Paris Saint-Germain (PSG) secara mengejutkan mendatangkan gelandang berusia 32 tahun, Lassana Diarra. Diarra dikontrak selama 18 bulan ke depan oleh PSG. Sebelumnya, pemain asal Prancis ini membela kesebelasan asal Uni Emirat Arab, Al Jazira, yang dibelanya hanya dalam jangka waktu delapan bulan dengan mengakhiri kontraknya lebih cepat.
Diarra beruntung saat dirinya sedang tak punya klub, PSG yang kini telah menjadi kesebelasan besar datang merekrutnya. Padahal namanya sudah mulai tenggelam. Terlebih usianya yang sudah mendekati akhir karier akan membuat banyak pihak meragukan kualitas pemain yang pernah dijuluki "Makelele Baru" ini. Meski begitu, pihak PSG yakin bahwa Diarra masih punya kualitas dan pengalaman bermainnya akan menguntungkan PSG.
"Kami sangat senang menyambut Lassana Diara, seorang pemain dengan kualitas terbaik," kata Presiden klub PSG, Nasser Al-Khelaifi, pada laman resmi PSG. "Pengalamannya, baik itu di luar negeri maupun di timnas Prancis, memberikan staf pelatih kami opsi untuk putaran kedua musim ini. Saya tahu Lassana bergabung dengan penuh ambisi, seperti kami di sini. Fans di Parc des Princes pun selalu mendukung pemain yang berasal dari Paris, mereka akan mendukung dan memberinya kekuatan untuk membantu kami mencapai target kami."
Hal menarik lainnya, bergabungnya Diarra ke PSG pun seolah menunjukkan bahwa dia benar-benar seperti Makelele, gelandang bertahan Prancis yang begitu melegenda karena kemampuan merebut bolanya. Makelele memutuskan gantung sepatu di PSG, bukan tak mungkin Diarra juga akan melakukan hal yang sama.
Jika itu benar, maka akan semakin lekat sosok Makelele dalam diri Diarra, terlebih beberapa klub yang dibela Makelele pun pernah diperkuat oleh Diarra juga. Kesebelasan yang pernah diperkuat keduanya adalah Nantes, Chelsea, Marseille, Real Madrid, timnas Prancis (tentu saja), dan terakhir PSG. Tak heran memang karena Diarra sendiri mengakui bahwa inspirasinya dalam bermain adalah Makelele.
"Sejujurnya, saya tidak hidup dan bernapas untuk sepakbola ketika saya kecil, jadi saya tidak pernah terpengaruh oleh pesepakbola mana pun. Pahlawan saya justru Batman dan Superman. Tapi jika harus menjawab, mungkin pahlawan sepakbola saya adalah semua pemain Prancis yang menjuarai Piala Dunia 1998," kata Diarra pada FourFourTwo 2006 lalu.
"Tapi Claude Makelele menjadi inspirasi saya saat di Chelsea. Saya mencontoh permainannya, ketika kami menjadi lawan saat latihan, kami menjadi lawan yang sangat sukar dikalahkan," sambungnya.
Claude Makelele yang menjadi panutan Lassana Diarra (via: thesefootballtimes)
***
Bergabung ke PSG akan membuat namanya kembali naik ke permukaan. Sebelumnya di Al Jazira, ia hanya bermain sebanyak lima kali dalam delapan bulan. Bahkan sebelum hijrah ke Timur Tengah, ia dipecat di tengah musim oleh Olympique de Marseille karena sempat memprotes menit bermainnya yang sedikit pada pemilik klub.
Namun, Diarra merupakan pemain yang tak gentar dengan situasi buruk yang menimpa dirinya. Berkali-kali jatuh, berkali-kali juga ia bangkit. Jatuh-bangun dalam kehidupannya merupakan hal yang biasa ia hadapi. Hal seperti itu sudah ia alami ketika masih muda sebelum memulai karier profesional.
Diarra sempat dianggap tidak memiliki potensi saat di akademi. Pada usia 15-17 tahun, ia pun memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan sepakbola dan lebih memilih menjalani kehidupan biasa seperti anak-anak lain dengan bersekolah. Saat itu sepakbola telah mengecewakan pemain kelahiran 10 Maret 1985 ini.
"Guy Hillion (kepala akademi Nantes) membawa saya dari Paris ke Nantes. Tapi setelah itu saya tidak pernah melihatnya lagi," kata Diarra pada AS pada 2010. "Saya tidak tahu harus melakukan apa, padahal saya meninggalkan sekolah demi sepakbola. Kemudian Nantes tidak menginginkan saya lagi karena saya terlalu kecil."
"Setelah itu saya pindah ke Le Mans tapi di sana saya tidak mengerti. Mereka mengatakan beberapa hal yang menghina saya. Karenanya pada tengah tahun saya kabur. Saya meninggalkan sepakbola dan kembali ke Paris. Pada usia 15-17 tahun saya hanya di rumah, pergi sekolah dan bermain bersama teman-teman lama saya."
Saat itu Diarra kecewa pada sepakbola dan tidak ingin lagi menjadi pemain sepakbola. Akan tetapi keluarganya selalu memintanya kembali bermain sepakbola. Sampai akhirnya Le Havre berhasil membujuknya dan di sanalah ia ditemukan oleh pemandu bakat Chelsea, Gwyn Williams.
"Keluarga saya bilang memalukan pergi dari sepakbola, padahal sudah mencoba sangat jauh. Tapi saya tidak ingin lagi bermain, bahkan untuk tim di Paris. Saat itu saya hanya ingin bermain dengan teman-teman saya. Itu adalah saat tersulit saya. Apalagi saat itu kedua orang tua saya baru datang dari Mali dan mereka tidak bisa Bahasa Prancis, sehingga saya lah yang harus membela diri ketika klub melakukan sesuatu. Itu membuat saya lelah," ujar Diarra.
"Tapi di Le Havre menjadi awal dari karier saya yang sebenarnya. Kepindahan saya ke Chelsea menjadi momen terbaik saya. Saya ditemukan oleh Gwyn Williams saat bermain untuk timnas Prancis di turnamen Toulon U20 dan ia mengundang saya untuk trial. Kemudian saya melakukan debut dalam kemenangan 4-0 melawan Real Betis di Liga Champions."
Saat bergabung ke Chelsea, Diarra memang disiapkan untuk menjadi pengganti Makelele yang sudah dimakan usia (berbeda 10 tahun). Di saat yang sama, pemain yang juga akrab disapa Dia ini memanfaatkan betul kebersamaannya dengan Makelele. Ia belajar banyak dari Makelele dan itulah yang membuatnya bisa bermain layaknya Makelele.
"Itu membantu saya sehingga bisa dibandingkan dengannya. Dia menjadi contoh ketika saya punya karier yang buruk. Setiap hari dia selalu mengajari saya. Saya bisa sejauh ini (catatan: pada wawancara ini ia sudah bermain di Real Madrid) tentu karena kinerja saya dan terbantu oleh pertolongan Makelele untuk meningkatkan kemampuan saya, baik dari segi membaca permainan maupun teknik bermain sendiri. Dia seperti kakak sendiri. Yang paling saya kagumi adalah sikap profesionalnya di lapangan."
Di Chelsea sebenarnya Diarra tidak banyak bermain. Hanya 13 kali bermain di Liga Primer dalam dua musim. Tapi itu menjadi modal berharga karena ia bisa mengambil banyak pelajaran dari Makelele selama latihan. Selain Makelele, ia juga dilatih oleh Jose Mourinho. Mourinho pun kemudian menjadi sosok pelatih yang disukai Diarra, terlebih keduanya pernah bekerja sama di dua klub berbeda.
Ketika kontrak Diarra tersisa satu tahun di Chelsea, Arsenal membelinya. Diarra tertarik pindah karena Arsenal dilatih oleh Arsene Wenger, sesama orang Prancis. Tapi ternyata harapannya pada Wenger berakhir dengan kekecewaan. Terlebih perlakuan Wenger terhadapnya juga tidak terlalu baik. Oleh karena itu ia hanya satu musim di Arsenal dan akhirnya pindah ke Portsmouth. Tampil oke di Portsmouth, Real Madrid yang ketika itu dilatih mantan manajer Tottenham, Juande Ramos, memboyongnya.
"Mourinho, sampai hari ini, menjadi orang yang paling penting buat saya. Seseorang yang spesial," kata Diarra masih pada wawancara saat ia menjadi pemain Real Madrid (yang ketika itu sudah dilatih oleh Manuel Pellegrini). "Saya sekarang di Real Madrid, meski besok bisa saja di divisi tiga. Saya bersyukur atas apa yang saya miliki dan apa yang saya raih."
"Namun saya sudah belajar, tidak baik terlalu percaya pada seseorang. Ketika saya datang ke Arsenal, saya berpikir karena manajernya orang Prancis seperti saya, maka saya bisa berharap tinggi. Mungkin kekecewaan itu terjadi karena terciptanya ekspektasi dari diri sendiri. Saya pun meninggalkan Arsenal dengan rasa kecewa. Saya berterima kasih padanya (Wenger) karena ia mengajarkan saya bahwa di sepakbola Anda tidak boleh percaya pada siapapun. Di sepakbola Anda hanya percaya pada mereka yang ada di lapangan."
Diarra punya masa buruk di Arsenal. Selain menit bermain yang sedikit, ia mengatakan Wenger tidak memperlakukannya dengan baik. Hal itu berbeda dengan perlakuan Mourinho yang meski jarang memainkannya ketika keduanya di Chelsea, tapi tetap memperlakukan Diarra dengan baik.
Bersambung ke halaman berikutnya
Halaman kedua
"Saat saya bertemu Mourinho dia juga masih muda. Tapi semuanya berbeda karena dia tidak menyambut saya sebagai anak karena saya paling muda. Dia menolong saya banyak. Ketika di Arsenal yang terjadi sebaliknya. Saya tidak ingin mengatakan hal yang buruk tentang Wenger karena dalam hidup kita tidak selalu bisa berhubungan baik dengan semua orang. Saya menghargai atas apa yang ia lakukan untuk saya, tapi sikapnya pada saya sangat tidak bagus. Yah, hal itu sering terjadi dalam hidup."
"Saya punya hubungan yang baik dengan Pellegrini. Yang saya suka darinya, ketika ia punya masalah dengan saya, ia datang dan mengatakannya. Jadi ketika saya butuh saran pun saya akan mendatanginya dan dia akan memberikan saran. Dia sangat mengerti saya dan pribadi saya. Dia tahu kalau saya tidak terlalu banyak berbicara."
Diarra total empat musim di Real Madrid. Satu musim bersama Juande Ramos, satu musim bersama Pellegrini, dua musim bersama Mourinho. Dua musim bersama Mourinho pun ia menjadi andalan di lini tengah. Walau begitu, ia dijual ke Anzhi Makhachkala setelah kedatangan Esteban Granero.
Kontrak empat tahun yang disodorkan Anzhi tak berarti apa-apa ketika kesebelasan asal Rusia tersebut mengalami masalah finansial dan harus menjual para pemainnya. Diarra adalah salah satu pemain yang dilego karena ia masih laku di pasaran. PSG dan Monaco mengincarnya ketika itu, tapi ia lebih memilih untuk melanjutkan musim keduanya di Rusia dengan hijrah ke Lokomotiv Moscow.
Semuanya berjalan dengan baik sampai akhirnya ia berseteru dengan sang manajer, Leonid Kuchuk, pada 2014. Permasalahan itu bermula ketika gaji Diarra hendak diturunkan oleh klub. Diarra bereaksi dengan dengan berkali-kali mangkir latihan. Pihak klub pun langsung bertindak dengan langsung memutus kontraknya yang sebenarnya baru berakhir pada 2017.
Permasalahan itu sampai membuat Diarra naik ke meja persidangan CAS karena pihak Lokomotiv menilai Diarra tidak profesional. Terbukti bersalah, ia dihukum tidak boleh membela klub manapun selama 15 bulan dan harus membayar kerugian Lokomotiv sebesar 10 juta euro.
Diarra lantas menganggur. Tapi begitu hukumannya selesai, klub-klub seperti Celtic, Queen Park Rangers, Newcastle United, Inter Milan dan West Ham United tertarik menggunakan jasa Diarra meski ia tak bermain lebih dari satu tahun. Walau begitu, klub yang dipilihnya adalah kesebelasan besar asal Prancis, Marseille.
Di Marseille karier Diarra kembali membaik, terlebih ia ditunjuk menjadi kapten tim pengganti Steve Mandanda yang hijrah ke Crystal Palace. Namun, masalah kembali datang padanya setelah Rudi Garcia menjadi pelatih anyar Marseille dan menunjuk Bafetimbi Gomis sebagai kapten anyar Marseille. Ditambah terdapat beberapa klausul yang tidak dipenuhi manajemen Marseille, akhirnya Marseille dan Diarra sepakat untuk mengakhiri kontrak.
Diarra saat menjadi kapten Marseille (via: beinsports)
Dari situlah Diarra mendapatkan tawaran dari Al Jazira. Tapi kepindahannya itu tampak disesali karena ia sering merindukan Eropa. Tak pelak menjelang bursa transfer dingin dibuka, ia meminta manajemen klub untuk mengakhiri kontraknya lebih dini. Pihak klub menyetujuinya dan Diarra bisa mencari klub di Eropa. Ternyata PSG-lah yang mengajaknya bergabung, yang membuatnya bisa mengikuti jejak Makelele untuk pensiun di PSG.
"Saya sangat bahagia karena akhirnya saya bisa bergabung ke klub kampung halaman saya," kata Diarra pada laman resmi PSG. "PSG menunjukkan banyak hal buat saya dan menjadi mimpi setiap pemain bergabung dengan klub ini. Saya beruntung bisa mewujudkan mimpi itu. Sekarang saya akan mengamalkan semua pengalaman saya, ambisi saya bermain adalah untuk bisa bermain di level tertinggi dan membuktikan diri ada klub bahwa mereka tidak salah mempercayai saya."
***
Di skuat PSG saat ini, pada posisi Diarra, sebenarnya sudah terdapat Marco Verratti, Thiago Motta dan Adrien Rabiot. Namun beberapa kali Verratti absen karena cedera ataupun suspensi, sementara Motta mulai menurun kemampuannya. Rabiot tidak bisa selamanya diandalkan di setiap pertandingan. Beberapa hari sebelum Diarra diperkenalkan sebagai pemain baru PSG, Les Parisiens menelan kekalahan 2-1 dari Olympique Lyon.
PSG tampaknya membutuhkan tenaga pemain baru di sektor gelandang atas situasi tersebut. Pembelian pemain tidak memungkinkan setelah PSG mengeluarkan biaya yang sangat mahal dalam pembelian Neymar dan peminjaman Kylian Mbappe. Oleh karenanya, pilihan jatuh pada Diarra yang berstatus bebas transfer. Dengan begitu ia juga bisa didaftarkan PSG ke skuat Liga Champions, di mana PSG akan menghadapi Real Madrid pada babak 16 besar.
https://twitter.com/PSG_inside/status/955855244638019584