Pertandingan Maroko melawan Prancis di semifinal Piala Dunia 2022, memiliki hubungan histori yang lekat. Maroko merupakan negara Protektorat Prancis dari 1912 hingga 1956. Inisiasi kompetisi sepak bola di Maroko pun didasari French Football Federation (FFF) pada 1916. Melalui sepak bola dan pertemuan Maroko dengan Prancis di Piala Dunia kali ini, menjadi momen tepat untuk mengingat Larbi Benbarek dan Justin Fontaine.
Dua orang itu merupakan pesepakbola yang membela Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Prancis meski lahir di Maroko. Benbarek yang mengawalinya sebagai pemain asal Benua Afrika pertama berseragam Timnas Prancis. Meskipun ia lahir di Casablanca yang merupakan salah satu kota terbesar di Maroko. Penjajahan tentu membuat sebagian besar masyarakat di sana dengan kemiskinan.
Benbarek adalah salah satunya, sehingga memilih bermain sepak bola sebagai pelariannya dari kemelaratan. Faktor ini begitu nampak ketika bermain menggunakan sandal kala debutnya di L Ideal.
“Larbi Benbarek tidak pernah memakai sepatu saat bermain sepakbola, dan dia menggunakan sandal ketika menjalani debut pertandingan profesionalnya. Menghadapi USM Casablanca, yang meraih tiga gelar North African Championship, Benbarek mencetak dua gol,” tulis Matt Rendell dalam bukunya, Olympic Gangster.
Benbarek berhasil mengantarkan L Ideal menjadi finalis Piala Maroko pada 1935. Hal itu membuat USM Casablanca merekrutnya dan berhasil tampil apik di sana. Hal ini yang membuatnya masuk ke dalam Timnas Maroko dalam masa penjajahan Prancis meski Benbarek tidak memberikan gelar juara USM Casablanca. Bersama Maroko juga pemain kelahiran 16 Juni 1917 ini memikat Olympique de Marseille.
Berawal dari uji tanding Maroko melawan Prancis B pada 1937, sehingga Marseille merekrut Benbarek pada tahun berikutnya. Memperkuat Marseille, Benbarek diberi kewarganegaraan Prancis setelah empat bulan berkarir di sana. Benbarek melakukan debut bersama Prancis ketika dikalahkan Italia dalam laga persahabatan pada 4 Desember 1938.
Taji Benbarek terlihat ketika mencetak tiga gol ke gawang Polandia dalam laga persahabatan pada 22 Februari 1939. Permainan Benbarek membuat kagum Pele sang raja sepak bola. Legenda Brasil itu menganggap bahwa Benbarek merupakan dewa sepak bola.“Jika saya Raja Sepak Bola, maka Larbi Benbarek adalah Dewanya," ujarnya seperti dikutip dari Bleacher Reports.
Kemudian Fontaine lahir di Marrakech, Maroko, dari ibu yang berasal dari Spanyol dan ayah Prancis pada 18 Agustus 1933. Fontaine langsung memperkuat USM Casablanca ketika memulai karir sepakbola profesionalnya pada 1950. Tiga tahun kemudian, Fontaine pindah ke OGC Nice yang merupakan klub sepak bola dari kota kelahiran ayahnya. Pindahnya Fontaine ke Nice tidak lepas dari Mario Zatelli, pelatih klub tersebut saat itu.
“Dia (Zatelli) datang ke Casablanca untuk melihat permainan saya dan saya waktu itu bermain hebat dengan mencetak dua gol. Dia lalu mengontak USM Casablanca dan bilang dia ingin mengontrak saya,” ujarnya kepada Bein.
Di musim pertamanya bersama Nice, Fontaine berhasil meraih trofi Coupe de France setelah mengalahkan Marseille di partai final. Selain itu, Fontaine juga mengantarkan Nice menjadi juara Ligue 1 di musim 1955/1956. Di musim 1956/1957, ia hijrah ke Reims.
Di Reims, trofi yang didapatkan Fontaine lebih banyak, yakni Ligue 1 di musim 1957/1958, 1959/1960, dan 1961/1962, Coupe de France 1957/1958, Trophee des Champions tahun 1958 dan 1960, dan runner up European Cup di musim 1958.
Menjelang Piala Dunia 1958, Fontaine dan rekan setimnya bernama Rene Bliard diberitahu oleh Paul Nicolas, salah satu staf Timnas Perancis, bahwa salah satu di antara mereka akan dibawa ke Piala Dunia 1958. Nasib kurang baik menerpa Bliard. Ia menderita cedera dan akhirnya Fontainelah yang akhirnya masuk skuad Les Blues.
Meski memutuskan untuk membela Prancis, Fontaine tetaplah legenda bagi sepak bola Maroko. Rasa hormatnya kepada Maroko pun pernah diungkapkannya ketika jelang Piala Dunia 1998 Prancis. "Saya orang Perancis. Saya memiliki simpati untuk Maroko. Maroko adalah tim kedua saya. Tapi saya juga mendukung Brasil. Yang terpenting, saya menyukai sepak bola yang bagus,” ujar Fontaine kepada Folha.
Begitu pun bagi Benbarek yang menjadi pelatih Timnas Maroko pertama sesudah mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1957. Sebuah stadion di kota Casablanca pun diberi nama Stadion Larbi Benbarek untuk menghormati sang legenda yang meninggal pada 16 September 1992 itu.
Benbarek Menjadi Bintang di Spanyol
Perang Dunia II justru pecah ketika Benbarek mulai bersinar bersama Prancis. Alhasil, ia pun memilih kembali ke Maroko untuk memperkuat USM Casablanca dan mempersembahkan tiga gelar Liga Maroko dan satu gelar North African Champions Cup.
Benbarek baru kembali ke Prancis setelah Perang Dunia II usai dengan memperkuat Stade Francais pada 1946. Kemudian langkah Benbarek diperluas ke Spanyol sehinga mengecap arahan Helenio Herrera ketika bergabung dengan Atletico Madrid pada 1948.
Bersama Los Rojiblancos, Benbarek mencetak 56 gol dalam 113 penampilan dan berhasil membawa gelar juara Supercopa pada 1950, serta juara La Liga dua musim berturut-turut, yakni pada 1949/1950, dan 1950/1951. Karena penampilan gemilangnya, publik Spanyol menjuluki Benbarek sebagai Pie de Dio, atau Kaki Tuhan. Benbarek juga pemain asal Afrika pertama yang bersinar di La Liga.
Pada 1955, Benbarek kembali ke Marseille. Penampilannya tentu tak lagi gemilang lantaran umur yang sudah semakin menua. Setahun berselang, ia kembali ke Afrika dengan membela Bel Abbes, dan pensiun di klub Aljazair tersebut. Meski gemilang di level klub, Benbarek kurang bersinar di Piala Dunia bersama Prancis. Ketika Benbarek sedang dalam penampilan terbaiknya bersama Atletico Madrid pada 1950, Prancis mengundurkan diri dari Piala Dunia.
Alasan mundurnya Prancis lantaran keberatan dengan jarak antar kota tempat pertandingan yang terlampau jauh. Pada Piala Dunia 1954, Benbarek yang sudah berusia 41 tahun saat itu kalah bersaing dengan talenta-talenta muda Prancis. Total, Benbarek hanya bermain 16 kali untuk Prancis.
USM Casablanca, yang pernah dibela Benbarek dan Fontaine, merupakan klub yang paling sukses di liga tersebut, dengan menjadi juara sebanyak 16 kali.
Just Fontaine: Lahir di Maroko dan Menjadi Legenda Prancis
Just Fontaine merupakan pemegang rekor pencetak gol terbanyak dalam satu edisi Piala Dunia. Piala Dunia menjadi ajang unjuk gigi bagi pemain Prancis itu dengan mencetak 13 gol.
Fontaine sebenarnya tidak selalu tampil untuk Prancis sebelum Piala Dunia 1958. Sejak debut pada 27 Desember 1953, Fontaine hanya mencetak tiga penampilan bersama Les Blues sebelum terpilih dalam skuad Piala Dunia. Namun demikian, Fontaine tetap percaya diri.
“Saya dalam performa bagus menuju Piala Dunia 1958 dan mempertahankannya di turnamen itu. Saya telah mencetak 34 gol dalam 26 pertandingan musim sebelumnya bersama Reims," ujar Fontaine mengenang kiprahnya di Piala Dunia.
Kiprahnya di Piala Dunia 1958 memang luar biasa. 13 gol berhasil ia cetak. Catatan itu merupakan salah satu catatan yang sulit dipecahkan oleh siapapun.
"Mengalahkan rekor saya? Saya rasa itu tidak akan pernah bisa dilakukan," kata Fontaine pada 2006 silam, dikutip dari ESPN. "Orang yang ingin mengalahkan saya memiliki tugas besar, bukan? Dia harus mencetak dua gol dalam tujuh pertandingan."
Sayangnya, karir Fontaine tidak panjang. Di umur 28, Fontaine harus pensiun lantaran menderita cedera lutut yang sulit disembuhkan.
Komentar