Font size:
Secara tragis dan menyedihkan, tim nasional U-19 yang diasuh oleh Indra Sjafri tersingkir secara dini dari Piala Asia U-19. Jangankan menjadi semifinalis untuk merebut satu tiket ke Piala Dunia U-20 tahun depan, sekadar lolos dari babak grup pun Evan Dimas, dkk., tak sanggup.
Di luar dugaan, Evan Dimas, dkk., dengan relatif mudah ditaklukkan oleh Uzbekistan dengan selisih gol yang lumayan meyakinkan, 1-3. Di laga berikutnya, mereka dikandaskan Australia, 0-1. Masih tersisa laga melawan Uni Emirat Arab, tapi tiket ke babak selanjutnya praktis sudah melayang jauh. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa yang membuat anak asuhan Indra Sjafri ini pulang dengan begitu cepat? Problem apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan? Mungkin memang benar bahwa Evan Dimas, dkk., terlalu terbebani sehingga bermain tidak lepas. Mungkin juga benar kalau anak asuh Indra Sjafri ini sudah kelelahan oleh rangkaian road show pertandingan yang mencapai 40an laga. Tapi mencari pembenaran dari aspek-aspek yang non-kasat mata agak sulit dilakukan karena cenderung spekulatif. Lagi pula, alih-alih mencari pembenaran, akan jauh lebih baik mencoba membaca performa timnas U-19 ini berdasarkan apa yang mereka perlihatkan di atas lapangan saja. Artinya: membaca secara taktikal. Menarik mencermati komentar mantan kapten tim nasional Indonesia saat meraih medali emas di Sea Games 1991, Ferrel Raymond Hattu. Saat dimintai komentar oleh detiksport perihal performa timnas U-19, Ferril dengan lugas dan tanpa tedeng aling-aling menjawab: "Sebagai sebuah tim, tim ini tidak ada progress. Tidak ada kemajuan dalam variasi permainan." Setelah melihat dua laga timnas U-19, sukar untuk tidak mengamini apa yang dikatakan Ferril. Sampai batas tertentu, komentar Ferril ini ada benarnya. Setidaknya, dalam catatan kami, ada empat aspek yang membuat Indra Sjafri gagal membuat kemajuan bagi anak asuhnya. Berikut uraiannya. Halaman Berikutnya: Cara Menyerang yang Itu-itu Saja Cara Menyerang yang Monoton Salah satu kekuatan timnas U-19 yang membuat mereka berhasil menggondol trofi Piala AFF U-19 pada 2013 lalu dan menjadi juara grup babak kualifikasi Piala Asia U-19 (mengungguli Korea Selatan) adalah dua flank yang begitu agresif membongkar pertahanan lawan. Duat Ilham Udin Armayn di kiri dan Maldini Pali di kanan, pada dua ajang yang berlangsung pada 2013 itu, begitu meneror pertahanan lawan. Kecepatan mereka, dribling, juga keberanian menusuk pertahanan lawan -- meneguhkan apa yang sejak dulu sudah diyakini oleh Will Coerver: Indonesia punya kekuatan alami dalam permainan sayap. Sesekali kekuatan permainan sayap ini sempat terlihat di Piala Asia U-19 ini. Seperti terlihat kemarin di laga vs Australia, saat Ilham yang berpindah ke sisi kanan, sanggup membongkar pertahanan lawan sendirian dengan kecepatannya menggiring bola. Dalam skema penyerangan dari sayap ini, penyerang yang diturunkan (di dua laga Dinan Javier yang dipercaya sebagai target man) punya peran untuk memancing bek tengah lawan untuk bermain ke dalam, agar mereka terpatok di dalam kotak penalti, guna menciptakan gap antara lini pertahanan dan lini tengah. Jika skema ini berjalan, flank yang sedang membawa bola (biasanya) akan mengirimkan umpan tarik ke arah belakang (cut back) yang akan disambut oleh salah satu dari trio gelandang Indonesia. Cara menyerang ini tidak berjalan. Uzbekistan dan Australia agaknya sudah membaca skema yang sudah menjadi pakem ini. Saat Ilham atau Maldini menguasai bola, mereka tidak segera "mengambil sekali", tapi membiarkannya terus membawa bola, dengan dikawal minimal dua pemain. Pada saat yang sama, lini belakang Uzbekistan atau Australia juga tidak berhasil dipancing oleh Dinan Javier untuk bermain lebih ke dalam. Salah satu dari bek tengah akan mengawal Dinan, satu pemain lainnya berposisi bebas dan cenderung naik ke atas. Ini dibantu oleh salah satu gelandang lawan yang dengan cepat turun ke bawah tapi tidak sejajar dengan bek tengah. Dengan cara ini, siapa pun pemain Indonesia yang masuk dari lini kedua untuk mengeksekusi umpan tarik cut back tak pernah mendapatkan ruang yang memadai untuk melakukan percobaan mencetak gol. Berkali-kali, baik di laga melawan Uzbekistan maupun Australia, Evan Dimas selalu berhasil diblok oleh pemain lawan tiap kali menerima bola yang dikirim dari sayap. Halaman Berikutnya: Lini Tengah yang Minim Variasi Lini Tengah yang Minim Variasi Saat berjaya di Piala AFF U-19 atau kualifikasi Piala Asia U-19, trio lini tengah Indonesia bermain solid dengan pembagian tugas yang rapi dan permutasi posisi dan peran yang juga begitu terpola. Evan Dimas-Hargianto-Zulfiandi bermain solid sebagai sebuah unit. Ketiganya bisa bermain sejajar guna membentuk formasi 4-3-3, bisa juga bermain dengan poros ganda yang memungkin Evan menjadi pemain no-10 dalam formasi 4-2-1-3, kadang salah satu dari Zulfiandi atau Hargianto bisa naik ke atas menemani Evan Dimas guna membantuk formasi 4-1-2-3. Apa pun formasinya, trio gelandang ini saat itu memperlihatkan cara bermain yang bagus sebagai sebuah unit. Mereka selalu berada dalam jarak dekat, rapat, dan memungkinkan satu sama lain saling mengumpan guna membebaskan siapa pun yang sedang memegang bola dari tekanan lawan. Evan menjadi inti dari unit lini tengah ini. Dia selalu ditopang secara maksimal oleh Hargi dan Zul. Keduanya selalu mendekati Evan, membiarkan Evan mendapatkan ruang yang memadai, guna secara empuk mengirimkan umpan-umpan panjang maupun umpan-umpan terobosan ke sepertiga akhir lapangan, terutama ke area di antara bek tengah dan full-back. Asumsinya: Ilham atau Maldini bisa mengeksploitasi ruang yang terbuka itu dengan kecepatannya. Cara main ini juga agaknya sudah bisa dibaca oleh lawan. Baik Uzbekistan (terutama di 30 menit pertama) maupun Australia, tidak pernah membiarkan trio lini tengah Indonesia bermain leluasa. Mereka selalu mencoba memastikan trio lini tengah Indonesia tak mendapatkan ruang yang memadai untuk saling menopang satu sama lain. 30 menit pertama saat menghadapi Uzbekistan adalah neraka bagi Indonesia. Begitu sulit Evan Dimas menguasai bola di lini tengah. Mereka dipaksa untuk melepas bola ke lebar lapangan secepat-cepatnya saat kedua flank Indonesia belum dalam posisi ideal. Atau, lini tengah Indonesia akan dengan mudah kehilangan bola. Di babak pertama, Uzbekistan praktis selalu berhasil merebut bola Indonesia di lini tengah. Sialnya, kedua flank Indonesia bermain begitu monoton. Ilham atau Maldini sangat jarang turun ke bawah atau bergerak ke tengah untuk menambah jumlah pemain di lapangan tengah guna mengacaukan tekanan lawan. Saat kedua flank Indonesia tetap ajeg menunggu kiriman bola di tepi lapangan di area pertahanan lawan, trio lini tengah Indonesia justru sedang kelabakan membebaskan diri dari tekanan. Satu-satunya gol yang dicetak oleh Indonesia dalam dua laga pertama, yaitu oleh Paulo Sitanggang ke gawang Uzbekistan, memperlihatkan sebuah alternatif yang sayangnya gagal diulang. Gol itu lahir karena bola dengan rapi dialirkan dari lini belakang kiri melalui Fatchu Rahman. Bola terus bergulir di sisi kiri, tapi tidak lekas dilempar jauh ke pertahanan lawan, tapi merayap dulu ke lini tengah. Gelandang tengah Indonesia kemudian ada yang bermain melebar, mendekati Ilham, guna melakukan umpan satu dua. Terus begitu sampai bola memasuki pertahanan lawan. Imbasnya, gelandang Uzbekistan pun terpancing bermain melebar. Sehingga ketika bola tiba di kaki Dinan di tengah, ada ruang yang terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh Paulo Sitanggang. Saat Paulo menerima bola dari Dinan, dia punya ruang yang luas untuk mengambil keputusan mengeksekusi tendangan jarak jauh. Melulu memaksakan (1) alur bola selalu dan hanya selalu berputar di antara trio lini tengah dan (2) dengan sayap yang menunggu jauh di atas, sama saja memudahkan lini tengah lawan melakukan pressing. Dan dengan itulah, unit lini tengah Evan-Hargi-Zulfi/Paulo bisa "dipisahkan" dari unit menyerang yang diisi oleh Ilham-Maldini-Dinan. Paradigma penguasaan bola ala Pep di Barcelona, misalnya, melibatkan semua pemain, bahkan sejak dari kiper yang dididik untuk betul dalam membuat umpan. Barca tak pernah menumpukan penguasaan bola hanya pada tiga pemain, misalnya Xavi, Iniesta dan Busquet, thok! Tidak ada ceritanya flank (bahkan mereka memang tak mematok pemain ajeg di lebar lapangan) hanya menunggu umpan terobosan menjelang daerah sepertiga akhir lapangan. Semua terlibat dan melibatkan diri. Membawa Barcelona dalam uraian ini semata untuk memperlihatkan konteks: betapa berbahayanya menumpukan penguasaan bola hanya pada tiga pemain. Kesalahan taktikal yang sudah keliru sejak fondasinya. Halaman Berikutnya: Tak Bisa Atasi Pressing Lawan Tak Bisa Mengatasi Pressing Lawan Ini cerita lama yang sudah terlihat sejak Piala AFF U-19. Orientasi Evan Dimas, dkk., untuk menguasai bola secara nyaman di lini tengah, untuk kemudian mengirimkan umpan terobosan di antara bek tengah dan full back lawan, membuat mereka tidak punya alternatif lain. Seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya, timnas U-19 tidak terbiasa membiarkan kedua flank untuk turun atau masuk ke tengah, guna menambah jumlah pemain di lini tengah, untuk memecahkan pressing lawan. Beban untuk melakukan penguasaan bola melulu dan selalu dibebankan pada trio lini tengah. Inilah yang selalu membuat timnas U-19 selalu kerepotan tiap kali menghadapi tim yang berani memainkan high-pressing. Saat lawan berani menekan Indonesia sedini mungkin, termasuk bahkan saat bola masih di dekat kotak penalti Indonesia sendiri, trio lini tengah Indonesia selalu kesulitan melepaskan diri dari tekanan. Apa yang dilakukan Vietnam di babak grup maupun final Piala AFF U-19 menjadi ilustrasi betapa ringkihnya paradigma penguasaan bola ala Indra Sjafri saat menghadapi lawan yang berani berduel jauh di pertahanan Indonesia. Ini yang membuat Vietnam berhasil mengalahkan Indonesia di babak grup Piala AFF U-19 dan ini pula yang membuat Indonesia "hanya" bisa menang lewat adu penalti atas Vietnam di partai final Piala AFF U-19. Uzbekistan mempraktikkan dengan sangat baik resep jitu yang sudah dicontohkan oleh Vietnam ini. Dalam 30 menit pertama, mereka dengan sangat meyakinkan berhasil menekan Indonesia jauh di pertahanannya sendiri. Uzbekistan tak pernah membiarkan lini tengah Indonesia bisa dengan nyaman menerima bola dari lini pertahanan. Uzbekistan bahkan berani menekan saat bola masih dikuasai oleh bek tengah Indonesia. Karena pressing yang digelar secara konstan, spartan dan agresif inilah Uzbekistan bisa unggul cepat dua gol sekaligus dalam waktu yang relatif singkat. Pertahanan Indonesia terlihat kacau, tergesa-gesa ingin melepas bola dan nervous saat menerima tekanan yang agresif dan konstan ini. Jika pun bola bisa dilepas pada trio lini tengah, tekanan pun akan segera dilakukan pada trio lini tengah ini. Situasinya menjadi sama. Indonesia tak bisa menerapkan penguasaan bola dan dipaksa untuk melepas bola jauh ke lebar lapangan saat kedua flank Indonesia sebenarnya belum dalam posisi ideal. Halaman Berikutnya: Lini Pertahanan yang Tak Berkembang Tidak Berkembang dalam Kemampuan Bertahan Dalam beberapa ujicoba di bulan Mei lalu, Indra Sjafri sudah mengeluhkan kinerja lini pertahanan Indonesia. Salah satunya saat ditahan imbang oleh Myanmar di Jakarta. Kemenangan di depan mata musnah oleh blunder mendasar yang dilakukan oleh lini belakang. Lini belakang Indonesia, entah kenapa, seperti terninabobokan oleh paradigma penguasaan bola oleh lini tengah Indonesia. Bisa dikatakan bahwa kunci pertahanan Indonesia bukan di lini pertahanan, tapi justru ada di lini tengah. Kuncinya terletak pada penguasaan bola yang dilakukan pemain tengah Indonesia. Ini sebenarnya prinsip yang mendasari tiki-taka versi Pep Guardiola. Ide dasarnya sederhana: jika lawan tidak menguasai bola, maka mereka tidak akan membahayakan. Maka kuasailah bola selama mungkin agar lawan tak sempat menguasai bola dan membahayakan Indonesia. Persoalannya: paradigma penguasaan bola itu terlihat hanya dibebankan pada trio lini tengah. Seperti yang diuraikan di bagian sebelumnya, kedua flank Indonesia tidak terlihat pernah dipaksa/dikondisikan untuk ikut bertanggungjawab menguasai lini tengah, bahu membahu dengan trio lini tengah. Kedua flank Indonesia terdidik menunggu bola menjelang sepertiga akhir lapangan untuk mengeksploitasi sisi pertahanan lawan. Maka begitu trio lini tengah Indonesia bisa dikunci dengan pressing yang konstan dan agresif, lini pertahanan Indonesia akan dengan sangat mudah kocar kacir. Tidak perlu lawan menggunakan skema serangan yang canggih untuk membongkar pertahanan, karena lini pertahanan akan sendirinya melakukan kesalahan. Inilah yang terlihat pada dua gol pertama Uzbekistan. Dua gol ini adalah semacam "hadiah cuma-cuma" dari Indonesia untuk tim lawan. Menghadapi umpan silang yang buruk (di gol pertama) pun Hansamu dan Sahrul melakukan kesalahan. Sementara gol kedua Uzbekistan lahir karena kecerobohan Fatchu Rahman "mengambil sekali" pemain lawan yang menguasai bola di bibir kotak penalti. Sementara gol Australia adalah kombinasi antara lini tengah yang sudah tidak punya hasrat lagi melindungi pertahanan dengan kacaunya koordinasi duet bek tengah Indonesia. Tidak jelas apakah mereka hendak memasang jebakan offside atau tidak, yang jelas umpan terobosan dari pemain tengah Australia dengan empuknya membelah jantung pertahanan Indonesia. Jika ada yang paling tidak berkembang dari seluruh aspek dari timnas U-19, maka lini pertahanan pantas disebut di daftar teratas. Halaman Berikutnya: Kesimpulan Kenapa Timnas U-19 Layak Tersingkir Kesimpulan Di tengah ekspektasi yang demikian besar, juga gegap gempita yang makin lama makin terasa tak masuk akal, timnas U-19 ini berangkat ke Myanmar dengan penuh bunga-bunga. Semua hal sudah dilakukan: ujicoba dengan jumlah yang bejibun, training center yang memadai, perhatian di atas rata-rata yang diberikan PSSI dan publik, hingga acara pelepasan yang penuh dengan doa-doa. Apa lacur, semua itu memuai ke udara. Apa yang dijanjikan oleh Indra Sjafri pada Mei lalu, bahwa puncak penampilan Evan Dimas, dkk., akan terlihat pada bulan Oktober, sama sekali tidak terlihat. Tak ada perkembangan, tak ada kelemahan yang berhasil diperbaiki secara signifikan. Aneh betul, 40an lebih ujicoba yang sudah dilakukan dalam persiapan menuju Myanmar seakan tak berdampak apa-apa dalam membenahi kelemahan-kelemahan mendasar yang sesungguhnya sudah terlihat sejak Piala AFF U-19 di Sidoarjo tahun lalu. Kelemahan-kelemahan itu tetap menganga terlihat, sementara senjata menyerang juga hanya itu-itu saja. Misalnya performa lini pertahanan. Aspek ini terlihat nyaris tak berkembang. Bersama aspek penyelesaian akhir, lini pertahanan adalah aspek vital yang sayangnya nyaris tak terbenahi oleh puluhan ujicoba yang penuh gegap gempita. Tanpa mengurangi rasa hormat pada jerih payah dan kesedihan yang kini ditanggung Evan Dimas, dkk., harus dikatakan dengan pahit bahwa tim ini memang tidak memperlihatkan kemajuan yang berarti. Tanpa kemajuan yang berarti, target lolos ke Piala Dunia U-20 jelas terlalu kelewatan jauhnya. Apa boleh bikin!