Tentang Juventus, Calciopoli, dan Wajah Buruk Sepakbola Italia

Tentang Juventus, Calciopoli, dan Wajah Buruk Sepakbola Italia
Font size:

Saat Juventus melawan AS Roma banyak kontroversi tersaji. Dimulai dari penunjukkan tiga penalti oleh wasit, hingga diusirnya allenatore Roma, Rudi Garcia, saat pertandingan masih berlangsung.

Pertandingan ini akhirnya dimenangkan sang tuan rumah Juventus setelah tendangan voli Leonardo Bonucci di menit ke-86 menghujam sudut kanan gawang Roma yang dikawal Lukasz Skorupski sehingga mengubah skor menjadi 3-2. Namun dengan kemenangan ini, tim yang berjuluk Bianconeri itu kembali mendapat sorotan. Banyak pihak yang menilai bahwa tuan rumah Juventus terlalu diuntungkan oleh wasit Gianluca Rocchi. Keberpihakan Rocchi sangat terlihat ketika memberikan penalti kedua pada Juventus padahal Paul Pogba yang dilanggar Miralem Pjanic berada di luar kotak penalti. Seluruh penonton yang menyaksikan laga itu seolah menguapkan ingatan mereka tentang Juventus yang terlibat Calciopoli, skandal pengaturan skor liga Italia, yang terjadi pada 2006 silam. Saat itu, Juventus dituduh melakukan penyuapan terhadap wasit untuk memuluskan langkah mereka meraih gelar juara pada musim 2004/2005 dan 2005/2006. “Apakah Juventus kembali ‘bermain’ dengan wasit?” pertanyaan ini sontak muncul ke permukaan. Komentar Francesco Totti pasca pertandingan pun semakin memanaskan situasi ini: “Juve menang karena memiliki kaitan (dengan wasit) atau dengan kejahatan.” Tak hanya Totti yang memanaskan isu sensitif ini. Pendukung rival Juventus seperti AC Milan, Inter Milan, Roma, Lazio, Fiorentina dan tim – tim lain yang membenci Juventus seolah mendapatkan bahan untuk mengolok-olok para pendukung si Nyonya Tua. “No Penalty, No Party”, begitu kata mereka menyikapi kontroversi pada Minggu malam itu. Para haters Juve itu mengisyaratkan bahwa Juventus selalu mendapatkan keuntungan dari wasit dengan terlalu seringnya mendapatkan hadiah penalti. Lantas, benarkah Juventus sangat sering mendapatkan hadiah penalti? Franklin Foer, seorang redaktur senior The New Republic, dalam bukunya ‘memahami dunia lewat sepakbola’ mengatakan, hubungan Juventus dan penalti atau lebih luasnya mendapat pertolongan wasit sudah terjalin sejak lama. Jauh sebelum Juve terjerumus ke Serie B, tepatnya pada 1930-an, Juventus telah mendapatkan hati dari para pengadil lapangan sehingga menjadi penguasa di Italia. Saat itu, keluarga Agnelli, pemilik Juve yang juga pemilik perusahaan Fiat dan pemegang persentase substanstif pada Bursa Efek Milan, menjadi penguasa pra-globalisasi sebagian besar dunia Latin. Namun mereka tak memamerkan pengaruhnya, mereka hanya mengontrol politisi yang mengurusi kerajaan bisnis mereka. Masih menurut Frankilin Foer, kecurangan yang dilakukan Juve ini sampai melahirkan sebuah situs bernama anti-juve.com (sayangnya, saat ini sudah tak bisa diakses). Dalam situs tersebut menghadirkan banyak cuplikan-cuplikan pertandingan di mana Juve selalu diuntungkan wasit, di mana yang paling sering terjadi adalah banyaknya gol-gol lawan yang sering dianulir wasit. Dugaan kecurangan yang dilakukan Juventus semakin menguat ketika pada awal 1990-an tangan kanan Agnelli didakwa atas segala jenis tuduhan korupsi. Hal ini terungkap ketika Agnelli mengaku bahwa Fiat telah mengeluarkan suap  pada banyak pihak senilai 35 juta dolar sepanjang 10 tahun terakhir. Kehilangan kuasa dalam ranah politik memaksa Fiat dipukul mundur oleh pesaing luar negeri dan mulai memiliki banyak hutang. Di titik inilah hubungan mesra antara politik dan Juventus terhenti. Politik memang berkaitan erat dengan sepakbola Italia. Maka tak heran, ketika Juve ‘kolaps’ pada 90-an, muncul tim lain yang kemudian menjadi pesaing utama Juve dalam hal dominasi Serie A. Siapa lagi kalau bukan AC Milan. Selanjutnya: Manipulasi Berlusconi Lewat Media dan Kekuasaan Manipulasi Berlusconi Lewat Media dan Kekuasaan Milan menjelma menjadi klub raksasa sejak pengakuisisian klub oleh Silvio Berlusconi, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Italia.  Berlusconi menyelamatkan Milan yang mengalami masa sulit dengan kekuatan media dan pemain-pemain asing berkualitas. Berlusconi sedikit meniru cara Juve perihal untuk meraih kesuksesan di Serie A. Lewat tangan kanannya, Leonardo Meani, Milan menjalin hubungan dengan banyak wasit Serie A. Tujuannya jelas, memiliki hubungan baik dengan wasit akan menguntungkan ketika Milan menjalani sebuah pertandingan. Kecurangan Meani sendiri terhenti setelah ia dihukum satu tahun penjara dan denda 20 ribu euro karena terlibat calciopoli 2006. Pada awal kepemimpinannya bersama Milan, Berlusconi bersekutu dengan banyak mafia untuk memperoleh kekuasaan di Italia. Dengan statusnya sebagai Perdana Menteri, media-media tak berani bercerita jelek tentangnya. Karena jika dilakukan, karir mereka sebagai pewarta bisa tamat di tangan Berlusconi dengan sekali jentikan jari. Manipulasi media adalah cara Berlusconi membungkus permainan ciamik AC Milan. Agar media Italia tak memberitakan hal negatif tentangnya, Berlusconi memberikan fasilitas menarik pada media. Ia mengijinkan para pemain bintangnya seperti Manuel Rui Costa, Paolo Maldini, Alessandro Nesta dan lain-lain, untuk ‘bercengkrama’ dengan para jurnalis hingga berjam-jam. Di mana tim lain, khususnya Juventus, seringkali dilarang berbicara banyak pada media. Menurut taksiran Mario Sconcerti, seorang redaktur harian Corriere dello Sport, memanipulasi pers dilakukan untuk mempertinggi nilai sebuah tim sebanyak ‘enam poin’. Maksud dari enam poin di sini tentunya bukan dalam arti sebenarnya, melainkan manipulasi pers ini bisa memberikan tekanan pada wasit sebuah pertandingan sehingga mengunggulkan sebuah tim hingga beberapa pertandingan. Sconcerti pun mengakui bahwa ia pernah melakukan manipulasi ini. Pada tahun 2000, Sconcerti yang dikenal pemberontak dunia media Italia mengecam sikap sepakbola Italia (lewat wasitnya) yang terlalu pilih kasih pada AC Milan dan Juventus lewat Corriere. Karena pemberitaan yang terus dibesar-besarkan itu, akhirnya pada 2000 dan 2001 Lazio dan AS Roma berhasil meraih scudetto. Cara ini kemudian diikuti oleh Inter Milan. Namun tim yang bermarkas di stadion Giuseppe Meazza tersebut melakukannya dengan cara lebih ekstrim, yaitu skandal calciopoli. Calciopoli sendiri bermula ketika harian Gazzetta dello Sport memuat transkip rekaman pembicaraan antara General Manager Juventus, Luciano Moggi, dengan  komisi wasit. Pembicaraan Moggi bersama petinggi klub Milan, Lazio, dan Fiorentina pada tahun 2004 pun termasuk dalam transkrip ini. Masalahnya, Gazzetta dello Sport ini dimiliki oleh seorang bernama Carlos Buora. Danyang perlu digarisbawahi adalah, Buora merupakan seorang Interisti dan secara ‘kebetulan’ menjabat sebagai wakil presiden Inter Milan saat itu. Gazzetta dengan rajin menebarkan isu panas calciopoli, sehingga akhirnya publik mendesak FIGC mengusut skandal ini. Adriano Galliani sebagai presiden FIGC pun dituntut mundur karena Milan diduga terlibat kasus ini. Sebagaimana yang kita ketahui, Galliani menjabat sebagai wakil presiden AC Milan bahkan hingga saat ini. Galliani pun lengser, Guido Rossi mengambil alih kepemipinan FIGC dan mulai menyelidiki kasus calciopoli. Siapakah Guido Rossi? Penting untuk kita ketahui bahwa Rossi adalah salah satu pemegang saham di Inter Milan. Ia pun merupakan teman dekat dari Massimmo Moratti, mantan presiden Inter Milan, dan beberapa direktur Inter  pada (1995-1999). Calciopoli sebagai skenario Inter Milan pun semakin tercium ketika Juventus dinyatakan bersalah dan harus dihukum ke Serie B, Guido Rossi mundur dari jabatannya. Ia kemudian menjadi presiden TIM (Telecom Italia), perusahaan yang menyediakan bukti-bukti penyadapan untuk membuktikan adanya skandal Calciopoli. Di sini terlihat Rossi hanyalah eksekutor yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Soal TIM, jajaran direksi perusahaan ini pun dihuni oleh Interisti lain. Selain Rossi, pribadi lain yang tergabung dalam kepemimpinan TIM adalah Moratti dan Buora (pemilk Gazzetta), serta Marco Provera (yang juga berstatus sebagai pemilik Pirelli, sponsor utama Inter Milan pada masa itu). Hebatnya lagi, Provera pun sempat memiliki saham kedua tertinggi di Inter Milan pada era Giacento Facchetti. Lewat hubungan pelik inilah Calciopoli berhasil mempreteli Juventus, AC Milan, dan beberapa tim lain yang dilibatkan dalam kasus ini. Inter yang memiliki orang-orang penting pada tubuh Gazzetta, TIM, dan FIGC pun bisa mengatur skenario ini tanpa memberatkan Inter Milan. Sehingga dalam Calciopoli, Inter Milan terlihat bersih, meski pada kenyataannya mendapatkan perlakuan yang sama dari wasit. Juventus sebenarnya tak dinyatakan bersalah pada kasus ini. Hanya Luciano Moggi, General Manager Juve saat itu, yang terbukti bersalah. Kesalahan Moggi pun seharusnya hanya mendapatkan hukuman satu hingga tiga poin (dan denda) karena melanggar peraturan artikel 1 tentang memiliki hubungan dekat dengan wasit, bukan artikel 6 (dengan hukuman degradasi) tentang pengaturan skor seperti yang sidang Italia putuskan. Selanjutnya: Inter Milan Pun Sama-sama Saja Inter Milan Pun Sama-sama Saja Justru sebaliknya,  fakta terbaru menemukan adanya indikasi bahwa Inter Milan pun melakukan kecurangan. Rekaman percakapan bahwa pertandingan antara Inter Milan melawan Juventus pada 2004 yang berakhir dengan skor 2-2 itu merupakan hasil dari kongkalikong Franco Carraro (presiden FIGC saat itu), Paolo Bergamo (Ketua Komisi Wasit) dan Pasquale Rodomonti (wasit yang memimpin laga tersebut) menjadi bukti kuat Inter coba melakukan pengaturan pertandingan. Pada rekaman yang juga sempat disiarkan di sebuah stasiun televisi Diretta Stadio itu, kepada Bergamo, Carraro meminta wasit yang akan memimpin Inter-Juve (Rodomonti) tak menguntungkan pihak Juve. Pasalnya, saat itu Inter sedang tertinggal 15 poin dari Juventus, sang pemuncak klasemen. Dan yang terjadi pun benar adanya. Beberapa keputusan kontroversi lahir dari peluit Rodomonti. Bahkan pasca pertandingan, Pierluigi Collina, wasit yang disebut-sebut sebagai wasit terbaik dunia, mengecam keputusan Rodomonti yang tak memberikan kartu merah pada Francesco Toldo. Menurut Collina, Toldo jelas-jelas menahan laju lari Emerson saat momen satu lawan satu. Juve memang mendapatkan penalti, namun tak mengusir Toldo menjadi pertimbangan lain Collina. Hal itu diungkapkan oleh Stefano Palazzi jaksa penyidik dari federal Italia. Palazzi sendiri ditunjuk FIGC untuk menyelidiki kasus ini beberapa tahun setelah Juve yang dinyatakan bersalah dan dihukum seberat-beratnya (dua scudetto berpindah tangan ke Inter Milan yang berada di posisi ketiga). Hal ini dilakukan karena kubu Juve terus mengajukan gugatan bahwa prestasi yang didapatkannya itu tak ada kecurangan. Namun karena pihak persidangan menilai telah banyak bukti yang hilang dan meninggalnya saksi kunci seperti presiden Inter, Giacento Facchetti pada 2006, kasus ini pun akhirnya ditutup. Karena tak mendapatkan dari kasus  inilah Juventus mendapatkan cemoohan paling keras jika mendapatkan keuntungan dari wasit hingga saat ini. Padahal jika melihat realitas yang ada, performa Juventus tiga musim belakangan memang layak menjadi penguasa Serie A saat ini. Yang sebenarnya perlu dikritisi adalah kepemimpinan wasit-wasit Italia sendiri. Seperti laga Juve-Roma misalnya, wasit Gianluca Rocchi tak hanya merugikan AS Roma, tapi juga Juventus. Insiden kartu merah Konstan Manolas dan Alvaro Morata yang sebenarnya tak perlu diberikan menjadi salah satu dari sekian banyak kepemimpinan buruk Rocchi pada laga panas tersebut. Maka dari itu, rasanya tak etis jika kita semua terus mencibir Juventus. Karena berdasarkan apa yang telah diungkapkan di atas, sepakbola Italia memang identik dengan kecurangan. Alangkah lucunya jika para pendukung klub Italia saling menuduh bahwa klub rivalnya bermain curang. Tapi hal itu memang wajar terjadi. Seperti yang pernah Zen R.S. katakan: “Manusia sebenarnya tak pernah berpikir. Apa yang dimuntahkan pikiran manusia hanya apa yang diketahui, di mana hal itu telah terkontaminasi favoritisme. Hal ini pun membuat pikiran kita menjadi sempit, membuat kita malas untuk mencari hal-hal lain yang bertentangan dengan favoritisme kita. Yang pada akhirnya kita sering menutup mata akan kebenaran dan fakta-fakta yang tak kita [ingin] ketahui.” Ya, pikiran kita seringkali terikat dengan keberpihakan. Warna seragam yang diagungkan akan membuat kita malas mencari atau menerima fakta-fakta yang bertentangan dengan keberpihakan kita. Jadi apakah Juventus memang identik dengan pertolongan wasit? Jawaban yang paling memuaskan dari pertanyaan ini hanya akan bisa kita temukan jika kita benar-benar telah melakukan kegiatan ‘berpikir’ yang sebenarnya. foto: flickr.com
Mempelajari Debus Untuk Lolos Degradasi
Artikel sebelumnya Mempelajari Debus Untuk Lolos Degradasi
Menanti Garuda Muda Mengepakkan Sayapnya Kembali di Kancah Asia
Artikel selanjutnya Menanti Garuda Muda Mengepakkan Sayapnya Kembali di Kancah Asia
Artikel Terkait