Jendela transfer musim panas 2017 dimanfaatkan oleh Liverpool untuk mengonsolidasi kekuatan di lini depan mereka, salah satu pembelian potensial klub berjulukan The Reds itu adalah Mohamed Salah yang diboyong dari AS Roma dengan mahar 35 juta paun. Kehadiran Salah diprediksi membuat lini depan Liverpool semakin bertaji mengingat sebelumnya mereka telah memiliki Roberto Firmino, Sadio Mane, hingga Philippe Coutinho yang menjadi trisula Maut Liverpool di musim 2016/2017.
Setidaknya prediksi bahwa Salah mampu membuat lini depan Liverpool lebih bertaji memang terbukti di awal musim. Bahkan saat Philippe Coutinho mengalami cedera punggung hingga harus absen dalam empat pertandingan awal Liga Primer Inggris plus dua laga playoff Liga Champions melawan Hoffenheim, pelatih Juergen Klopp tak pusing karena sudah memiliki formula yang tepat untuk menambal kekosongan yang ditinggalkan Coutinho.
Klopp menjadikan trio Firmino, Mane, dan Salah sebagai juru gedor utama mereka. Hasilnya cukup mengagumkan, karena trio lini depan andalan Liverpool ini sangat produktif dalam lima laga awal yang dilakoni mereka di semua ajang. Tercatat ada 14 gol yang berhasil disarangkan Liverpool dari lima laga awal, sembilan di antaranya disumbangkan melalui aksi trio tersebut yang masing-masing mencetak tiga gol.
Meski begitu, sorotan diberikan kepada lini belakang mereka yang masih juga tak kunjung menunjukkan perbaikan. Di partai awal Liga Primer menghadapi Watford, gawang Liverpool malah bisa dibobol tiga kali. Padalah dalam laga ini Watford tidak terlalu banyak memberikan tekanan hebat ke area pertahanan Liverpool. Akhirnya mereka harus puas bermain imbang 3-3.
Ini memunculkan anggapan bahwa ada yang tidak seimbang dari komposisi pemain Liverpool musim ini. Di saat lini depan mereka begitu hebat, namun lini belakang justru menjadi titik lemah mereka. Bahkan muncul analogi bahwa lini depan Liverpool ibaratkan mobil mewah seperti Ferrari, sementara lini belakang mereka justru tak ubahnya mobil rongsokan yang sudah tak lagi bisa digunakan.
Sejauh ini, Liverpool mencatatkan dua kali nirbobol saat menghadapi Crystal Palace dan Arsenal. Namun di laga play-off Liga Champions menghadapi Hoffenheim ada tiga gol yang bersarang ke gawang mereka dari dua leg pertandingan. Hal itu tidak bisa membuktikan bahwa lini belakang Liverpool semakin membaik.
Alih-alih membaik, lini belakang Liverpool justru semakin bobrok terutama setelah mereka mengandaskan Arsenal empat gol tanpa balas di pekan ketiga Liga Primer Inggris. Setelah kemenangan mengesankan itu, gawang Liverpool malah dijebol lima kali oleh Manchester City, tanpa bisa mereka balas sebiji gol pun. Kemudian kembali kebobolan dua gol dari Sevilla yang membuat mereka harus puas bermain imbang 2-2.
Dilanjutkan satu gol dari Burnley (1-1), dan terakhir dua kali gawang mereka dijebol Leicester City di ajang Piala Liga yang membuat Liverpool tersingkir di ronde ketiga karena kalah 2-0. Selain harus menelan kenyataan pahit dengan gagal meraih kemenangan dalam empat laga beruntun di semua ajang, hasil-hasil yang membuat Liverpool harus kebobolan 10 gol dalam empat laga terakhirnya.
Sebenarnya, kalau mau menelaah lebih jauh yang menjadi masalah Liverpool itu bukan hanya di lini belakang. Namun juga ada di sektor depan. Barisan trio penyerang Liverpool yang digalang Firmino, Salah, dan Mane memang tajam namun ketajaman mereka belum terlalu membantu Liverpool untuk menutupi kekurangan dari lini belakang mereka.
Kecepatan dari para penyerang Liverpool memang ibarat Ferrari yang bisa melaju kencang di atas aspal. Namun melihat masih belum meratanya kualitas antara pemain inti dan lapis dua di lini depan, menjadikan penganalogian tersebut masih terlalu berlebihan. Sebab, bila dibandingkan dengan kesebelasan lainnya, lini depan Liverpool sebenarnya masih kalah dengan produktivitas duet Aguero dan Gabriel Jesus. Duet City ini sudah mengemas delapan gol dari total 15 gol yang diciptakan City dalam tiga pertandingan terakhirnya.
Tidak memiliki pelapis yang sepadan
Sebenarnya ada beberapa faktor yang membuat produktivitas Liverpool menurun, terutama dalam empat pertandingan terakhirnya. Salah satunya mereka tidak memiliki pelapis yang sepadan bagi trio Firmino, Salah, dan Mane. Hal tersebut terlihat jelas saat mereka dikalahkan Leicester City.
Dalam laga melawan Leicester, seperti kecenderungan banyak tim besar yang kerap menurunkan pemain lapis dua di pertandingan Piala Liga, Klopp memainkan trio Coutinho (kiri), Dominic Solanke (penyerang tengah), dan Alex Oxlade-Chamberlain (kanan). Kualitas trio Liverpool ini di atas kertas harusnya bisa menambah produktivitas Liverpool. Namun justru tidak ada satu pun gol yang berhasil diciptakan Liverpool.
Trio Coutinho, Chamberlain, dan Solanke hanya membuat permainan menyerang Liverpool masih terlihat agresif saja, karena secara permainan mereka memang cukup mendominasi. Terlihat dari penguasaan bola yang mencapai 70 persen dan total tembakan sebanyak 21 tendangan. Tapi, dalam urusan mengonversi peluang menjadi gol, lini serang Liverpool masih belum mampu, karena tidak ada sebiji gol pun yang berhasil mereka ciptakan.
Melihat data di atas, tampak serangan-serangan yang dilakukan Liverpool dalam pertandingan tersebut kurang efektif. Justru efektivitas malah dimiliki Leicester yang hanya memiliki penguasaan bola sebesar 30 persen dan total tembakan sebanyak delapan tendangan, tapi mampu mengoyak gawang Liverpool hingga dua kali.
Permasalahan lini depan Liverpool sudah terlihat sejak laga melawan Burnley yang berakhir imbang 1-1, Liverpool tampil tanpa Mane yang tengah menjalani sanksi larangan bermain dalam empat pertandingan setelah kartu merah yang didapatkannya pada laga melawan Manchester City, usai melanggar keras Ederson Moraes.
Klopp dipaksa melakukan perubahan, Danie Sturridge diturunkan yang diapit oleh Firmino dan Salah sebagai penyerang kanan dan kiri. Strategi menyerang diusung karena Coutinho juga bermain dimainkan. Namun Klopp memilih menempatkan Coutinho sebagai gelandang, bukan penyerang kiri seperti perannya di musim lalu.
Hasilnya Liverpool hanya mampu mencetak satu gol, padahal sepanjang 90 menit mereka tampil dominan dengan 71.3 persen penguasaan bola dan 33 total tembakan. Kalau pun hanya satu gol, Burnley juga mampu menciptakannya meski hanya ada lima tembakan saja yang berhasil mereka ciptakan.
Dari sana terlihat kalau Sturridge juga belum bisa menjadi pelapis yang sepadan bagi salah satu pemain di antara Firmino, Mane, atau Salah dengan skema permainan ala Juergen Klopp. Hal yang menyadarkan kita bahwa sebenarnya komposisi pemain Liverpool belum merata secara kualitas.
Secara tidak langsung hal ini menjadi sinyal bahaya bagi Jordan Henderson dan kawan-kawan dalam perjalanannya di kompetisi musim ini. Mengingat akan ada banyak faktor pendorong bagi ketiganya untuk berpisah dalam satu pertandingan entah itu karena cedera, akumulasi kartu, atau hal-hal lainnya.
Penyakit ketergantungan Liverpool belum hilang
Masalah dari tidak adanya pelapis yang sepadan, khususnya di lini depan, memunculkan masalah lainnya yang sebenarnya ini adalah masalah lama mereka, yaitu soal ketergantungan terhadap salah satu pemain. Saat Firmino, Salah, dan Mane tampil berbarengan, tak bisa disangsikan bahwa lini depan Liverpool sangat agresif dan produktif pula (meski bobroknya lini belakang mereka kadang mengaburkan keunggulan Liverpool).
Namun, bila ada salah satu di antara mereka ada yang absen, maka seolah ada puzzle yang hilang di lini depan Liverpool. Hal tersebut sebenarnya sudah terlihat sejak mereka berhadapan melawan Crystal Palace. Klopp membangku cadangkan Salah, hasilnya Liverpool kesulitan untuk mencetak gol walau terus menyerang.
Namun cerita berubah saat Salah masuk menggantikan Sturridge pada menit 61, gelombang serangan Liverpool semakin agresif hingga pada menit 73 mereka bisa menciptakan gol melalui aksi Mane. Salah memang tidak mencetak gol, tapi kehadirannya mengubah alur cerita pertandingan, yang sebelumnya terlihat akan berakhir imbang.
Dari sini, mungkin Anda beranggapan bahwa Liverpool ketergantungan terhadap Salah. Namun tunggu dulu, lihat bagaimana saat Mane meninggalkan lapangan. Di laga melawan Manchester City, sebelum Mane mendapat kartu merah, permainan Liverpool cukup menjanjikan meski mereka sudah tertinggal satu gol.
Namun ketika Mane keluar, permainan berubah. Ancaman dari lini serang ke jantung pertahanan City menukik tajam. Akibatnya, mereka gagal mencetak gol balasan, karena City Justru menggila dengan memberondong lima gol ke gawang Simon Mignolet. Begitu pun pada dua pertandingan selanjutnya melawan Burnley dan Leicester tanpa Mane Liverpool minim sekali mencetak gol.
Saat bencana yang tengah melanda mereka belum semakin parah, ada setitik harapan saat Salah, Firmino, dan Mane tampil berbarengan di Liga Champions menghadapi Sevilla. Setidaknya ada dua gol (bahkan bisa tiga gol seandainya penalti Firmino berbuah gol) yang bisa dicetak Liverpool. Hanya saja, organisasi pertahanan mereka yang kacau balau, membuat Liverpool gagal meraih tiga poin dan harus puas mengakhiri laga dengan hasil imbang 2-2.
Setidaknya, meski hasil yang diraih saat jumpa Sevilla sedikit mengecewakan, namun lini depan mereka bisa dibilang tajam dengan dua gol yang bisa diciptakan. Satu hal lain, ada fakta bahwa saat trio Salah-Mane-Firmino bermain bersama, rata-rata Liverpool berhasil mencetak lebih dari satu gol dalam satu pertandingan. Pengecualian mungkin di laga melawan Crystal Palace, di mana mereka hanya menang 1-0 saja.
Selain lini belakang yang rapuh, pekerjaan rumah bagi Klopp adalah membuat serangan mereka lebih efektif untuk meningkatkan produktivitas lini depan Liverpool juga cenderung menurun. Tugas berat bagi Klopp untuk segera memperbaikinya, sebelum kekacauan ini semakin membuat mereka terpuruk.
Baca juga: Alasan Kenapa Liverpool Akan Sulit Juara Bersama Juergen Kloop
Foto: Goal.com, Twitter Liverpool, Istimewa
Komentar