, namun tetap saja, penggunaan gas air mata dalam situasi pertandingan sepakbola begitu dilarang apalagi hingga ditembakkan.
Membentuk Otoritas Terkait Keselamatan dan Keamanan di Stadion
Dalam artikel The Guardian pada tahun 2011, yang berjudul “How do the police plan ahead for a match day?”, yang ditulis oleh Jamie Jackson ia mewawancarai salah satu anggota Kepolisian London yang berpengalaman dan membeberkan rincian apa saja yang harus dilakukan petugas dalam penanganan di sepakbola.
Di Inggris pun terdapat institusi yang bernama SAG (Security Advisor Guard), yang terdiri dari gabungan dari anggota masing-masing klub sepakbola, polisi setempat, pemadam kebakaran, layanan ambulans dan dewan setempat. Lalu, untuk pembuatan keputusan pertandingan diperlukan sertifikat keselamatan yang harus disetujui oleh SAG setempat, yang nantinya ditandatangani oleh ketuanya.
SAG memiliki otoritas untuk memberikan saran dalam menentukan jadwal pertandingan bisa berjalan atau tidak, tergantung dari kesiapan para pihak yang ada di dalamnya. Seperti contoh, jika terdapat pihak yang tidak bisa memberikan pelayanan dalam pertandingan, maka ketua akan memutuskan pertandingan untuk tidak diselenggarakan.
Dalam penanganan suporter pun pihak kepolisian di Inggris, mengidentifikasi terlebih dahulu pertandingan yang akan dilaksanakan tergolong ke dalam kategori mana. Dalam artikel ini disebut 4 kategori, kategori A, jika permainan beresiko rendah sekali maka pengamanan dari kepolisian pun sedikit, mungkin tidak ada di dalam stadion, hanya di luar stadion.
Kategori B, masuk ke dalam resiko rendah. Kategori C, untuk pertandingan berisiko tinggi, dan C+, untuk peningkatan risiko yang lebih tinggi, seperti pertandingan Manchester United melawan Manchester City atau Arsenal melawan Tottenham Hotspurs.
Lalu Jamie pun menanyakan apa yang dilakukan polisi di pertandingan dan dalam kaitannya dengan pengawas pertandingan, pihak kepolisian menjawab, bahwa pada akhirnya keselamatan dan keamanan berada di tangan klub namun petugas keselamatan memegang kendali untuk pengamanan itu.
Komandan polisi yang bertugas bertanggung jawab atas sumber daya polisi yang ada. Petugas keamanan memiliki tanggung jawab dengan apapun yang terjadi di dalam lapangan. Steward juga secara efektif mengawasi bagian dalam stadion, polisi hanya mendukung dalam hal ini. Namun jika situasi berubah menjadi potensi rusuh, maka polisi yang asalnya mengawasi akan mengambil prioritas tetapi mereka akan bekerja sama juga dengan pihak klub.
Setiap klub memiliki protokol, mengantisipasi untuk setiap kemungkinan yang terjadi. Petugas akan mempraktekkan apa yang telah mereka latih sebelumnya, semisal terdapat paket yang dicurigai sebagai bom atau jika kebutuhan mengosongkan lapangan dengan cepat, setiap steward dan polisi sudah mengetahui model penanganan apa yang cocok dengan situasi yang terjadi.
Tali-temali Dalam Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pertandingan
Owen West seorang dosen senior kepolisian di Edge Hill University di Ormskirk, Inggris, mengomentari penanganan polisi dalam pertandingan sepakbola di berbagai negara melalui laman The New York Times (2/10). Kepolisian yang memperlakukan kerumunan besar sebagai ancaman dan mengubah situasi menjadi bahaya.
“Ini berbicara tentang pola polisi yang terlalu sering berorientasi pada ketertiban umum, daripada keselamatan publik. Kamu bisa melihat petugas dengan perlengkapan anti huru-hara lengkap dengan amunisi pengendalian massa, itu menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya,” ucapnya.
Ia juga menambahkan jika lembaga hukum menganggap perlu “mengendalikan” kerumunan dan karena cenderung “terlalu bersemangat dan terlalu banyak sumber daya” terlalu sering, justru tindakan polisi yang memicu reaksi negatif diantara orang banyak.
Ucapannya itu juga merujuk juga pada tragedi yang terjadi di Indonesia, awal bulan Oktober lalu. Petugas dengan maksud mengurai kerumunan suporter yang masuk ke dalam stadion dengan perintah dari atasannya untuk melepaskan tembakan gas air mata.
Secara brutal mereka menembakkan ke arah tribun yang mana terdapat banyak penonton dari semua kalangan; orang tua, ibu-ibu dan anak-anak. Mereka tak mengerti apa yang terjadi di lapangan pasca pertandingan, tiba-tiba amunisi gas air mata menghampiri tribun mereka sehingga menciptakan kondisi yang berbahaya bagi mereka.
Bila melihat bagaimana Inggris mampu menjadi sorotan dalam hal sepakbolanya, itu karena mereka mampu mengevaluasi dan memberikan ketegasan pada pihak yang bersalah terkait pertandingan sepakbola.
Bukan tanpa kesalahan, Tragedi Hillsborough menjadi paling kelam dalam sejarah sepakbola tanah Britania itu. Sebanyak 97 suporter Liverpool yang meregang nyawa dalam insiden itu, pasca peristiwa itu, pemerintah Inggris membuat sebuah terobosan dalam penyelenggaraan pertandingan sepakbola.
Mulai dari ditiadakannya pagar pembatas penonton, tidak ada tribun berdiri hingga pendataan terhadap suporter. Langkah ini sebenarnya sangat memungkinkan untuk diterapkan di sepakbola Indonesia. Soal fanatisme, suporter Indonesia juga tidak kalah militannya dengan suporter di negara Ratu Elizabeth itu.
Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher, dengan keras dan lantang memberantas hooliganisme di tanah kelahirannya itu. Walaupun banyak pertentangan dari pihak suporter, nyata hal itu pula yang menjadi salah satu kebangkitan sepakbola Inggris menjadi lebih baik.
Geramnya Thatcher terhadap tindak-tanduk suporter membuatnya memberikan sanksi kepada klub Inggris untuk tidak berlaga di kompetisi luar Inggris selama lima tahun, hukuman itu keluar pasca Tragedi Heysel yang menewaskan 39 korban jiwa.
Pada medio 1989, Inggris menelurkan regulasi yang bernama Football Spectators Act (FSA). Aturan itu mewajibkan seluruh suporter Inggris memiliki kartu keanggotaan dari klub yang didukungnya, upaya ini untuk mencegah adanya provokator yang masuk ke stadion saat pertandingan berlangsung.
FSA juga mengatur keberadaan badan otoritas lisensi untuk memberikan atau mencabut izin untuk melaksanakan pertandingan sepakbola, otoritas tersebut telah dijelaskan pada tulisan di bagian sebelumnya.
Untuk menghindari tidak keluarnya izin pertandingan, alhasil klub-klub di Inggris mulai merombak stadion mereka dimulai pada tahun 1990. Dari aturan itu lah stadion-stadion di Inggris sudah tidak menggunakan pagar pembatas maupun tribun berdiri.
Memang tidak bisa jika mengadopsi aturan FSA di sepakbola Indonesia secara utuh, perlu adanya modifikasi menyesuaikan dengan keadaan lokal di negara ini. Hal ini juga sudah disampaikan dalam penelitian yang berjudul Manifestasi Supremasi Hukum: Modifikasi Football Spectators Act (FSA) Sebagai Instrumen Kontrol Bagi Suporter Sepakbola Indonesia karya Dian Ayu Nurul Muthoharoh, Alfaina Sakinah dan M. Abduh Jerusalem, pada tahun 2020.
Dalam penelitiannya, isi dari pembahasan tersebut mengarah pada langkah preventif dari lima elemen penting yang hadir dalam sepakbola Indonesia yaitu; pemerintah, kepolisian, asosiasi suporter se Indonesia dan suporter daerah terkait.
Konsep FSA sepakbola Inggris dirasa cocok untuk diadopsi oleh sepakbola Indonesia, konsep ini dapat mencegah, mengendalikan dan menanggulangi permasalahan yang ada. Inti dari FSA diantaranya mencakup perbaikan stadion, kartu identitas suporter dan edukasi.
Komentar