Tottenham Hotspur dan Liverpool ke final Liga Champions UEFA dengan cerita comeback yang luar biasa. Namun di era informasi yang deras seperti sekarang ini, kisah tersebut sudah hampir basi apalagi pada momen menjelang partai puncak ini.
Selama menjadi pelatih, Mauricio Pochettino dan Jürgen Klopp sudah bertemu sebanyak sembilan kali, dengan delapan di antaranya di Premier League. Klopp unggul dengan empat kali menang, Pochettino hanya sekali menang, dan empat sisanya berakhir imbang.
Pada dua pertemuan terakhir, Liverpool selalu menang 2-1. Namun di dua pertemuan sebelumnya, mereka bermain imbang 2-2 (04/02/2018) serta Spurs menang 4-1 (22/10/2017); yang merupakan kemenangan satu-satunya Pochettino atas Klopp sejauh ini.
Sejarah pertemuan seolah berpihak kepada Liverpool. Padahal pada kekalahan Spurs terakhir atas Liverpool (31/03/2019), dua gol Liverpool dicetak karena blunder Hugo Lloris dan Toby Alderweireld. Begitu juga pada kekalahan mereka di September 2018, dua gol Liverpool dihasilkan dari kesalahan penjaga gawang Michel Vorm.
Kedua kesebelasan memang tak luput dari kesalahan, terutama Spurs. Sepanjang musim ini Spurs sudah melakukan 21 kesalahan (terbanyak keenam di liga) yang berbuah enam kali kebobolan. Namun Liverpool juga tak jauh berbeda dengan membuat 18 kesalahan yang berbuah empat kali kebobolan (paling sedikit keempat di liga).
Proses terjadinya gol pertama Liverpool ke gawang Spurs (15/09/2018)
Kesalahan Spurs juga diperjelas pada situasi bola mati. Liverpool punya rutinitas bola mati yang kentara ketika menghadapi penjaga gawang “kecil” seperti Lloris. Mereka melakukan overload di salah satu area (ditandai dengan lingkaran putih pada gambar di atas), sehingga area lain (lingkaran kuning pada gambar di atas) bisa dimanfaatkan melalui second balls atau bahkan, dalam kasus gol di atas, “third balls”.
Maka tak mengagetkan Liverpool bisa mencetak 22 gol dari set play (terbanyak di liga) dengan 14 di antaranya dari corner kick (terbanyak di liga). Khusus situasi bola mati ini, Spurs harus berhati-hati. Jadi mereka tak bisa hanya sekadar bermain bertahan, terutama jika bermain dengan formasi tiga bek.
Jadi jika Spurs tak membuat kesalahan, hasil pada dua pertandingan terakhir mereka mungkin akan berbeda. Sayangnya sejarah tak mengenal pengandaian, dan sepakbola juga bukan lah pelajaran sejarah.
Spurs Mengincar Serangan Balik, Liverpool Menyerang dari Kanan
Sulit memprediksi persis bagaimana Pochettino akan menyetel formasinya. Spurs selalu mengubah formasi ketika menghadapi Liverpool. Pada pertemuan terakhir, mereka memainkan skema tiga bek dengan satu gelandang bertahan (Moussa Sissoko).
Ini membuat Spurs bertahan dalam dengan 5-3-2 sambil meninggalkan banyak ruang di wilayah sayap pada middle third. Kekosongan ini mampu dimaksimalkan dua full-back Liverpool, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson, dalam membangun serangan.
Bisa dipahami kenapa Pochettino bertahan dalam dengan lima bek, karena trio penyerang Liverpool (Sadio Mané, Roberto Firmino, dan Mohamed Salah) lebih sering bermain ke arah dalam, sementara Alexander-Arnold dan Robertson lah yang menjadi pemain sayap yang aktif menyerang.
Lima bek Spurs saat menghadapi trio penyerang plus dua full-back Liverpool (31/03/2019)
Misi Spurs jelas, yaitu mengincar serangan balik ketika kedua full-back lawan sedang pada posisi yang advanced. Sayangnya Klopp juga cerdik merespons taktik Pochettino dengan memadatkan serangan dari salah satu sisi, yaitu sayap kanan.
Ini sudah menjadi patron Klopp, karena dari 422 chances created yang Liverpool ciptakan di Premier League (terbanyak ketiga setelah Manchester City dan Chelsea), sebanyak 40,5% di antaranya dicatatkan dari sayap kanan (persentase terbaik kedua).
Peran Penting Kedua Full-back Liverpool
Dengan mengonsentrasikan serangan dari kanan, Klopp menurunkan James Milner sebagai bek kiri dadakan (mengaver Robertson yang naik), untuk mengantisipasi agar Liverpool tidak kalah jumlah pemain saat Spurs melakukan serangan balik.
Ini juga membuat Liverpool memiliki opsi lebih banyak ketika ingin mengganti arah sayap penyerangan dari kanan ke kiri. Robertson dan Mané bisa beberapa kali mengekploitasi sisi kanan Spurs yang hanya diisi Kieran Trippier.
Build-up gol Roberto Firmino ke gawang Spurs (31/03/2019)
Masalahnya, jika Trippier mengikuti pergerakan Mané yang seringnya menyayap, Robertson jadi mendapatkan ruang untuk melakukan crossing.
Pada pertandingan itu, Firmino berhasil mendapatkan bola dari Robertson untuk mencetak gol. Namun pada kesempatan lain, umpan silang Liverpool tak selalu mengenai sasaran, tapi tetap bisa dimaksimalkan karena memanfaatkan second balls.
Tak heran, dengan skema seperti itu sepanjang musim ini Liverpool mencatatkan 173 umpan silang sukses (terbanyak ketiga), meski memang lebih sering mereka luncurkan dari kanan (55,8%). Alexander-Arnold (12 asis) dan Robertson (11) juga menjadi pemain bertahan yang paling banyak mencatatkan asis.
Penyerang Spurs Sebagai Pemantul
Pochettino kelihatan kerepotan menghadapi high pressing Liverpool. Itu membuat mereka sulit melakukan build-up dari belakang. Masalahnya, jika Spurs mengirimkan bola panjang ke depan, Liverpool kemungkinan akan memenangi bola udara karena memiliki Virgil van Dijk dan Joel Matip yang memiliki tinggi badan di atas rata-rata.
Alih-alih mengirim bola panjang langsung ke sayap, Spurs mengakali ini dengan menyuruh penyerang (terutama Harry Kane) turun ke middle third. Bola kemudian dikirimkan kepada Kane, untuk memantulkannya kepada Bamidele Alli atau Son Heung-min di area sayap.
Dengan cara ini juga Spurs mampu mengeksploitasi wilayah sayap Liverpool yang ditinggalkan oleh Alexander-Arnold dan Robertson.
Build-up gol Lucas Moura ke gawang Liverpool (31/03/2019)
Jika Spurs gagal mendapatkan serangan balik cepat (pemain Liverpool sudah kembali ke defensive third), maka Spurs akan menghujani kotak penalti dengan umpan-umpan silang. Pada pertandingan itu Spurs mencatatkan 13 umpan silang (Liverpool 17). Gol Lucas Moura dicetak dengan cara seperti ini.
Cara ini memang efektif bagi Spurs yang minim SDM (karena tak aktif di dua jendela transfer). Dengan dikombinasikan kemampuan operan Kane, skema ini sering menguntungkan bagi Alli dan Son (bukan bagi Alisson) yang melakukan run in behind, terutama jika Spurs memainkan 4-4-2 berlian (skema yang sering dipakai untuk menjejalkan lini tengah sejak kehilangan Mousa Dembélé).
Susunan Pemain Memengaruhi Perang Taktik
Perang taktik akan dimulai jauh dari sebelum konferensi pers sampai ketika daftar susunan pemain diisi oleh Pochettino dan Klopp. Kemudian perang taktik akan berlanjut sepanjang pertandingan.
Ini yang membuat kami sulit memprediksi susunan sebelas pemain utama kedua kesebelasan, karena hal sesederhana itu saja bisa memengaruhi bagaimana cara keduanya bermain dan saling merespons taktik.
Pertanyaan pertama: Apakah Pochettino akan memainkan skema tiga bek atau empat bek? Pertanyaan berikutnya: Apakah Kane dan Firmino akan memulai pertandingan?
Pemilihan tiga atau empat bek menjadi penting bagi Pochettino. Jika dia memainkan tiga bek, Spurs akan bertahan dengan 5-3-2, yang membuat trio penyerang plus dua full-back Liverpool memiliki penjaganya masing-masing. Dengan cara ini, Spurs akan nyaman bermain dengan counter-attack.
Sementara jika Pochettino memakai formasi empat bek, penyerang Liverpool bisa bermain melebar untuk meregangkan pertahanan Spurs. Atau penyerang Liverpool (terutama Firmino) bisa juga bergerak turun memancing penjagaan salah satu bek tengah Spurs agar ruang kosongnya bisa dieksploitasi salah satu dari penyerang sayap Liverpool.
Berikutnya soal Kane dan Firmino. Mereka berdua dikabarkan sudah fit untuk final. Akan ada sedikit perbedaan apakah Firmino akan bermain sebagai starter atau tidak. Hal yang akan banyak berbeda adalah soal Kane.
Jika Kane menjadi starter, Spurs bisa bermain dengan 4-2-3-1 dengan Moura dan Son melebar. Skema ini mempersilakan kedua pemain sayap Spurs untuk memanfaatkan ruang kosong di belakang full-back Liverpool secara konstan.
Kemudian saat ditekan, skema ini juga bisa membuat Spurs memiliki opsi operan lebih banyak, baik langsung ke arah sayap maupun kepada Kane untuk selanjutnya memantulkan bola ke sayap.
Jika Kane tak menjadi starter, Spurs diperkirakan akan memakai formasi 4-4-2 berlian yang sewaktu-waktu bisa bertransformasi menjadi 4-3-3 dengan Son dan Moura sebagai penyerang yang menyayap, serta Alli sebagai gelandang serang versatile.
Kami merasa jika Kane mungkin akan disimpan di bench dan bermain di babak kedua, lebih karena ada sosok lain yang berperan penting membuat mereka lolos ke final: Lucas Moura. Hal yang sama juga berlaku bagi Divock Origi untuk Liverpool meski kami tak terlalu yakin.
Formasi tiga bek memang akan membuat Spurs konsentrasi memainkan counter-attack, tapi itu bukan cara yang nyaman karena Liverpool akan mudah dan intens melakukan high-press, memaksa Spurs mengirimkan bola panjang. Cara ini mungkin akan efektif hanya jika Spurs sedang unggul.
Prediksi
Pada berbagai skenario, Liverpool kelihatannya akan lebih banyak mengontrol pertandingan, yang membuat mereka bisa unggul atau terkena serangan balik. Ini adalah pertandingan yang sangat menjanjikan secara taktis.
Hal tidak menarik akan tersaji jika Spurs bermain bertahan (jika mereka memulai pertandingan dengan formasi tiga bek) dan mengincar satu gol yang kemungkinan akan datang menjelang akhir pertandingan. Namun pendekatan pilihan taktik adalah hak prerogatif kedua pelatih.
Secara umum, Liverpool lebih diunggulkan. Mereka bisa saja menang tipis 2-1. Hal berbeda akan terjadi jika Spurs unggul terlebih dahulu. Karena jika itu terjadi, Liverpool akan menyerang mati-matian dan Spurs akan menunggu celah untuk counter-attack sehingga Spurs bisa saja menang 2-0.
Kita mungkin tak akan melihat banyak gol pada pertandingan di Wanda Metropolitano (Madrid) ini, tapi perang taktik yang menarik berpotensi membuat jiwa dan raga tetap semangat menemani sahur nanti.
Komentar