Inggris dan Swedia telah bertemu sebanyak 23 kali. Mereka masing-masing berbagi tujuh kemenangan dan sembilan sisanya berakhir imbang. Dapat dikatakan, laga nanti adalah laga paling penting sepanjang sejarah pertemuan kedua tim.
Kemenangan melawan Kolombia lewat adu penalti menjadi momen bersejarah bagi Inggris. Inggris sudah lima kali tersingkir karena tak mampu memenangi adu penalti di Piala Eropa dan Piala Dunia sejak 1990. Salah satu pemain pernah yang merasakan pahitnya kegagalan itu adalah Gareth Southgate, manajer mereka sekarang. Ia gagal menjalankan tugasnya sebagai eksekutor dalam Piala Eropa 1996.
Salah satu kunci kesuksesan Inggris memenangi adu `tos-tosan` adalah persiapan. Southgate tahu kegagalan demi kegagalan yang terjadi membuat masalah lebih besar dari sekadar teknik dan keberuntungan: kesiapan mental. Southgate pun menyewa seorang psikolog bernama Dr. Pippa Grange yang bertugas mengatasi tekanan mental para pemain di situasi genting.
Mematahkan satu kutukan tak serta merta membuat ujian Inggris berakhir. Mereka dihadapkan dengan bayang-bayang lain (yang juga berlangsung sejak 1990) yaitu tidak pernah lolos ke semifinal Piala Dunia.
Di atas kertas, Inggris sewajarnya bisa mengalahkan Swedia. Namun, melihat permainan sang lawan sejak babak kualifikasi, rasanya adil jika mengatakan bahwa Inggris akan merasakan pertempuran yang membuat frustrasi.
Kelolosan Swedia ke perempat final bukanlah keberuntungan. Butuh proses panjang bagi pelatih Janne Andersson untuk membuat seluruh pemain memahami pola permainan yang diinginkan olehnya.
Sama seperti Inggris, Andersson juga memasukkan seorang psikolog ke dalam skuat. Namanya adalah Daniel Ekvall.
Tugas utama Ekvall di dalam tim adalah menciptakan persatuan. Ia membangun semangat kekeluargaan di antara pemain dan staf. Contohnya, ketika Jimmy Durmaz mendapatkan serangan rasialis beberapa pekan lalu, seluruh anggota tim menyatakan tegas secara terbuka bahwa mereka berada di belakang Durmaz.
Kebersamaan ini menjadi krusial karena turut terimplementasi dalam gaya bermain pragmatis yang diterapkan oleh Andersson. Bahkan, tidak salah juga jika mengatakan bahwa semangat kebersamaan itulah yang membuat Swedia menjadi tim tangguh. Kesebelasan berjuluk Blagult tersebut baru kemasukan dua gol dari empat laga yang telah dijalani sejauh ini. Seluruh gol terjadi ketika mereka kalah 1-2 dari Jerman pada fase penyisihan grup.
Formasi 4-4-2 andalan Andersson merupakan salah satu faktor kunci kepadatan lini belakang dan tengah Swedia. Namun, lebih dari itu, ada kohesi yang nampak jelas dalam permainan tim.
Duet penyerang Ola Toivonen dan Marcus Berg sangat rajin dalam membantu menjaga kedalaman saat bertahan. Namun, ketika melakukan serangan balik, mereka langsung dibantu oleh Emil Forsberg dan Viktor Claesson yang menebar ancaman melalui kedua sayap. Sebastian Larsson dan Albin Ekdal juga kerap muncul dari lini kedua.
Serangan balik Swedia harus menjadi perhatian utama Inggris. Melalui taktik tersebut, Swedia total telah melepaskan 18 tembakan ke arah gawang lawan di Piala Dunia 2018. Padahal, mereka hanya mencatatkan 1.252 operan. Bandingkan dengan Inggris yang melepaskan 17 tembakan kendati jumlah operan suksesnya mencapai angka 2.262.
Terdapat efektivitas dalam pola permainan Swedia. Mereka meyakini bahwa kolektivitas yang dimiliki sanggup mengalahkan tim manapun.
"Kami tidak akan mengubah gaya bermain menghadapi Inggris. Kami tahu cara terbaik memaksimalkan potensi tim," tegas Ekdal.
Swedia bisa jadi semakin percaya diri menjelang laga karena melihat lini belakang Inggris yang cukup keropos. Inggris sudah kemasukan empat gol dalam empat laga. Mereka menjadi satu-satunya kesebelasan di perempat final yang tidak pernah nirbobol.
Untuk memanfaatkan situasi tersebut Swedia harus mengatasi absennya Mikael Lustig yang selalu menjadi starter di pos bek kanan sejak turnamen dimulai. Ia absen karena akumulasi kartu kuning. Ekdal juga masih diragukan tampil.
Masalah tidak hanya ada dalam diri Swedia, Inggris pun harus berbenah. Dari empat laga yang telah dijalani, terlihat jelas bahwa mereka kesulitan menciptakan peluang melalui permainan terbuka. Tujuh dari sembilan gol yang dicetak berawal dan/atau berasal dari bola mati.
Melawan Swedia yang memiliki pertahanan kuat, opsi mencetak gol dari set piece pun bisa jadi senjata utama. Sepak pojok dan tendangan bebas (plus hadiah penalti) akan menjadi pembuka jalan bagi St. George`s Cross untuk membobol gawang Swedia. Intinya adalah bermain pintar dan adaptif.
Southgate selama ini selalu menurunkan formasi 3-5-2 yang secara implementatif berubah menjadi 5-3-2. Akan terdapat sangat banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh Swedia jika tidak waspada.
Mengingat bahwa Kyle Walker, Ashley Young, dan Dele Alli masih dalam kondisi meragukan, bukan tidak mungkin akan terjadi pergantian susunan starter dan formasi. Salah satu opsi yang sangat mungkin diambil adalah menurunkan Marcus Rashford sejak awal, dengan formasi 3-4-3 atau 4-3-3. Hal ini dapat membuat lini belakang dan tengah Inggris lebih stabil, tanpa mengurangi daya serang.
Inggris tentu memiliki pemain-pemain dengan kemampuan individu lebih baik. Hal ini bisa menjadi pembeda dalam pertandingan. Kami memprediksi Inggris akan `berdarah-darah`, tetapi tetap berhasil melaju ke semifinal dengan mengalahkan Swedia lewat skor tipis 2-1.
Komentar