Mukhlis sempat tak bisa mengatakan apa-apa. Kemudian tak ada yang menyangka, pria asal Ternate itu menitikkan air matanya di hari penutupan Kursus Kepelatihan Lisensi D Nasional itu. Enam hari yang awalnya mungkin diharapkan segera cepat berakhir agar bisa memulai karier jadi pelatih atau kembali pada rutinitasnya, menjadi enam hari yang terasa sangat singkat dan terlalu cepat berakhir baginya.
Mukhlis bukan satu-satunya calon pelatih yang menangis di hari terakhir kursus kepelatihan yang diselenggarakan Villa 2000 Football Academy yang berlokasi di Tangerang Selatan ini. Sebelumnya, Saniman, bapak berusia 53 tahun, peserta tertua pada kursus kepelatihan ini, juga tak kuasa membendung air matanya ketika mengakhiri sesi latihan praktik.
Selama enam hari, kami para calon pelatih masa depan Indonesia, memang tidak berjalan sendiri-sendiri. Selain adanya suatu kewajiban untuk membuat kelompok (yang berjumlah 4-5 orang) untuk sesi praktik, ke-28 peserta kepelatihan ini menjalin kekerabatan yang membuat kami semua mengenal satu sama lain.
Para peserta yang mengikuti kursus kepelatihan ini datang dari segala penjuru. Mukhlis yang dari Ternate bukan yang terjauh, tapi ada juga peserta lain yang datang jauh-jauh dari Timika, Samarinda, Palembang, Medan, atau Malang. Bahkan ada satu peserta yang merupakan keturunan Amerika-Indonesia.
Tapi meski asal daerah kami berbeda, kami semua satu tujuan, yaitu memajukan sepakbola Indonesia di masa depan.
***
Pada awal Agustus 2017 ini, tepatnya dari tanggal 6 Agustus hingga 11 Agustus, saya mengikuti kursus kepelatihan lisensi D Nasional. Lisensi D ini merupakan langkah awal bagi siapapun, khususnya yang bukan (mantan) pesepakbola profesional, untuk memulai karier jadi pelatih sepakbola.
Cerita pada paragraf awal di atas benar-benar tak saya sangka. Di hari pertama kursus, yang ada di pikiran saya kursus kepelatihan ini, yang hanya enam hari itu, mungkin hanya waktu yang singkat bagi "orang-orang asing" yang sama-sama bercita-cita jadi pelatih. Tapi ternyata lebih dari itu.
Kekeluargaan terjalin cukup erat di antara setiap pesertanya. Mungkin pertemuan dan segala kegiatan dari pukul 7 pagi hingga 5 sore selama enam hari membuat semua peserta menjadi lebih cepat akrab. Apalagi bagi 11 orang yang menginap di mes dekat lapangan dan kelas kepelatihan, bisa dibilang hampir selama 150 jam bersama-sama. Mukhlis dan Saniman termasuk di dalam 11 orang tersebut. Pun begitu dengan saya.
Dengan kebersamaan seperti itu, tak heran para peserta saling bertukar cerita di saat istirahat. Dari situ juga saya mendapatkan bahwa para calon pelatih ini punya mimpi yang sama, yaitu memajukan sepakbola Indonesia di masa depan. Mayoritas dari mereka prihatin dengan situasi sepakbola Indonesia saat ini yang kering prestasi dan hanya menimbulkan kontroversi.
Dari cerita-cerita mereka juga, saya mendapati ternyata banyak dari mereka yang masih menaruh harapan besar pada sepakbola. Saya bercita-cita menjadi pelatih karena saya ternyata tak bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi pesepakbola profesional. Ini juga yang dirasakan oleh banyak dari peserta kursus kepelatihan lisensi D nasional kemarin.
Kalian pasti asing dengan nama Dyangga Yureztyo. Saya yang cukup berkutat dengan berita-berita sepakbola nasional pun cukup asing dengan namanya. Tapi ternyata setelah mengenal lebih jauh, Dyangga adalah pesepakbola yang sempat malang melintang di sejumlah kesebelasan divisi dua Indonesia seperti Persikad, Persikabo, PS Bengkulu, PS Bangka, Villa 2000 hingga Persitara. Mendengar cerita darinya, ia pun mengikuti kursus kepelatihan lisensi D tersebut agar bisa memulai kariernya sebagai pelatih setelah ia terancam gagal melanjutkan karier sebagai pesepakbola profesional.
Jika saya dulu tak bisa melanjutkan SSB gara-gara cedera pergelangan kaki yang cukup lama, Dyangga juga terancam kehilangan harapannya untuk bisa berkarier sebagai pesepakbola karena cedera yang didapatnya pada 2016 lalu. Saat itu ia masih bermain untuk Persikad Depok di ajang ISC B. Saat libur kompetisi, ia mengikuti tarkam. Di situlah ia mendapatkan cedera ACL yang membuatnya harus dioperasi.
"Sebenernya salah saya gak bisa jaga kondisi dan atur waktu. Pas kompetisi selesai, banyak ikut tarkam. Saya gak pinter ngatur waktu istirahat dan latihannya. Mungkin pas ototnya gak siap, kena benturan," beber Dyangga. "Awalnya cedera di Jasinga Bogor, bener-bener parah pas di open tournament di Krukut, Depok."
Dyangga sendiri saat ini masih berusaha untuk sembuh agar bisa kembali melanjutkan kariernya. Tak heran memang, karena 12 tahun yang lalu, ia sempat masuk timnas Indonesia U-17. Saat itu ia dipanggil bersama nama-nama lain yang kariernya "lebih beruntung" darinya saat ini seperti Ramdani Lestaluhu, Rachmat Latief, Ricky Ohorella, Okto Maniani, Syamsir Alam, hingga Hendro Siswanto yang bisa mencapai level top. Meski begitu, ia sadar dengan kakinya yang cedera itu ia harus mengantisipasi untuk tetap "hidup" di sepakbola, yaitu mulai merintis karier sebagai pelatih.
Dyangga ada di barisan kedua pada foto di atas
Jika Dyangga baru cedera belum lama ini, Egi Hermawan yang juga peserta kursus kepelatihan lisensi D kemarin punya cerita yang lebih tragis. Egi harus memupus harapannya untuk terus menjadi pesepakbola profesional karena cedera yang ia derita pada 2012 lalu. Ketika itu, Egi yang membela Persita Tangerang U21, diterjang oleh pemain Pelita Jaya U21 yang kini membela Semen Padang, Irsyad Maulana, hingga kaki kanannya patah.
Bersambung ke halaman berikutnya....
Halaman kedua
Padahal saat itu Egi sudah di ambang pintu memulai hidup sebagai pesepakbola profesional. Pada musim 2011/2012, ia sudah menjadi bagian skuat senior Persita yang dihuni pemain-pemain seperti Mukti Ali Raja, Tema Mursadat, Dominggus Fakdawer, Maman, Junaidi, Rizky Pora, serta pemain-pemain asing seperti Luis Edmundo Duran, Kang Hyun-kim dan Christian Carrasco. Tapi pada pertengahan musim, dengan usianya yang masih 20 tahun, Egi (bersama Sirvi Arvani) masih bisa membela Persita U21. Saat itulah ia mendapatkan cedera patah kaki.
"Waktu itu saya dikontrak Persita senior. Habis putaran pertama libur kompetisi, saya diperbantukan ke Persita U21, tiga orang bersama Ferdiansyah dan Sirvi Arvani, karena umur masih di bawah U21. Nasib berkata lain, pas lawan Pelita kaki saya benturan dengan Irsyad Maulana," kenang Egi.
Egi Hermawan (18) saat membela Persita U21
Andai tak cedera, kita mungkin mengenal Egi lain selain Egi Melgiansyah yang juga sama-sama dari Tangerang. Apalagi sebelum cedera itu, Egi yang bisa ditempatkan sebagai gelandang maupun penyerang ini sempat terpilih mengikuti pelatnas timnas U23 yang dilatih Rahmad Darmawan. Saat itu pria kelahiran 29 September 1992 ini membela Tangerang Wolves di Liga Prima Indonesia (IPL).
Tapi setelah cedera, Egi akhirnya menyerah sebagai pemain. Ia kemudian langsung banting stir menjadi pelatih. Meski tanpa lisensi, ia sempat melatih beberapa tim sampai akhirnya saat ini menjadi asisten pelatih untuk Porprov Kab. Tangerang. Dengan lisensi yang ia punya sekarang, Egi berharap bisa mulai menjajaki tangga kepelatihan hingga akhirnya menjadi pelatih top.
Lain Egi, lain Harold Dean Bartlett. Pria keturunan Amerika Serikat yang juga ikut kursus kepelatihan lisensi D kemarin mungkin bukan pemain pro layaknya Dyangga atau Egi. Tapi pemuda berusia 19 tahun ini pun berencana banting stir menjadi pelatih karena saat kuliah di Amerika Serikat, tepatnya di Shoreline Community College, Seattle, ia menderita cedera sobek otot betis (soleus) saat masih jadi pemain. Tak hanya itu, sempat bermain satu pertandingan, ia kembali menderita cedera kepala.
"Otot `soleus` robek, gak sembuh total, dipaksa main (kiper). Terus concussion (kepala mendapatkan benturan) saat pertandingan pramusim melawan Peninsula College. Trauma cedera lumayan lama," kata Dean.
Dean saat membela timnya di Amerika Serikat
Tapi sama seperti Dyangga dan Egi, cedera tak membuat Dean menyerah di sepakbola. Meski masih muda, ia bercita-cita menjadi pelatih hebat di masa depan. Bahkan pemuda yang lama tinggal di Indonesia ini bercita-cita memajukan sepakbola Indonesia dengan berencana membangun Sekolah Sepak Bola.
"Saya sudah main di Indonesia dan di Amerika. Sempat punya pelatih Amerika dan Indonesia. Saya ingin belajar tentang `cara` coaching dan concept sepakbola di Indonesia. Nanti saya ikut juga di Amerika dan saya akan ambil poin-poin yang bagus," tutur Dean. "Suatu hari saya ingin jadi pelatih full time. Kapan? Saya tidak tahu. Tapi cita cita saya untuk masa depan adalah untuk mempunyai SSB sendiri atau berlatih di level yang tinggi."
***
Dari cerita rekan-rekan saat kursus kepelatihan lisensi D kemarin, saya akhirnya memahami tangisan Mukhlis atau pun Pak RT (panggilan kami terhadap pak Saniman). Pada dasarnya, kami semua punya harapan yang besar pada sepakbola Indonesia, dan kami semua punya momen-momen yang kurang mengenakkan di sepakbola. Tapi kami merasa beruntung bisa mendapatkan ilmu dan rekan-rekan yang memiliki cerita luar biasa dari enam hari yang sangat berharga ini.
Baca juga: Cara dan Tahapan Mendapatkan Lisensi Pelatih Sepakbola di Indonesia
Selain Dyangga, Egi, dan Dean, masih banyak lagi peserta lain yang gagal sebagai pemain dan hendak beralih menjadi pelatih. Ada yang mantan pemain Persik junior, mantan pemain Pra-PON Samarinda seangkatan Sultan Samma, mantan pemain Persib junior seangkatan Cecep Supriyatna, hingga mantan pemain Deltras Sidoarjo yang menjadi mentor Hariono.
Yang jelas, meski kaki-kaki mereka yang "rusak" tak sanggup lagi membuatnya berlari di lapangan hijau, mereka semua punya mimpi-mimpi yang indah; agar di masa depan, sepakbola Indonesia punya prestasi membanggakan dari lapangan hijau.