Pada 2003, sekelompok pemuda yang baru selesai rehabilitasi dari ketergantungan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adikif lainnya), membangun Rumah Cemara dengan tujuan agar kelak masyarakat Indonesia bisa melepaskan stigma tentang orang-orang yang baru sembuh dari ketergantungan obat-obatan terlarang dan zat adiktif. Sekarang, mimpi itu masih dijaga dan dirawat sedemikian rupa.
Orang-orang yang pernah mencoba, merasakan, atau ketergantungan narkotika dan zat adiktif, lazimnya akan mendapatkan cap yang buruk dari masyarakat. Ini tak lepas dari stigma yang sudah menempel di masyarakat bahwa orang-orang seperti itu harus dijauhi, karena dapat memberikan pengaruh yang buruk di masyarakat. Stigma yang bahkan mungkin bertahan hingga kini.
Namun pada dasarnya orang-orang yang pernah ketergantungan NAPZA, atau orang-orang yang terpinggirkan sebenarnya bukan pribadi yang harus dijauhi oleh masyarakat. Seharusnya, orang-orang seperti itu didukung, diberikan semangat, dan dibantu baik itu secara lahir dan batin agar dapat menjalani kehidupan selayaknya masyarakat pada umumnya. Mereka itu sama, manusia yang ingin menjadi lebih baik di masa depan.
Berangkat dari semangat ini, sekelompok pemuda yang pernah ketergantungan NAPZA dan baru sembuh dari rehabilitasi, membangun Rumah Cemara pada 2003 silam. Mereka berharap, Rumah Cemara dapat menjadi tempat bagi orang-orang yang pernah punya masa lalu kelam, untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Mereka juga tak henti menyuarakan satu semangat, dari awal mereka berdiri sampai sekarang: Indonesia Tanpa Stigma!
Sepakbola, cara menyuarakan semangat Indonesia Tanpa Stigma!
Menghilangkan sebuah stigma adalah hal yang susah-susah gampang untuk dilakukan. Tapi bukan berarti itu adalah hal yang mustahil. Banyak yang bisa dilakukan untuk menghilangkan stigma, salah satunya adalah lewat sepakbola.
Aditia Taslim, salah satu founder dari Rumah Cemara, menyebutkan bahwa sepakbola adalah olahraga yang unik. Dalam pandangannya, dan juga mungkin pandangan masyarakat kebanyakan, sepakbola adalah olahraga yang mampu mengubah banyak hal. Ketika seseorang berdiri di atas lapangan sepakbola, orang tidak akan memandang dari mana orang tersebut berasal. Ini sesuai dengan perwujudan mimpi Rumah Cemara, bahwa Indonesia Tanpa Stigma.
"Sepakbola bisa mengubah banyak hal, oleh karena itu lewat sepakbola juga kami ingin mewujudkan Indonesia Tanpa Stigma. Di lapangan sepakbola, semua sama rata dan tidak ada perbedaan di dalamnya. Semua sama. Semangat di lapangan sepakbola inilah yang ingin kita tularkan kepada semua pihak," ujar Adit di sela-sela acara pelepasan timnas Indonesia yang akan bertanding di Homeless World Cup di Oslo, Norwegia, 29 Agustus sampai 5 September mendatang.
Aditia Taslim, salah satu sosok penggagas dibangunnya Rumah Cemara
Berangkat dari semangat tersebut, maka Rumah Cemara pun secara rutin mengirimkan pemain-pemain yang berlaga di Homeless World Cup sejak 2010 silam (meski pada 2010 urung diberangkatkan karena keterbatasan dana). Enam kali berlaga di Homeless World Cup sejak 2011 silam, prestasi dari timnas Indonesia pun bisa dibilang cukup membanggakan.
"Program kami dalam mewujudkan mimpi Indonesia Tanpa Stigma adalah dengan sepakbola. Sejak 2010, kami rutin mengirimkan 10 orang untuk mengikuti Homeless World Cup (meski 2010 urung berangkat karena keterbatasan dana). Sudah tujuh kali kami ikut ajang ini."
"Sepakbola adalah alat untuk mewujudkan mimpi bahwa Indonesia Tanpa Stigma. Saya harap teman-teman yang pernah berangkat ke Homeless World Cup bisa menyebarkan semangat ini, semangat Indonesia Tanpa Stigma. Dukungan dari berbagai pihak pun dibutuhkan agar mimpi dan semangat ini tidak mati," ungkapnya.
Mimpi, semangat, dan harapan yang masih terus berlanjut
Untuk 2017 ini, timnas Indonesia akan kembali bertarung dalam ajang Homeless World Cup yang dilangsungkan di Oslo, Norwegia, pada 29 Agustus sampai 5 September mendatang. Persiapan pun sudah dilakukan, dan sudah terpilih delapan pemain yang akan bertarung di ajang yang rutin berjalan tiap tahun tersebut. Manajer timnas HWC, Yana "Jimi" Suryana pun mengungkapkan bahwa timnas Indonesia HWC sudah menetapkan target dalam ajang tersebut.
"Menyoal target, kita melihat dari awal seleksi di Surabaya pada 30 April sampai 3 Mei. Di sana kita bikin liga namanya League of Change, di dalamnya seleksi dipantau oleh pelatih yang sudah berpengalaman."
"Dengan program yang sudah kami berikan, kita dapat melihat dari kondisi atletnya, persiapan dari atlet-atletnya, kami berani menargetkan juara ketiga. Kami berangkat tanggal 25 Agustus, untuk proses aklimatisasi cuaca, dan tanggal 29 Agustus kita sudah siap berkegiatan dan bertanding," ujar Jimi.
Yana `Jimi` Suryana, manajer timnas Indonesia HWC 2017
Untuk pendanaan sendiri, timnas Indonesia HWC kali ini didukung oleh beberapa sponsor. Beberapa sponsor bahkan terhitung adalah lembaga atau perusahaan yang besar, seperti Kemenpora, Pertamina, Clasico, serta BJB. Untuk komposisi pemain pun, timnas HWC sekarang dihiasi oleh beragam pemain yang berasal dari enam provinsi yang berbeda, dengan isu Kebhinekaan yang mereka bawa ke Norwegia.
"Untuk pendanaan, kami masih didukung beberapa sponsor. Ada dari BJB, Kemenpora, Pertamina, dan Clasico juga. Mereka yang mendukung kami dari segi pendanaan."
"Sedangkan untuk komposisi pemain, ada berbagai macam latar belakang. Namun ada kriteria tertentu, seperti teman-teman yang kena HIV, kaum-kaum marjinal, miskin kota, dan ada juga petani yang ikut untuk tahun ini. Selain itu, kita juga ingin memperlihatkan bahwa meski kita termarjinalkan, kita bisa membawa isu kebhinekaan di luar negeri nantinya. Ini aksi dari kami, untuk meredakan isu gesekan di negara sendiri. Apalagi sekarang delapan pemain kami berasal dari enam provinsi. Pas untuk bawa isu kebhinekaan," ujar Jimi.
bersambung ke halaman selanjutnya
Kehidupan yang harus berlanjut setelah HWC
HWC memang menjadi sebuah momentum yang pas untuk menggemakan semangat Indonesia Tanpa Stigma. Lewat sepakbola, olahraga yang bisa dibilang cukup memasyarakat, semangat Indonesia Tanpa Stigma bisa digelorakan. Namun seperti yang Socrates, pemain kenamaan Brasil pernah katakan, bahwa sepakbola hanya berjalan selama 90 menit, sedangkan kehidupan akan terus berlanjut sampai kita meninggal kelak.
Begitu pun dengan para pesepakbola yang ikut dalam ajang HWC. Kehidupan mereka sebagai manusia akan tetap berlanjut meski HWC sudah usai. Di situlah terkadang, ada beberapa momen yang ternyata mencerminkan bahwa ajang HWC tidak serta merta mengubah pemain menjadi lebih baik. Jimi pun mengakui hal ini, bahwa tidak semua pemain yang pernah ikut HWC, menjadi lebih baik sepulangnya mereka dari ajang HWC.
"Sejak dulu, hasilnya variatif (sepulang dari HWC). Ada positif ada negatifnya juga. Ada yang ketika pulang kembali pakai obat, dipenjara lagi, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Namun ada juga yang berkembang, jadi ambassador (Indonesia Tanpa Stigma), malah ikut menjadi bagian dari timnas futsal. Tapi pada intinya semua balik lagi kepada para pemain sendiri," ujar Jimi.
Adit pun mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Dirinya selaku dari pihak Rumah Cemara pun kerap memberikan bantuan bagi para pemain yang pernah main di HWC agar memiliki kegiatan, kesibukan, ataupun pekerjaan ketika mereka sampai di Indonesia. HWC hanyalah momentum, namun tantangan yang muncul adalah setelah ajang HWC itu sendiri. Tentang bagaimana menyebarkan semangat Indonesia Tanpa Stigma yang menjadi mimpi yang sudah dirawat sekian lama.
"HWC hanya momentum bagi para pemain. Realita adalah ketika pemain kembali ke kehidupan mereka. Yang sudah kami lakukan selama ini adalah kami membuka jalur bagi teman-teman yang pernah ikut, salah satunya berupa jalur atlet, sehingga pemain jadi ada kegiatan (sepulang ke Indonesia)."
"Sekarang kami ingin bahwa perubahan tidak hanya dari HWC saja, tapi bagaimana ke depannya. Di sinilah kerja sama dengan semua pihak diperlukan agar program pengembangan pemain bisa terlaksana. Hal ini menjadi tantangan bagi kami tersendiri," ujar Adit.
Menghilangkan stigma adalah pekerjaan yang sulit. Selama orang-orang masih mengedepankan prasangka mereka akan sesuatu, maka menghilangkan stigma masih tetap akan menjadi angan-angan semata. HWC hanyalah tonggak awal. Sisanya adalah bagaimana kita, sebagai umat manusia, tidak memandang manusia menggunakan prasangka. Pada intinya, semua manusia sama, dan semua manusia pasti ingin menjadi manusia yang lebih baik ke depannya.
Oleh karena itu, kini dan nanti, mari kita kembali suarakan satu semangat yang sudah dirawat oleh Rumah Cemara sejak 2003 silam. Indonesia Tanpa Stigma!