Nama Cahya Supriadi semakin sering terdengar di telinga pecinta sepak bola Indonesia. Kiper ini disebut-sebut sebagai salah satu prospek terbaik di bawah mistar gawang Garuda. Karir Cahya di sepak bola, rupanya dimulai dari akar rumput di Cikampek.
Ia bercerita sering menangis di masa kecilnya karena tak diajak main bola di daerah masa kecilnya tersebut. Sampai akhirnya, sang kakak membawa Cahya masuk ke dunia yang kini menjadi jalan hidupnya. "Melihat saya seperti itu, kakak saya langsung mendaftarkan saya ke SSB. Beliau sudah meninggal, tapi inspirasinya masih membekas. Saya sering melihat dia jatuh bangun di lapangan. Dari situ, saya mulai sadar bahwa sepak bola bukan cuma permainan, tapi juga bisa jadi tanggung jawab dan masa depan," kenang Cahya seperti dikutip dari Kita Garuda.
Ia pun bergabung dengan Persija Jakarta U-16 pada 2018 dan berhasil promosi ke skuad senior pada Indonesia Super League 2021/22 sekaligus dipanggil Indonesia U-19 dan U-20. Di momen inilah Cahya bermain dan bersaing langsung dengan idolanya, Andritany Ardhiyasa.
"Itu mimpi yang jadi kenyataan. Saya sering nonton dia sejak kecil. Bisa satu tim dan bersaing dengannya, jadi salah satu pencapaian besar buat saya," kata Cahya.
Andritany dan Cahya. Sumber: Bolasport
Namun menit bermainnya di tim utama Persija semakin menipis setelah klub itu mendatangkan Carlos Eduardo. Cahya yang membutuhkan menit bermain, meninggalkan Persija ke FC Bekasi City pada Agustus 2024. Pemain kelahiran 11 Ferbruai 2003 ini pun selalu menjadi andalan nomor satu untuk mengawal gawang Bekasi.
Nama Cahya semakin dikenal ketika menjadi kiper inti Indonesia pada ajang ASEAN Championship 2024. Musim lalu itu juga, ia mencatatkan 10 nirbobol dan kebobolan 8 kali bersama Bekasi di Liga 2. Cahya pun mengakhiri musim 2024/25 dengan menunjukan kualitasnya di level klub maupun tim nasional (timnas) kelompok umur.
Potensinya itu membuat PSIM merekrutnya untuk mengarungi Indonesia Super League 2025/26. "Saya ingin terus dipercaya timnas, baik level muda maupun senior. Itu target saya, terus berproses, berkembang, dan memberikan yang terbaik untuk negara ini," tegas Cahya.
Kepastian merapatnya Cahya ke PSIM sudah dibocorkan akun Timnas Indonesia yang kebetulan merilis daftar 30 pemain untuk menjalani pemusatan latihan U-23. Awalnya, Cahya diperkirakan akan menjadi kiper kedua setelah Harlan Suardi.
Pada kenyataannya, Cahya dipercaya Paul van Gastel sebagai penjaga gawang utama di tiga pertandingan awal Super League musim ini. Cahya pun membuktikannya dengan penampilan gemilang. Ia menjadi kiper lokal termuda yang menjadi pemain inti di musim ini.
Kepercayaan Gastel berbuah manis karena berhasil nirbobol melawan Persebaya Surabaya pada partai pembuka. Dalam tiga pertandingan, ia hanya kebobolan dua gol. Momen ikonik pun lahir saat menghadapi Persib Bandung di Stadion Sultan Agung Bantul, Minggu (24/8).
Momen ikonik itu didapatkan saat Cahya menghadapi eksekusi penalti Marc Klok. Cahya sempat mengganggu konsentrasi Klok sehingga marah dan berteriak ke arahnya. Cahya pun langsung mundur menuju garis gawang. Ketika Klok ancang-ancang menendang bola ke arah kiri gawang, saat itu juga Cahya membaca gerakan tubuh lawannya, menebak arah bola, lalu melemparkan tubuhnya ke sisi kanan gawang.
Kiper berusia 22 tahun itu pun berhasil menepis tendangan penalti Klok. Bola yang meluncur deras berhasil ditepis dengan kakinya, sekaligus menggagalkan kemenangan Persib di ujung laga. Sore itu, Cahya menjadi pahlawan bagi PSIM. "Mungkin hasil ini mengecewakan karena kehilangan poin di kandang sendiri. Tapi tetap harus disyukuri dapat satu poin. Bersyukur juga jadi man of the match di laga ini. Ini adalah berkat kerja keras latihan semua pemain yang saya terapkan di pertandingan," ujarnya seperti dikutip dari situs I League.
Sekarang, PSIM bertengger di posisi tujuh klasemen semetnara dengan koleksi lima poin. Cahya juga sedang memetik buah dari keputusan sulit yang diambilnya pada 2024. "Bersyukur bisa mendapatkan menit bermain di sini. Dan saya harus kerja keras untuk bisa dapat menit lebih banyak," ujar kiper setinggi 1,7 meter ini seperti dikutip dari Bola Sport.
Penampilan impresif Cahya di bawah mistar PSIM pun berbuah manis. Ia kembali dipanggil untuk bergabung dengan Indonesia U-23 untuk menghadapi Kualifikasi Piala Asia U-23 2026. "Alhamdulilah saya diberi kesempatan lagi untuk bergabung dengan Timnas U-23. Semoga ini menjadi acuan saya untuk lebih baik lagi ke depannya. Saya berharap bisa memaksimalkan apa yang saya bisa di Timnas, dan akan membawa pelajarannya untuk diterapkan ke klub," tutur Cahya seperti dikutip dari situs PSIM.
Lalu bagaimana sebenarnya kemampuan Cahya, apa keunggulan dan kekurangannya, serta sejauh mana ia cocok dengan kebutuhan taktik modern di PSIM maupun Indonesia?
Reaksi Cepat dan Refleks Andal Distribusi Bola: Masih Perlu Konsistensi
Salah satu kualitas utama Cahya adalah reaksi cepatnya. Dalam beberapa penampilan bersama klub maupun tim nasional, ia memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam membaca arah bola, terutama pada situasi satu lawan satu. Refleksnya membuat Cahya sering kali bisa menepis peluang matang lawan.
Kualitas ini sangat penting di sepak bola Indonesia, di mana lini belakang kerap kecolongan ruang akibat transisi yang lambat. Kehadirannya di bawah mistar memberi rasa aman karena ia mampu mengantisipasi peluang-peluang mendadak.
Sumber: Baca Jogja
Di era sepak bola modern, kiper tidak hanya dituntut menghalau bola, tetapi juga menjadi penginisiasi serangan. Gastel di PSIM, menekankan build-up dari bawah. Dalam konteks ini, distribusi bola Cahya masih perlu diasah lebih konsisten. Gastel pasti membutuhkan kiper yang tidak hanya sigap dalam shot-stopping, tetapi juga berani menjadi titik awal serangan PSIM.
Cahya memiliki pondasi untuk itu, walau masih butuh jam terbang dan pembinaan intensif. Ia sendiri punya keberanian melepaskan umpan ke sisi sayap maupun lini tengah, tetapi akurasi dalam tekanan lawan masih naik-turun.
Dengan pembinaan lebih lanjut, Cahya bisa mengembangkan diri menjadi kiper modern yang mampu terlibat aktif dalam sirkulasi bola.
Mentalitas dan Leadership
Meski usianya baru 22 tahun, Cahya menunjukkan ketenangan dan komunikasi yang baik dengan lini belakang. Mentalitas ini terasah karena ia cukup sering tampil di kompetisi usia muda maupun senior internasional. Namun di level senior, tantangannya akan berbeda.
Mengawal gawang PSIM dan Indonesia di hadapan puluhan ribu suporternya tentu membutuhkan konsistensi mental yang lebih kuat. Di sinilah peran menit bermain reguler sangat penting untuk pertumbuhan kariernya. PSIM bisa menjadi tempat ideal bagi Cahya untuk berkembang karena memberikan panggung yang lebih besar untuknya.
Di timnas, kehadiran Cahya memberi alternatif segar selain kiper senior seperti Ernando Ari dan Nadeo Argawinata. Dengan regenerasi yang terus berjalan, Cahya berpotensi menjadi salah satu pilar utama Garuda dalam lima sampai tahun ke depan jika naturalisasi membabi buta terus berlanjut.
Pemain bernomor punggun 19 ini adalah gambaran harapan baru di bawah mistar Indonesia. Refleks cepat, mentalitas matang, serta usia yang masih muda membuatnya punya prospek cerah. Tantangan ke depan adalah bagaimana Cahya bisa berkembang dalam aspek distribusi bola, konsistensi, dan kepercayaan diri menghadapi tekanan besar.
Jika proses pembinaan berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin ia akan menjadi kiper utama Indonesia di masa mendatang.